Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Cari Kategori Kebutuhanmu

Naskah Akademik RUU tentang Provinsi Kalimantan Timur
Naskah Akademik RUU tentang Provinsi Kalimantan Timur
Tanggal
2022-08-22
Penulis
51 43 900000023 1830 1930 900000075 900000066 900000067

1. UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan ketatanegaraan setelah Indonesia kembali ke UUD NRI Tahun 1945 sejak Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959. Terlebih pasca reformasi, UUD NRI Tahun 1945 telah beberapa kali diamandemen terakhir pada 10 Agustus 2002. Ketentuan dalam UU tentang Pembentukan Daerah Kalbar, Kalsel, dan Kaltim harus segera disesuaikan agar dapat mengikuti dan selaras dengan dinamika perkembangan peraturan perundang-undangan dan pembaharuan hukum di Indonesia yang sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menempatkannya dalam kerangka NKRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 2. Provinsi Kaltim sebagai daerah yang memiliki potensi besar baik pada segi ekonomi, sumber daya alam, pertahanan keamanan, budaya, dan perkembangan kependudukan, berada pada wilayah strategis di wilayah Indonesia tengah, memerlukan landasan hukum yang lebih komprehensif dalam rangka pengembangan wilayah, ekonomi, dan kependudukan. 3. Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, mengevaluasi dan menganalisis UUD NRI Tahun 1945, UU tentang Pembentukan Kalbar, Kalsel, dan Kaltim, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Tentang Perkebunan, Undang-Undang tentang Penataan Ruang. 4. Pembuatan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada 3 (tiga) landasan penting, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara filosofis penyusunan RUU Provinsi Kalimantan Timur harus mampu menggambarkan dan mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum masyarakat Kalimantan Timur yang meliputi suasana kebatinan dengan tetap mengacu pada falsafah bangsa Indonesia yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. 5. Jangkauan dan arah pengaturan RUU tentang Provinsi Kalimantan Timur adalah agar RUU ini mampu menjawab perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengatur karakteristik, kebutuhan, dan permasalahan di Provinsi Kaltim dengan tetap menempatkan Provinsi Kaltim dalam kerangka NKRI serta tidak membentuk daerah khusus yang baru. 6. Materi muatan pengaturan dalam RUU tentang Provinsi Kalimantan Timur meliputi: posisi, batas wilayah, pembagian wilayah, dan kedudukan ibu kota, kewenangan pemerintah provinsi, perencanaan pembangunan, prioritas pembangunan, pendanaa, dan hubungan provinsi Kalimantan Timur dengan rencana pembangunan ibu kota Negara baru, partisipasi masyarakat, pengembangan SPBE, dan ketentuan penutup.
RUU tentang Provinsi Nusa Tenggara Timur
RUU tentang Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tanggal
2022-08-20
Penulis
9 10 2083 1818 1819 900000065 900000069 900000059

Filosofi dibentuknya daerah otonom yaitu sebagai bentuk pengakuan dan pemberian hak oleh negara kepada suatu kelompok masyarakat (locality) untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri terhadap urusan tertentu. Hal ini karena pembentukan daerah otonom tersebut merupakan pemberian hak kepada sekelompok masyarakat untuk mengelola sendiri kehidupan bersamanya yang dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya dalam suatu negara, maka penetapan dan pembentukan daerah otonom tersebut memerlukan kesepakatan antar warga negara, sehingga penetapan dan pembentukannya harus dilakukan dan disepakati oleh rakyat negara melalui perwakilannya di parlemen, karena itulah pembentukan daerah otonom pada umumnya ditetapkan dengan undang- undang yang dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat. Di Indonesia, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang- undang.” Selanjutnya pada saat pemerintahan negara membentuk suatu daerah otonom, maka pada saat itu pula ditentukan batas wilayahnya, urusan bersama (urusan pemerintahan) yang diserahkan untuk dikelola sendiri, sumber pendapatan yang diserahkan, dan aspek pengelolaan pemerintahan lainnya. Dengan demikian, desain pengaturan mengenai daerah otonom seharusnya tidak terbatas pada pengaturan yang bersifat administratif saja, melainkan juga membuka ruang bagi tiap daerah untuk mengurus daerahnya sesuai dengan nilai yang diyakini oleh masyarakatnya dan juga mengurus daerahnya sesuai dengan potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Sebagai sebuah daerah otonom, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) belum diatur dengan undang-undang tersendiri sebagaimana ditegaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Provinsi NTT saat ini masih berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (UU tentang Bali, NTB, dan NTT). Selanjutnya ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah- daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. UU tentang Bali, NTB, dan NTT dibentuk pada saat negara Indonesia dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) serta berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957). Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUDS Tahun 1950 menjadi tidak berlaku dan berlaku kembali UUD NRI Tahun 1945. Demikian pula UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957 sudah tidak berlaku lagi dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 1999), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemda Tahun 2014) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dengan demikian dasar hukum pembentukan UU tentang Bali, NTB, dan NTT sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat ini. UU tentang Bali, NTB, dan NTT terkait dengan konsep otonomi daerah, mengacu pada sistem otonomi riil/nyata (Penjelasan umum UU tentang Pokok Pemda Tahun 1957) karena saat itu pula belum mengenal konsep otonomi daerah, apalagi otonomi luas yang baru muncul sejak berlakunya UU tentang Pemda Tahun 1999. Saat ini Indonesia sudah dalam bentuk NKRI dengan konstitusi UUD NRI Tahun 1945, sistem pemerintahan presidensiil serta urusan pemerintahan daerah dan otonomi daerah mengacu pada UU tentang Pemda Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Selain itu ada pula hal yang tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah pada saat ini, misal dari segi judul UU tentang Bali, NTB, dan NTT masih menggunakan nomenklatur Daerah Tingkat I, padahal sejak diberlakukannya UU tentang Pemda Tahun 1999 nomenklatur tersebut sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Provinsi. Hal ini sesuai dengan kondisi saat ini yang telah terjadi perubahan paradigma dalam kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu dari sistem otoritarian kepada sistem demokrasi dan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. UU tentang Bali, NTB, dan NTT telah berlaku lebih dari 60 (enam puluh) tahun. Akan tetapi, UU tentang Bali, NTB, dan NTT belum dapat menyelesaikan sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT. Hal ini karena pengaturan Provinsi NTT dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT hanya bersifat administratif. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak memberi kerangka hukum pembangunan Provinsi NTT secara utuh sesuai potensi daerah dan karakteristik sehingga tidak mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan Provinsi NTT. Kondisi Provinsi NTT saat ini antara lain masih tingginya kemiskinan, tingkat pendidikan masih kurang, tingkat perekonomian masih rendah, dan banyak permasalahan di wilayah pesisir kepulauan dan perbatasan. Selain itu, potensi daerah belum dimanfaatkan secara optimal padahal Provinsi NTT merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan, seharusnya perlu ditingkatkan pemanfaatan, pengelolaan, dan pembangunan sumber daya kelautan terebsut demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi NTT. Potensi daerah yang juga perlu diperhatikan dan dikembangkan lagi yaitu kain tenun, ada kain tenun khas Sumba, khas Rote, khas Timor Tengah Selatan, dan khas Manggarai. Provinsi NTT pun menjadi daya tarik wisatawan domestik maupun mancanegara karena potensi keindahan alam, adat dan kebudayaannya. Wisata alam di Provinsi NTT yang terkenal antara lain Pulau Komodo, Labuan Bajo, Danau Kelimutu, Pantai Batu Biru, dan Air Terjun Oenesu. Selain wisata alam, ada banyak adat dan kebudayaan di NTT yang menjadi kekhasan dan menarik wisatawan seperti ritual adat, atraksi budaya, upacara adat, dll. Pembangunan pariwisata juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan Provinsi NTT untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sepatutnya menuntut Provinsi NTT untuk bergerak cepat membangun daerahnya, namun dengan tidak meninggalkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, pengaturan mengenai Provinsi NTT tidak boleh lagi bersifat kaku yang hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat administratif saja, melainkan harus diberi ruang untuk dapat mengurus dirinya sendiri sesuai dengan potensi daerah dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Selain berdasarkan uraian tersebut, saat ini RUU tentang Provinsi NTT termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka yang masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Berdasarkan Surat Nomor LG/075/KOM.II/VIII/2020 tertanggal 25 Agustus 2020, Komisi II DPR RI meminta Badan Keahlian DPR RI untuk menyusun Naskah Akademik dan Draf RUU 12 (dua belas) provinsi, salah satunya yaitu RUU tentang Provinsi NTT. Provinsi tersebut masih diatur dalam satu undang- undang yang mengatur pembentukan beberapa provinsi dan masih berdasarkan UUDS Tahun 1950. UU tentang Bali, NTB, dan NTT tidak hanya mengatur Provinsi NTT saja, namun juga mencakup Provinsi Bali dan Provinsi NTB. Masing-masing provinsi perlu diatur dalam undang-undang yang terpisah. Pengaturan mengenai Provinsi NTT perlu diatur dalam undang- undang tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi NTT dan untuk menyesuaikan ketentuan yang terdapat dalam UU tentang Bali, NTB, dan NTT yang berkaitan dengan Provinsi NTT dengan peraturan perundang-undangan lainnya terutama dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU tentang Pemda Tahun 2014 dengan tanpa mengurangi kekhususan Provinsi NTT. Oleh karena itu perlu disusun RUU tentang Provinsi NTT.
RUU tentang Provinsi Jawa Barat
RUU tentang Provinsi Jawa Barat
Tanggal
2022-08-20
Penulis
9 57 2083 1850 2004 2023 900000054 900000050 900000050 900000056 900000043

1. Secara filosofis perlu ada pembentukan RUU Provinsi Jawa Barat karena perlu ada penyesuaian dengan konsep otonomi daerah yang digunakan saat ini yakni berlandaskan Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945) UUD NRI Tahun 1945 menggunakan frasa “dibagi atas” bukan “terdiri atas” oleh karenanya kekuasaan yang ada di pusat itu dibagi kepada daerah-daerah untuk bisa mengurus wilayahnya namun dalam bentuk negara kesatuan. Hal itu konsisten dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan. Provinsi Jawa Barat dibentuk dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Barat (UU No. 11 Tahun 1950). UU No. 11 Tahun 1950 mengatur antara lain tentang cakupan wilayah, tempat kedudukan, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, urusan rumah tangga daerah dan kewajiban daerah. Mengingat UU No. 11 Tahun 1950 dibentuk lebih dahulu maka materi muatan yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 1950 tentu tidak sesuai dengan materi muatan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, materi muatan UU No. 11 Tahun 1950 perlu diubah untuk disesuaikan dengan materi muatan UU No. 23 Tahun 2014. 2. Adanya perubahan batas-batas wilayah Provinsi Jawa Barat karena terjadinya pemekaran wilayah provinsi, yakni terbentuknya Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1961 melalui Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan Provinsi Banten dengan UU No. 23 Tahun 2000. Cakupan wilayah Provinsi Banten semula wilayah Karesidenan Banten merupakan cakupan wilayah Provinsi Jawa Barat sebelumnya. Dengan dibentuknya Provinsi Banten tentu mempengaruhi cakupan serta batas wilayah Provinsi Jawa Barat. 3. Terjadinya pemekaran beberapa kabupaten dan penambahan kota di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun 1950 - 2012. Kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka (UU Nomor 14 Tahun 1950); Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Cirebon (UU Nomor 16 Tahun 1950); Kota Sukabumi; (UU Nomor 17 Tahun 1950); Kabupaten Subang (UU Nomor 4 Tahun 1968); Kota Bekasi (UU Nomor 9 Tahun 1996); Kota Depok (UU Nomor 15 Tahun 1999); Kota Cimahi (UU Nomor 9 Tahun 2001); Kota Tasikmalaya (UU Nomor 10 Tahun 2001); Kota Banjar (UU Nomor 27 Tahun 2002); Kabupaten Bandung Barat (UU 12 Nomor 2007); dan. Kabupaten Pangandaran (UU 21 Tahun 2012). Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan penyesuaian dasar hukum provinsi dalam kerangka penataan daerah.