Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tanggal
2019-04-22
Tim Penyusun
No Author

Laporan ini berisi analisa dan evaluasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian terhadap UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 1. Perkara No. 137/PUU-VII/2009 ada 4 Pasal yang diuji yaitu Pasal 44 ayat (3); Pasal 59 ayat (2); Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 68 ayat (4) UU No.18 Tahun 2009. 2. Perkara No. 2/PUU-IX/2011 ada 1 Pasal yang diuji yaitu Pasal 58 ayat (4) UU No.18 Tahun 2009. 3. Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 ada 4 Pasal yang diuji yaitu Pasal 36C ayat (1); Pasal 36C ayat (3); Pasal 36D ayat (1) dan Pasal 36E ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014. Pasal-pasal pada perkara No. 137/PUU-VII/2009 diuji dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; Pasal 1 ayat (3); asal 28A; Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 58 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 pada perkara No.2/PUU-IX/2011 diuji dengan Pasal 27 ayat (2); Pasal 28A; Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pasal-pasal pada pekara No. 129/PUU-XIII/2015 diuji dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; Pasal 1 ayat (3); Pasal 24C ayat (1); Pasal 28A; Pasal 28H ayat (1); Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) frase “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalamayat (4) frase mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional dan Pasal 68 ayat(4) “Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner”, melanggar konstitusi dan merugikan rakyat Indonesia. Lahirnya pasal ini mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan ekonomi, perlindungan, rasa aman dan keberlangsungan hidup rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Mahkamah menilai Pasal 44 ayat (3) UU 18/2009 tidak bertentangan dengan UUD 1945.Terkait Pasal 59 ayat (2) UU 18 Tahun 2009 menyatakan, “Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan”, sementarayang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah frasa, “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”; bahwa dalam negara kesejahteraan, Pemerintah harus ikut aktif dalam lalu lintas perekonomian, termasuk membentuk regulasi yang melindungi serta mendorong ke arah kesejahteraan masyarakat perlu penerapan keamanan maksimal (maximum security) apabila ingin melindungi bangsa, manusia, dan hewan di Indonesia. Hal yang diterangkan kedua ahli tersebut sejalan pula dengan pendapat ahli Dr. Ir. Rochadi Tawaf, M.S. yang mengemukakan bahwa karena PMK ditularkan melalui komoditi hewan secara airborne diseases,maka risiko terjangkit PMK sangat tinggi apabila mengimpor hewan atau produk hewan dari negara yang tertular. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, frasa “atau zona dalam suatu negara”dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Terkait Pasal 59 ayat (4) UU 18/2009 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon menentukan, “Persyaratan dan tata cara memasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional”, yang menurut para Pemohon menunjukkan ketidakpastian hukum serta mengabaikan prinsip kedaulatanrakyat. Mahkamah menilai frasa “atau kaidah internasional” adalah benar tidak memberikan kepastian hukum oleh karena kaidah internasional mana yang dimaksud dan apakah kaidah internasional tersebut telah disetujui atau belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat; Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka frasa “ataukaidah internasional”adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang belum dituangkan di dalam perjanjian internasional dan sudah diratifikasi. Jika dilihat dari pertimbangan hukum dan amar putusan perkara No. 137/PUU-VII/2009 dan No. 2/PUU-IX/2011 bersifat konstitusional bersyarat yang antara lain bertujuan untuk mempertahankan konstitsionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK dan syarat-syarat yang ditentukan oleh MK dalam putusan konstitusional bersyarat mengikat dalam proses pembentukan undang-undang. Dan pasal-pasal tersebut sudah direvisi menjadi UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 konklusinya bahwa Pasal 36E ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini. Putusan ini bersifat inkonstitusional bersyaratdalam hal pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, akan tetapi pasal tersebut akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi. Jadi perlu merevisi UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan ada Peraturan terkaitnya yang perlu direvisi seperti UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta segera membentuk Peraturan Pemerintah sebagai peratutan pelaksanaan dari UU No. 41 Tahun 2014.

-

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai organ yang mempunyai tugas menguji UU tentu mempunyai korelasi dengan tugas dan kewenangan DPR dan Presiden sebagai organ pembentuk undang-undang. Di mana Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan bahwa suatu undang-undang atau ketentuan di dalamnya yang merupakan hasil persetujuan bersama DPR dan Presiden bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan Mahkamah Konstitsi tersebut harus ditindaklanjuti, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan (P3) bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU antara lain tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu perlu segera mengajukan perubahan terhadap Selain itu Keputusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dijadikan dasar-dasar pemikiran dalam menyusun suatu Naskah Akademik terkait dengan perubahan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya dan Peraturan Perundang-undangan lainnya masuk dalam analisis dan evaluasi ini.
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Tentang Pilpres)
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Tentang Pilpres)
Tanggal
2019-04-22
Tim Penyusun
No Author

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU tentang Pilpres) sejak diundangkan sampai dengan sekarang telah sebelas kali diajukan pengujian konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi. Dari sebelas pengujian tersebut, enam pengujian dikabulkan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan pengujian konstitusionalitas UU tentang Pilpres yaitu Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014. Analisis dan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres, mengkaji akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU tentang Pilpres, dan mengkaji harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi tersebut, disimpulkan bahwa pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 karena Pasal 188 ayat (2) UU tentang Pilpres mengesampingkan hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945. Pasal 188 ayat (3) UU tentang Pilpres tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat (quick count) serta menghambat hasrat dan hak seseorang untuk tahu (rights to know) sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Adapun Pasal 188 ayat (5), Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) dinilai beralasan. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009 karena Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Pasal 56 ayat (2) UU tentang Pilpres bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kata “atau” dalam rumusan pasal a quo dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Pasal 56 ayat (3) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) tidak lagi relevan keberadaannya. Pasal 56 ayat (4) UU tentang Pilpres telah mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye pemilu yang dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan norma yang tidak diperlukan karena telah kehilangan kekuatan hukum dan raison d’etre-nya. Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (1) dan berkaitan dengan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak lagi relevan karena semua dalil terhadap pasal-pasal tersebut dinilai cukup beralasan. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 karena Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres yang mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT untuk dapat menggunakan hak memilih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yang berupa hak warga negara untuk memilih (right to vote). Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 karena Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai pilpres dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota lembaga perwakilan tidak sesuai dengan semangat UUD Tahun 1945 dan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres. Oleh karena itu, seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres mutatis mutandis menjadi pertimbangan pasal-pasal tersebut. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 260 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014 karena Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” tidak menjamin kepastian hukum mengingat dalam pilpres tahun 2014, ketentuan a quo menjadi tidak berlaku. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014 karena Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres diberlakukan dalam hal terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jika hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, sehingga tidak perlu dilakukan pilpres putaran kedua. Pada tahap pencalonan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

-

Perlu mengganti UU tentang Pilpres sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014.