1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Diintegrasikannya Lingkup Kesehatan Kerja dalam UU Keselamatan Kerja
Kondisi saat ini, pengaturan mengenai kesehatan kerja dan keselamatan kerja cenderung bersifat berdiri sendiri-sendiri sehingga rawan terjadi tumpang tindih pengaturan dan kewenangan, utamanya antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Adapun ruang lingkup yang diatur dalam Pasal 2 UU Keselamatan Kerja kurang mengatur upaya di bidang kesehatan kerja. Selain itu UU Keselamatan Kerja juga belum mengatur lingkup pengaturan bagi pekerja daring mengingat adanya kemajuan informasi dan teknologi saat ini memungkinkan adanya pekerja yang bekerja di dunia virtual (metaverse).
b. Pengaturan Syarat-Syarat Keselamatan Kerja yang Terlalu Teknis
Terdapat tumpang tindih dan disharmoni peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja antara peraturan pelaksana Pasal 3 ayat (1) UU Keselamatan Kerja dan Pasal 164 sampai Pasal 166 UU Kesehatan perihal syarat atau standar keselamatan dan kesehatan kerja yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Lingkungan Kerja dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri. Harmonisasi peraturan pelaksana tersebut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang undangan yang diatur Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
c. Tidak Dapat Dipungutnya Retribusi Dalam Rangka Pengawasan Keselamatan Kerja
Ketentuan Pasal 7 UU Keselamatan Kerja tidak lagi dapat dilaksanakan karena retribusi tidak dapat dipungut untuk layanan pengawasan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Peraturan perundangan yang merupakan amanat yang didelegasikan oleh ketentuan tersebut telah dicabut dan tidak berlaku sehingga tidak terdapat pengaturan teknis salah satunya mengenai penetapan tarif dan mekanisme pemungutan retribusi. Selain itu kewajiban retribusi semakin membebani perusahaan dalam mengalokasi anggaran biaya K3.
d. Perlunya Perubahan Pengaturan Sanksi dan Penghargaan dalam UU Keselamatan Kerja
Perumusan norma mengenai ketentuan pidana dalam Pasal 15 UU Keselamatan Kerja tidak memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan karena terletak dalam Bab XI Ketentuan Ketentuan Penutup dan tidak menyebutkan secara tegas pasal-pasal yang terhadap pelanggarannya dapat diberikan ancaman pidana kurungan atau denda. Kemudian ancaman pidana kurungan selama-lama 3 (tiga) bulan dan denda setinggi-tinggi Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran UU Keselamatan Kerja.
Sebagai bentuk pemenuhan sifat preventif dan prinsip ultimum remidium, UU Keselamatan Kerja belum mengatur mengenai pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran administratif dalam pemenuhan syarat K3. Selain itu UU Keselamatan Kerja juga belum mengatur mengenai reward yang dapat diberikan kepada perusahaan yang patuh dalam menerapkan persyaratan K3.
2. Aspek Struktur Hukum
a. Inefisiensi Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Ketenagakerjaan
Sejak dibentuknya UU Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan. Berdasarkan Huruf G Lampiran UU Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan konkuren sub-bidang pengawasan ketenagakerjaan hanya dibagi antara Pemerintah Pusat (menetapkan sistem pengawasan ketenagakerjaan dan mengelola tenaga pengawas ketenagakerjaan) dan pemerintah daerah provinsi (menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan). Hal tersebut menyebabkan adanya kendala dalam pengawasan ketenagakerjaan, yaitu keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, kondisi geografis dan luasnya wilayah, keterbatasan peralatan, dan tidak terdapat rentang kendali langsung antara Kemenaker dengan pengawas ketenagakerjaan di daerah.
b. Kurangnya Koordinasi Para Pemangku Kepentingan Dalam Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Bahwa berdasarkan UU Keselamatan Kerja, Kemenaker merupakan leading sector dari penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Dalam implementasinya, pelaksanaan terkait dengan keselamatan kerja, tidak hanya menjadi ranah dari Kemenaker, namun terdapat pula kementerian/lembaga (K/L) lainnya yang mengatur terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan Kemenkes. Masing-masing K/L memiliki peraturan tersendiri sebagai acuan dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di masing-masing sektornya. Adanya berbagai pengaturan terkait keselamatan dan kesehatan kerja dari berbagai sektor di atas menimbulkan munculnya ego sektoral antar kementerian yang menyebabkan sejumlah masalah.
c. Pelaksanaan Pelaporan Kecelakaan Kerja
Perusahaan memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaannya. Dalam Pasal 11 UU Keselamatan Kerja, pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan kerja juga telah diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Meskipun pelaporan kecelakaan kerja telah diatur dalam UU Keselamatan Kerja beserta peraturan pelaksanaannya, dalam implementasinya pengurus maupun perusahaan masih enggan untuk melaporkan terjadinya kecelakaan kerja yang antara lain disebabkan oleh permasalahan administrasi dan tidak adanya standardisasi pelaporan kecelakaan kerja.
3. Aspek Pendanaan
Pemenuhan syarat K3 membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan hal tersebut menjadi salah satu alasan perusahaan tidak patuh sepenuhnya terhadap persyaratan K3. Pada tataran implementasi K3 perkantoran, khususnya di perkantoran milik pemerintah, terdapat pemerintah daerah yang belum menganggarkan secara khusus dalam APBD untuk mendukung syarat K3 perkantoran. Namun ada pula daerah provinsi yang telah menyediakan anggaran rutin dalam APBD tetapi masih kurangnya komitmen aparat untuk mengimplementasikan anggaran tersebut. Dalam konteks pengawasan, jumlah pegawai pengawas tidak cukup dibandingkan dengan jumlah perusahaan dan belum seluruh provinsi memiliki kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan.
4. Aspek Sarana Prasarana
a. Permasalahan Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Terdapat permasalahan kekurangan jumlah kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang K3 jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan atau usaha yang ada di Indonesia. Selain persoalan kuantitas juga terdapat permasalahan kualitas SDM karena sejumlah hal yaitu:
1) biaya pelatihan ahli K3 yang cukup tinggi;
2) tantangan menyesuaikan kurikulum pelatihan dengan kebutuhan lapangan yang berkembang cepat;
3) masih ada perusahaan yang tertutup dalam hal pembinaan dan pengawasan selain karena tidak adanya aturan penegasan untuk wajib dilaksanakan;
4) belum tersedia ahli K3 yang menguasai dan memahami polemik budaya di tempat kerja, sehingga tidak mampu menganalisis dan membuat upaya preventif kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja.
b. Pelaksanaan Kewajiban Penyediaan Sarana dan Prasarana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja
Pasal 13 UU Keselamatan Kerja telah mengatur bahwa barang siapa yang akan memasuki suatu tempat kerja, diwajibkan untuk menaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. Namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat perusahaan yang belum memiliki dan mengabaikan pengadaan sarana prasarana K3 terutama bagi perusahaan menengah ke bawah. Pengadaan sarana dan prasarana K3 dianggap hanya akan menambah biaya operasional bagi perusahaan. Selain itu, dengan tidak adanya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan, pengadaan sarana prasarana di perusahaan semakin diabaikan.
5. Aspek Budaya Hukum
a. Pelaporan Kecelakaan Kerja yang Belum Berjalan Secara Maksimal
Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan Pasal 11 UU Keselamatan Kerja terkait dengan pelaporan terhadap kecelakaan kerja ialah tidak semua perusahaan melakukan pelaporan kerja. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa kecelakaan kerja adalah sebuah aib, sehingga perusahaan enggan melakukan pelaporan terjadinya kecelakaan kerja. Dari segi perusahaan sendiri masih belum muncul kesadaran pentingnya pelaporan kecelakaan kerja karena masih menganggap biaya pemenuhan aspek K3 sebagai sesuatu yang mahal. Lebih lanjut, kendala dalam pengiriman laporan kecelakaan kerja dan kesengajaan perusahaanmenghindari sanksi atas kecelakaan tersebut yang akan berdampak pada aktivitas perusahaan merupakan penyebab lain perusahaan enggan melaporkan kecelakaan kerja tersebut.
b. Rendahnya Pemahaman Pemberi Kerja/Pengusaha dan Pekerja Terkait Pentingnya Penerapan Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UU Keselamatan Kerja pada pokoknya mengatur mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja, kewajiban bila memasuki tempat kerja, serta kewajiban pengurus dalam rangka meningkatkan budaya K3. Pada implementasinya masih saja ditemui hambatan serta kendala-kendala dalam penerapan budaya K3 baik dari sisi pemberi kerja/pengusaha juga dari pekerjanya. Salah satu hambatan tersebut adalah penetapan budaya organisasi yang tidak fokus terhadap pemenuhan aspek K3. Selain itu juga terdapat masalah K3 seperti ketersediaan dan penggunaan alat pelindung diri, kurangnya sosialisasi tentang pentingnya K3, kesadaran dari sisi pekerja tentang pentingnya K3 dan Sistem Manajemen K3, serta budaya k3 dianggap membebani pembiayaan perusahaan sehingga pelaksanaannya hanya sekedar formalitas saja.
6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Keselamatan Kerja yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila, di antaranya:
a. Judul UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
b. Pasal 2 UU Keselamatan Kerja belum selaras dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
c. Pasal 3 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga dan kelima;
d. Pasal 4 UU Keselamatan Kerja belum selaras dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, Sila kelima dalam indikator kedua, ketiga serta kelima;
e. Pasal 8 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
f. Pasal 9 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
g. Pasal 14 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima.