Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dikatakan sebagai tonggak awal perubahan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksnaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan, peranan Mahkamah Konstitusi menempati posisi yang cukup signifikan dalam sistem peradilan Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 24C undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai langkah penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi.
Telah dikemukakan di awal bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara. Secara historis, gagasan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD sudah mulai muncul dalam rapat-rapat BPUPKI pada tahun 1945 ketika menyusun UUD 1945. Dapat diujinya suatu UU terhadap UUD berasal dari teori jenjang norma hukum Hans Kelsen, menurut teori tersebut norma hukum yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber bagi norma hukum yang berada di bawah. Disamping itu, pengujian UU terhadap UUD bermakna pula dalam upaya perlindungan hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran hukum yang terjadi baik secara materil maupun formil pada saat UU itu dibuat dan berlaku.
Perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyatnya salah satunya dengan dibukanya jalan untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945. Pemohon yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dapat melakukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, hal ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah 11 (sebelas) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 3 (tiga) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU Tipikor yang telah dimohonkan kepada MK dan di kabulkan baik sebagian maupun sepenuhnya adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 15, dan Pasal 26A. Adapun rinciannya sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016
Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 26A UU Tipikor terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945.
Dalam permohonannya, pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 26A UU Tipikor terhadap UUD Tahun 1945, yaitu timbulnya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia dimaksud bermula dari beredarnya rekaman pembicaraan yang diduga merupakan suara pembicaraan antara Pemohon dengan Sdr. Ma’roef Sjamsudin (Direktur Utama PT. Freeport Indonesia) dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan dalam ruangan tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat, pembicaraan mana diakui oleh Sdr. Ma’roef Sjamsudin direkam secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak lain yang ada dalam rekaman tersebut dan dilaporkan kepada Sdr. Sudirman Said (menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral).
Kalaupun suara dalam rekaman tersebut adalah benar suara Pemohon, menurut Pemohon, secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman yang tidak sah (illegal) karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dan dengan cara yang tidak sah. Sdr. Ma’roef Sjamsudin bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak hukum untuk melakukan perekaman tersebut serta dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa persetujuan Pemohon atau para pihak yang ada dalam pembicaraan tersebut padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam dalam ruang yang tertutup dan tidak bersifat publik. Tindakan Sdr. Ma’roef Sjamsudin yang merekam secara tidak sah (illegal) jelas-jelas melanggar konstitusi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, dalam pertimbangan hukumnya disebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945. Perekaman yang dilakukan oleh saudara Ma’roef Sjamsudin tidak bisa disamakan dengan rekaman CCTV yang dilakukan di ruang publik sehingga bersifat publik maupun rekaman media televisi yang dilakukan berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena pembicaraan yang dilakukan itu bersifat pribadi dalam ruang yang tertutup, maka semestinya segala bentuk perekaman itu haruslah dengan persetujuan atau setidak-tidaknya diberitahukan kepada para pihak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut. Tanpa adanya persetujuan atau pemberitahuan, maka hasil rekamannya haruslah dianggap tidak sah (illegal) karena kedudukannya sama dengan penyadapan yang dilakukan secara illegal.
Mundurnya Pemohon sebagai Ketua DPR RI ternyata tidak secara otomatis menghentikan polemik yang ditimbulkan oleh beredarnya rekaman tidak sah (illegal) tersebut karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dengan mendasarkan pada rekaman yang tidak sah dimaksud, kemudian melakukan penyelidikan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-133/F.2/Fd.1/11/2015, tanggal 30 Nopember 2015, Nomor Print-134/F.2/Fd.1/12/2015, tanggal 02 Desember 2015, Nomor Print-135/F.2/Fd.1/01/2016, tanggal 4 Januari 2016 dan telah memanggil Pemohon sebanyak 3 (tiga) kali untuk dimintai keterangan namun dalam surat-surat panggilan tersebut tidak dijelaskan status pemanggilan Pemohon dimintai keterangan itu sebagai apa, apakah sebagai saksi, sebagai terlapor atau yang lainnya.
Pemohon menganggap penyelidikan dan pemanggilan terhadap Pemohon seharusnya tidak perlu terjadi karena dilakukan semata-mata hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal). Proses penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas alat bukti yang tidak sah (illegal) jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi (a reasonable expectation of privacy) Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
(1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
(2) Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE;
(3) Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE;
(4) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
(5) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
2. Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016
Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 15 UU Tipikor terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945.
Dalam permohonannya, pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 15 UU Tipikor terhadap UUD Tahun 1945, karena menurut Pemohon ketidakjelasan makna pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor disebabkan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang menjadi rujukan makna pemufakatan jahat tidak membedakan antara delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu pada subjek delik dan delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Perumusan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi asas lex certa dan tidak memberikan kepastian hukum yang pada akhirnya tidak memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Pemohon. Dalam beberapa surat panggilan yang dikirimkan oleh Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tidak disebutkan bentuk dan pasal dari tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa, tetapi hanya menyebutkan “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia”. Di satu sisi, hal ini tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon terkait dengan pasal yang digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan hukum. Di sisi lain, ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan penegak hukum karena sangat dimungkinkan bahwa dugaan tindak pidana hanya didasarkan pada penilaian subjektif dan merupakan perbuatan yang tidak pernah dilarang dalam Undang-Undang.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana”;
3. Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”;
4. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”;
5. Frasa “tindak pidana korupsi” Pasal 15 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”;
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor khususnya frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dan kata “dapat” tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD Tahun 1945.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terhadap UUD Tahun 1945, karena menurut para Pemohon frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut, sangat merugikan dan/atau potensial pasti merugikan para Pemohon, yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan di pemerintahan daerah, tidak dapat menghindari dari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksanaan proyek pemerintahan, dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi. Tidak ada perseorangan atau korporasi yang bersedia melaksanakan pekerjaan proyek pemerintahan apabila tidak mendatangkan menguntungkan baginya, karena mereka adalah para pengusaha yang bekerja untuk mendapat keuntungan. Para Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan sama, hak untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan atas rasa aman dengan frasa tersebut, karena frasa tersebut merugikan hak-hak para Pemohon selaku aparatur sipil negara yang bertindak dengan itikad baik dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Demikian juga, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR, mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon yang selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan, karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Adanya kata “dapat” tersebut mengandung ketidakpastian sehingga para Pemohon akan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang pasti dan adil karena setiap keputusan para Pemohon yang berkaitan dengan penentuan pelaksana proyek sangat potensial dan pasti dapat merugikan keuangan negara walaupun proses keluarnya keputusan tersebut telah dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Akibat adanya kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dipastikan terjadi kriminalisasi terhadap aparatur sipil negara karena unsur kerugian yang dimaksud bukanlah unsur esensial dalam tindak pidana korupsi, sehingga keputusan yang tidak merugikan keuangan negara bahkan menguntungkan bagi rakyat banyak pun tetap dapat dipidana. Dengan kata lain, berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut, dapat terjadi bahwa seseorang aparatur sipil negara mengambil keputusan yang menguntungkan bagi pihak lain tetapi juga menguntungkan bagi negara dan atau rakyat, padahal sama sekali tidak menguntungkan bagi pejabat ASN yang bersangkutan maka pejabat ASN tersebut tetap dikenai tindak pidana korupsi.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), telah mengubah cara pandang hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan dengan pendekatan penindakan yang mempergunakan alat hukum tindak pidana korupsi, menjadi pendekatan administratif dengan cara penyelesaian berdasarkan hukum administrasi. UU Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa kesalahan administrasi yang mengakibatkan kerugian negara yang selama ini dikenai tindak pidana korupsi karena adanya perbuatan melanggar hukum dan adanya kerugian negara harus ditinjau kembali. Sebagaimana ditegaskan pengaturannya dalam Pasal 20, Pasal 70, Pasal 71 serta Pasal 80 UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administratif harus dilakukan melalui penyelesaian secara administratif, tidak dengan pendekatan pidana.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.