Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Tanggal
2020-08-19
Tim Penyusun
No Author

Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang didasarkan pada kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan industrial erat kaitannya dengan hak warga Negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD Tahun 1945) yang menyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selain itu hubungan industrial juga merupakan bentuk pelaksanaan kebebasan warga Negara dalam menetukan pekerjaan yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Dalam perkembangannya timbul perubahan yang bersifat fundamental dalam permasalahan kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan industrial. Pelaksanaan hubungan industrial berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan hubungan industrial yang terjadi disebabkan, pertama adanya perbedaan pendapat atau kepentingan keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Kedua, kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Ketiga, pengakhiran hubungan kerja. Keempat, perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan IndustriaI (UUPPHI) berupaya menyediakan alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik bagi para pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian. Sebagai peraturan perundang-undangan yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, UUPPHI seringkali menjadi objek gugatan uji materil, baik oleh pekerja, pengusaha, maupun hakim PHI.

-

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera melakukan perubahan dan reformulasi terhadap pasal-pasal dalam UU PPHI berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yakni perubahan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a) mengenai format dan substansi risalah, Perubahan Pasal 82 mengenai penghapusan anak kalimat “Pasal 159”, perubahan Pasal 67 ayat (2) mengenai masa tugas hakim ad hoc dan pengangkatannya kembali. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU PPHI dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Tanggal
2020-07-01
Tim Penyusun
No Author

Perubahan mendasar terkait penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terjadi pada Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001, dimana Pasal 24 UUD Tahun 1945 diubah menjadi dua ayat, dan satu ayat tambahan dilakukan pada amandemen keempat dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebelum Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945, sejak tahun 1970 Peradilan Agama memiliki dualisme pembinaan yaitu pembinaan peradilan agama dalam aspek organisasi, administrasi dan finansial yang dilakukan oleh Departemen Agama, dan pembinaan dalam aspek yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung RI. Ketentuan tentang penyelenggaraan peradilan agama dituangkan pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU 7/1989). Sejak UUD Tahun 1945 perubahan ketiga, UU 7/1989 telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (UU 3/2006) dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (UU 50/2009) tentang Peradilan Agama (selanjutnya secara keseluruhan ketiga undang-undang tersebut disebut sebagai UU Peradilan Agama). UU Peradilan Agama selama ini telah beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 2 (dua) putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015.

-

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah khususnya ketentuan Pasal 13A ayat (2), Pasal 13A ayat (3), dan Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU Peradilan Agama dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.