Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional
Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
Tanggal
2018-08-15
Tim Penyusun
No Author

Selama berlakunya UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak tahun 2005 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Sistem Keolahragaan Nasional antara lain: (Dalam Bab I) a. Isu Utama per aspek 1) Aspek substansi hukum a) Istilah/frasa pengaturan olahraga penyandang cacat b) Adanya disharmoni dengan perundang-undangan lain c) Pengelolaan olahraga penyandang disabilitas 2) Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a) Adanya tumpang tindih kewenangan antara KONI dan KOI b) Adanya Permasalahan transisi kewenangan dari Satlak PRIMA kepada KONI dan KOI terkendala dan tidak efektif c) Larangan rangkap jabatan pengurus KONI d) Pengembangan IPTEK keolahragaan e) Permasalahan penghargaan f) Industri olahraga g) Standarisasi, Sertifikasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK) h) Pengawasan i) Penyelesaian sengketa 3) Aspek pendanaan Pengalokasian pendanaan belum maksimal 4) Aspek sarana dan prasarana Keterbatasan anggaran dan kurangnya pengadaan sarana dan prasarana 5) Aspek budaya hukum Kurangnya sosialisasi dan tingkat kesadaran masyarakat b. Putusan MK Putusan MK No. 19/PUU-XII/2014 menyatakan Frasa "Komite Olahraga" yang tercantum dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 46 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2005 tentang SIstem Keolahragaan Nasional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 c. Perlak belum diterbitkan (tidak ada) d. Prolegnas Urutan ke-160

Pelaksanaan UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak tahun 2005 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum 1) Penjelasan Pasal 19 ayat (1): “olahraga rekreasi merupakan kegiatan olahraga waktu luang” dikaitkan dengan definisi olahraga rekreasi dalam Pasal 1 angka 12 menimbulkan persepsi negatif bahwa olahraga rekreasi tidak dilaksanakan secara teratur 2) Adanya disharmoni tanggung jawab dan kewenangan penyelenggaraan olahraga rekreasi dalam UU SKN dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU SKN tidak menyebut FORMI sebagai koordinator yang menaungi seluruh cabor rekreasi, sehingga FORMI kurang diakui sebagai salah satu komite olahraga nasional. 3) Terdapat istilah/frasa mengenai pengaturan olahraga penyandang cacat dalam materi muatan UU SKN dan peraturan pelaksanaannya yang sudah tidak sesuai setelah disahkannya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 4) Dalam hal pengelolaan olahraga penyandang disabilitas, perlu dipertimbangkan untuk penggabungan organisasi National Paralympic Commite Indonesia (NPC) yang menaungi olahraga penyandang disabilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan Spesial Olympic Indonesia (SOIna) yang menaungi olahraga penyandang disabilitas bagi penyandang disabilitas mental. 5) Pengunduran Diri Organisasi National Paralympic Committee Indonesia sebagai Anggota KONI menyebabkan ketidakjelasan posisi Organisasi NPC daerah di dalam struktur pemerintahan daerah. 6) Organisasi penyandang disabilitas yang lain seperti Special Olympics Indonesia (SOIna) yang mengurusi olahraga penyandang disabilitas intelektual juga belum terakomodasi dan terfasilitasi dengan baik karena belum diakui dan bukan bagian dari KONI Daerah atau NPC Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) Tugas dan Kewenangan Pemerintah a) Adanya tumpang tindih kewenangan antara KONI dan KOI, terutama dalam hal pembinaan atlet untuk mengikuti kejuaraan skala internasional. Lebih jauh, pembentukan Satlak Prima juga menimbulkan berbagai permasalahan yaitu tidak terpenuhinya pencapaian prestasi atlet nasional ditingkat internasional serta macetnya koordinasi antara pengambilan keputusan dan pelaksanaan prestasi olahraga. b) Terdapat permasalahan transisi kewenangan dari Satlak PRIMA kepada KONI dan KOI juga masih terkendala dan tidak efektif sampai saat ini. c) Dengan memperhatikan bentuk dan status organisasi olahraga di dunia, maka kondisi badan organisasi olahraga di dunia, maka kondisi badan organisasi olahraga yang ada di Indonesia perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Adapun alternatif solusi adalan menggabungkan KONI dan KOI menjadi satu dengan nama KONI, yaitu Komite Olimpiade Nasional Indonesia sebagai NGO. d) Perlu dibentuk semacam “Sport Council” atau badan pembina olahraga nasional sebagai Government Organization. Menteri Olahraga sekaligus sebagai ex officio Ketua Umum “Sport Council” agar fungsi dan peran pemerintah lebih jelas. 2) Tugas dan Kewenangan Pemda a) Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf m UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepemudaan dan olahraga merupakan salah satu urusan pemerintah wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Kemudian pada Pasal 18 ayat (4) huruf a PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah diatur bahwa urusan kepemudaan dan olahraga dapat digabungkan dengan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. b) Kemenpora mengeluarkan Permenpora No. 33 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah dan Unit Kerja pada Dinas Pemuda dan Olahraga. Dalam Pasal 2 ayat (2), dan ayat (3) disebutkan bahwa urusan kepemudaan dan olahraga wajib diselenggarakan oleh semua daerah provinsi dan kab/kota dan diwadahi dalam bentuk dinas pemuda dan olahraga daerah provinsi dan kab/kota. Pentingnya pemisahan urusan keolahragaan dengan urusan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata menjadi pembinaan dan pengembangan keolahragaan tidak optimal. c) Pemerintah daerah belum mampu mengkordinasikan pembinaan dan pengembangan olahraga karena belum adanya peraturan daerah tentang keolahragaan. Contoh: Provinsi Bali, dan Papua d) Pengelolaan Keolahragaan a) UU SKN tidak menyebabkan tumpang tindih pengaturan kewenangan antara Pemerintah, pemda, dan Komite Olahraga Nasional, KOI, dan induk organisasi cabor. Hal ini sejalan dengan pendapat MK dalam Putusan No. 19/PUU-XII/2014. Maka perlu penegasan bentuk kerjasama antar K/L dalam pelaksanaan pengelolaan keolahragaan. b) Pasal 36 UU SKN yang menyatakan “Induk organisasi cabang olahraga membentuk suatu komite olahraga nasional yang bersifat mandiri”. Berdasarkan Putusan MK No. 19/PUU-XII/2014, dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap pengelolaan keolahragaan nasional, MK memaknai frasa “komite olahraga” dalam Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 39, dan Pasal 46 ayat (2) UU SKN harus dimaknai “Komite Olahraga Nasional Indonesia dan komite olahraga nasional lainnya” dengan pertimbangan bahwa frasa komite olahraga merupakan entitas yang umum/beragam dan tidak mengandung satu artian dan MK menilai adanya beberapa komite olahraga nasional yang akan dibentuk oleh induk organisasi cabang olahraga justru menunjang perkembangan olahraga nasional dan pada praktiknya KONI bukan merupakan satu-satunya komite olahraga di Indonesia. c) Larangan Rangkap Jabatan Pengurus KONI a) Pasal 40 UU SKN tidak mengatur secara tegas mengenai pelarangan rangkap jabatan, rumusannya adalah “tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik”. Dalam pelaksanaannya, masih terdapat kepengurusan KONI baik di tingkat pusat maupun daerah provinsi dan kabupaten/kota yang dipimpin oleh pejabat struktural dan pejabat public b) Perlu adanya pengaturan yang tegas dan tidak multitafsir dalam hal larangan rangkap jabatan pengurus KONI maupun Cabang Olahraga dengan Jabatan Publik. d) Pengembangan IPTEK Keolahragaan a) Pelaksanaan penelitian belum mengarah pada penggalian akar masalah keolahragaan nasional sehingga hasilnya tidak dapat dijadikan referensi perbaikan sistem keolahragaan nasional. b) Pemerintah dan pemerintah daerah belum dapat memfasilitasi pengembangan IPTEK keolahragaan dan perguruan tinggi serta lembaga Pengembangan IPTEK Keolahragaan dapat berkontribusi aktif untuk bidang keolahragaan. Belum optimalnya pengembangan IPTEK mempengaruhi kemajuan prestasi olahraga nasional. c) Dalam prakteknya, IPTEK keolahragaan di Indonesia masih belum dapat diterapkan. d) Permasalahan penghargaan a) Bentuk jaminan hari tua kepada olahragawan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga belum mencerminkan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan belum memberikan kepastian hukum bagi olahragawan berprestasi. b) Tidak adanya aturan mengenai kesamaan besaran pemberian penghargaan menyebabkan pemerintah daerah memberikan penghargaan yang berbeda-beda. Hal ini didasari karena potensi dan kemampuan daerah berbeda yang menimbulkan terjadinya perpindahan atlet yang memberikan bonus lebih besar. c) Perlu diberi rumusan yang jelas mengenai batas pensiun atlet untuk menjamin program pemberian Jaminan Hari Tua untuk atlet tersebut dan program peremajaan atlet perlu terus-terusan dijalankan untuk menjamin regenerasi atlet supaya atlet yang mencapai usia pensiun sudah dapat fokus mempersiapkan masa pensiunnya karena sudah ada atlet muda yang siap menggantikannya. d) Mengingat keterbatasan kemampuan negara, perlu untuk dipertimbangkan pemberian penghargaan diprioritaskan untuk atlet berprestasi tingkat Olimpiade, maupun Asian Games terlebih dahulu, karena mereka telah mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Selain itu, para atlet perlu diberikan bimbingan karir supaya pelaku olahraga mendapatkan pilihan melanjutkan karir setelah pensiun di dunia olahraga. e) Perlu dibuat standarisasi bonus atau penghargaan terhadap atlet agar perpindahan atlet tidak dilatar belakangi oleh materi semata dan juga perlu dibuat peraturan yang mengatur pembinaan atlet daerah. f) Industri olahraga Pasal 78 sampai dengan Pasal 80 UU SKN tidak dapat diimplementasikan karena tidak adanya regulasi ataupun panduan yang secara teknis menjabarkan perintah UU SKN tentang industri olahraga g) Standarisasi, sertifikasi, dan akreditasi keolahragaan Peran Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK) sebagai badan yang melakukan standardisasi dan akreditasi belum efektif sampai saat ini, dikarenakan BSANK masih belum menjadi satu-satunya lembaga yang melakukan standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan h) Pengawasan BOPI dibentuk oleh Pemerintah bertugas mengawasi olahraga profesional, dalam prakteknya hanya mengawasi 5 cabang olahraga profesional yang sudah terdaftar di BOPI yaitu sepak bola, golf, dansa, muay thai, mixed martial art. Hal ini menimbulkan permasalahan terutama kepada cabang olahraga profesional lain yang masih belum diawasi oleh BOPI maka pengawasan eksternalnya menjadi tidak jelas dan berpotensi terjadi pelanggaran-pelangggaran di dalamnya i) Penyelesaian sengketa Penyelesaian masalah melalui jalur arbitrase, dinilai belum efektif menyelesaikan sengketa keolahragaan yang salah satunya permasalahan dualisme kepengurusan organisasi olahraga. c. Aspek Sarana dan Prasarana Secara normatif, substansi UU SKN yang mengatur penyediaan sarana dan prasarana sudah memadai, namun dalam impelementasinya belum optimal, dikarenakan: j) Keterbatasan anggaran; k) Komitmen Pemerintah dan pemerintah daerah kurang dalam pengadaan sarana dan prasarana. d. Aspek Pendanaan 1) Pengalokasian pendanaan yang belum maksimal oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah 2) Kemampuan daerah dalam menyediakan dana olahraga dan hibah yang tidak dapat dilakukan secara terus menerus dapat menghambat pembinaan dan pengembangan keolahragaan di daerah. 3) Bahwa kedudukan organisasi olahraga sebagai salah satu penerima hibah belum memiliki kejelasan, Hal tersebut berimplikasi kepada adanya kehatian-hatian bagi pemerintah daerah dalam memberikan hibah kepada organisasi olahraga. 4) Seluruh organisasi keolahragaan dan KONI provinsi dan kab/kota saat ini menggunakan dana hibah yang dianggarkan dalam kelompok belanja langsung yang berupa barang atau jasa yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan, kemudian ditetapkan dan diajukan kepada Dinas Kepemudaan dan Olahraga. Organisasi olahraga belum mampu untuk melaksanakan ketentuan money follows program tersebut. e. Aspek Budaya Hukum 1) Kurangnya sosialisasi UU SKN dan peraturan pelaksanaanya, berakibat pada tidak optimalnya penyelenggaraan keolahragaan di pusat dan daerah karena minimnya pengetahuan pemerintah daerah terhadap instrumen hukum yang mengatur urusan olahraga dan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan olahraga khususnya terkait dengan proses pembinaan dan pengembangan olahraga. 2) Kebijakan Pemerintah dan pemerintah daerah yang belum optimal dalam penentuan target/prestasi olahraga berdampak pada penurunan pencapaian prestasi. 3) Minimnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap peran dan dampak olahraga

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Sistem Keolahragaan Nasional Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: - UU SKN perlu direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan hukum masyarakat, antara lain: a. Pasal 19 ayat (1) b. Pasal 26 c. Pasal 30 – Pasal 31 d. Pasal33 e. Pasal 36 f. Pasal 40 g. Pasal 67 h. Pasal 69 s/d 73 i. Pasal 74 ayat (1) j. Pasal 78 – Pasal 80 k. Pasal 87 ayat (1) dan ayat (3) l. Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2) - Pemerintah dan pemangku kepentingan dipandang perlu melakukan harmonisasi peraturan pelaksanaan dari UU SKN. - UU SKN perlu dilakukan perubahan dan dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Perubahan Tahun 2018.
Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Diubah Dengan UU No. 1 Tahun 2014
Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Diubah Dengan UU No. 1 Tahun 2014
Tanggal
2017-12-21
Tim Penyusun
No Author

Selama berlakunya UU PWP3K sejak tahun 2007, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PWP3K antara lain: (Dalam Bab I) a. Isu Utama per aspek : Aspek Substansi hukum: - Terdapat rumusan norma multitafsir - Adanya disharmoni dengan UU 23 Tahun 2014 (UU Pemda) - Adanya peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan - Penyusunan Perencanaan PWP3K - Proses reklamasi - Perijinan - Pengelolaan konservasi - Pengawasan Aspek Kelembagaan/struktur hukum - Akreditasi terhadap Program PWP3K - Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan Aspek Budaya Hukum - kurangnya sosialisasi peran masyarakat - Kurangnya sosisalisasi terkait peraturan menteri tentang peran serta masyarakat. Aspek Sarana dan Prasarana - Sarana dan prasarana yang terbatas Aspek Pendanaan - Terbatasnya kemampuan anggaran daerah b. Putusan MK - bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 tanggal 16 Juni 2011 menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal22, pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 - Diubah UU - No. 1/2014 c. Perlak belum diterbitkan - Peraturan Pemerintah : Pasal 20 ayat (4), Pasal 51 ayat (3) - Peraturan Presiden : Pasal 49 - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan : Pasal 71 ayat (3) d. Prolegnas urutan ke-144

Pelaksanaan UU PWP3K sejak tahun 2007 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum Umum - Terdapat rumusan norma dalam UU PWP3K yang mengandung multitafsir yang menimbulkan multi interpresi dimana dapat berpotensi tidak dapat dilaksanakannya UU tersebut dengan baik, Tidak disebutkan secara khusus (eksplisit) menyebutkan definisi ataupun batasan mengenai “nelayan” dan “masyarakat pesisir” - Adanya disharmoni dengan UU 23 Tahun 2014 (UU Pemda) yaitu dalam hal kewenangan. Dalam UU Pemda, hanya memberikan kewenangan meliputi pengelolaan, penerbitan izin dan pemberdayaan masyarakat, tetapi tidak memberikan kewenangan terkait perencanaan seperti yang terdapat dalam UU PWP3K. - Adanya peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan hingga adanya perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014 dan sampai dengan tahun 2016 masih banyak Pemerintah Provinsi yang belum memiliki Perda tentang Perencanaan Zonas Perencanaan - Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan menyeluruh Reklamasi - Proses reklamasi pada lingkungan meliputi dampak fisik seperti halnya perubahan hidrooseanografi, sedimentasi, peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut, peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya Selain itu, berdampak pada perubahan sosial ekonomi seperti kesulitan akses publik ke pantai, berkurangnya mata pencaharian Perijinan - Pasal-pasal dalam UU PWP3K masih sulit untuk diimplementasikan, dikarenakan dalam RZWP3K sesuai dengan skala peta 1:1000.000 masih bersifat arahan dan masih menunggu peraturan menteri mengenai perijinan terkait perairan. - Lambatnya penetapan RZWP3K disebabkan antara lain: • masih rendahnya komitmen dan prioritas dari stakeholder; • belum tersedianya data sesuai kebutuhan teknis untuk penyusunan RZWP3K, baik kuantitas maupun kualitas; • masih kurangnya pemahaman teknis dalam penyusunan RZWP3K; • terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP3K; dan • terjadi perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bagi Pemerintah Daerah. - Banyaknya kendala dalam masalah perijinan sehingga UU ini belum dilaksanakan secara optimal adalah karena stakeholder belum memahami secara lengkap dan satu persepsi terhadap UU No 27 Tahun 2007 jo UU N0 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga kebijakan dalam pelaksanaan UU tersebut seolah-olah hanya sektor Kelautan dan Perikanan yang berkepentingan padahal kebijakan tersebut menyangkut peran multi sektor. Konservasi - Dalam pengelolaan konservasi perlunya sinergi antara daerah dan pusat sebagai upaya penyesuaian terhadap UU No. 23 Tahun 2014 dengan UU No. 1 Tahun 2014; pedoman dan Kawasan Strategis Nasional Terpadu terkait izin lokasi harus jelas; dan insentif bagi kabupaten/kota yang telah mengalokasikan wilayahnya sebagai kawasan konservasi Pengawasan - Di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, peran serta masyarakat dalam hal pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih belum berjalan. Hal ini tentunya disebabkan belum adanya Perda RZWP3K, yang mana pada saat ini RZWP3K tersebut masih dalam tahap penyusunan oleh pemerintah provinsi setempat. b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum - Pemerintah daerah selaku pihak yang bertanggungjawab dalam melakukan pengawasan dan pengendalian PWP3K mempunyai peranan strategis. Sebagai contoh di Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan melalui kegiatan patroli di perairan Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera. Namun, terdapat informasi menarik bahwa setidaknya ada 21 stakeholder yang terlibat di Provinsi Sumatera Utara dan tidak ada sinergitas dari seluruh stakeholder tersebut karena sebagian besar stakeholder memiliki dan mengacu pada peraturan perundangan tersendiri. - Akreditasi terhadap Program PWP3K di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum dilaksanakan. Padahal provinsi ini sudah memiliki RZWP3K sejak tahun 2011. Agar akreditasi dapat dilakukan, pemerintah daerah harus segera mengesahkan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K, serta pemerintah pusat harus segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai izin lokasi dan izin pengelolaanWP3K - Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan - Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan. Ego structural lintas pemerintah mendominasi, sedang infrastruktur kelautan tidak cukup untuk mengimbangi sektor lain sehingga laut semakin tertinggal c. Aspek Budaya Hukum - Pelaksanaan UU PWP3K ke sejumlah daerah, khususnya ke provinsi-provinsi yang belum selesai membuat peraturan daerah (perda) terkait RZWP3K di daerahnya seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, tergambarkan bahwa salah satu kesulitan atau hambatan bagi pemerintah provinsi dalam membuat RZWP3K adalah dalam hal menghimpun data atau informasi dari pemerintah kabupaten/kota - Masyarakat juga kurang dilibatkan dalam proses penyusunan RZWP3K - Di Provinsi Sulawesi Selatan, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan masih kurang. Organisasi masyarakat, contoh organisasi nelayan, sebagai representasi dari masyarakat pesisir, dalam hal ini HNSI, menyatakan hampir tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian PWP3K. d. Aspek Sarana dan Prasarana - Di DIY, masih adanya kendala dalam pengawasan yaitu jumlah tenaga pengawas dan sarana prasarana yang terbatas. - Diberlakukannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum dalam pengelolaan sumber daya alam sehubungan dengan bagaimana pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten e. Aspek Pendanaan - Terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP3K

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU PWP3K Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: a. Aspek substansi - perlu adanya kesamaan pandangan dari pemangku kepentingan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, pelaku usaha, serta masyarakat - untuk menjamin data dan informasi yang valid dan lengkap untuk penyusunan seluruh dokumen perencanaan khususnya untuk penyusunan RZWP-3-K, dibutuhkan sumber daya manusia yang tepat serta koordinasi antar instansi, sehingga kelengkapan dan kevalidan data dapat terjamin secara cepat dan akurat. - Perlu ada aturan lebih rinci terkait Pemda memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; Perlu ada aturan lebih rinci terkait Pemda memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari - Diperlukan harmonisasi atau penyesuaian antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan undang-undang terkait lainnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengingat bahwa saat ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki peran lebih besar regulasi dan kewenangan di daerah, selain itu juga guna menghindari adanya overlapping antar peraturan perundang-undangan. - UU PWP3K diperlukan suatu perubahan atau revisi, untuk menjawab permasalahan disharmonisasi antara UU PWP3K dengan UU Pemda serta UU terkait lainnya. Mengenai pengelolaan pesisir, perencanaan zonasi, penerbitan izin, pemanfaatan, dan pemberdayaan masyarakat pesisir, perlu diperjelas kewenangannya. Kejelasan kewenangan dimaksud, agar penegakan hukum terhadap UU tersebut dapat diterapkan di masyarakat - Untuk keefektifan dalam pelaksanaan UU PWP3K, pemerintah supaya mendesak percepatan perencanaan zonasi bagi Pemerintah Provinsi yang belum memiliki atau mengesahkan Perda tentang Perencanaan Zonasi. Dengan penyelesaian Perda-Perda Zonasi dimaksud, agar dalam pemanfaatan di lapangan atau daerah, Pemda segera mengevaluasi izin lokasi yang sudah dikeluarkannya. b. Aspek kelembagaan - Agar akreditasi dapat dilakukan, pemerintah daerah harus segera mengesahkan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K, serta pemerintah pusat harus segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan WP3K. - Untuk dapat melaksanakan program pembinaan dengan baik dan tepat sasaran, diperlukan suatu guideline, modul atau semacam kurikulum pembinaan yang sistematis, terarah dan berjenjang. Selain itu untuk mendukung mekanisme pengawasan monitoring dan evaluasi, diperlukan juga indikator-indikator standar penilaian yang terukur dan disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. c. Aspek Budaya Hukum - Pemerintah hendaknya secara proaktif mendorong dan mengajak peran serta masyarakat dalam pelaksanaan UU PWP3K, agar peraturan pelaksanaan yang sudah dibuat, yaitu Permen tentang Peran serta masyarakat tidak hanya berhenti di konsepsi peraturan, namun benar-benar diimplementasikan dengan sosialisasi secara proaktif dalam mengajak peranserta masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan masyarakat wilayah pesisir yang menjadi stakeholder utamanya. d. Aspek Pendanaan - perlunya dukungan anggaran yang cukup dan memadai untuk membiayai seluruh proses atau langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAWP-3-K.