Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) telah beberapa kali di uji materi kepada Mahkamah Konstitusi dan menghasikan keputusan sebagai berikut:
1. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 16 Juli 2012.
2. Putusan Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 21 Februari 2012.
3. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 yang diputus pada tanggal 16 Mei 2013.
Pasal yang diuji yakni:
1. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 Pasal yang di uji yakni Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3).
2. Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3).
3. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3).
Batu Uji Pasal UUD Tahun 1945:
1. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yakni Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD Tahun 1945.
2. Batu uji Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945.
3. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun1945;
Hak konstitusional yang dirugikan:
1. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 hak konstitusional Pemohon dirugikan dengan keberlakuan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3). Sehingga Pemohon tidak bisa mengolah perkebunan sawit milik Pemohon berdasarkan:
a. Izin Lokasi Perkebunan PT. Rickim Mas Jaya Nomor 042/BPN/II/1995 tanggal 15 Februari 1995 seluas ± 5.000 hektar;
b. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari Nomor86/BPN-VIII/1596 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk KeperluanPerkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya tanggal 21 Agustus 1996 seluas ± 5.200 hektar.
c. Rekomendasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dari Gubernur Jambi Nomor 543.41/5308/V/Bappeda tanggal 31 Juli 1998.
d. Izin Usaha Perkebunan dari Menteri Pertanian NomorHK.350/E5.860/10.96 tanggal 10 Oktober 1996 tentang Persetujuan Prinsip Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya seluas ±14.000 hektar.
2. Pada Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3). Bahwa dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas maka kerugian konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian ijin baru maupun perpanjangan izin yang telah ada sebelumnya dibidang perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasana lainnya;
b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena kawasan yang akan dimanfaatkan dalam berbagai bidangseperti perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasarana lainnya, masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;
c. Tidak dapat mengimplementasikan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentangRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;
d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa ijin atau memberikan ijin di bidang perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana dan prasana lainnya di dalam kawasan hutan;
e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena dianggap masuk kawasan hutan.
Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya masing-masingdiancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan hutan. Ancaman pidana tersebut karena adanya Surat Menteri Kehutanan Nomor S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak Prosedural di Provinsi KalimantanTengah;
3. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3).
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan.