1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Permasalahan Terkait Pengaturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Perkembangan dalam perdagangan saat ini tidak hanya melakukan kegiatan perdagangan secara konvensional namun sudah berkembang lebih jauh dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi yang ada saat ini, perkembangan tersebut tentu saja akan berdampak positif dalam perkembangan perekonomian sehingga saat ini perdagangan dengan sistem elektronik marak dilakukan atau lebih dikenal dengan e-commerce. Dalam UU Perdagangan pengaturan terkait hal tersebut diatur dalam Pasal 65 UU Perdagangan yang mengatur terkait dengan PMSE. Dengan begitu besarnya potensi e-commerce di Indonesia tentu saja memerlukan kesiapan baik itu dalam hal infrastruktur dan juga regulasi yang mengatur kegiatan e-commerce tersebut.
Permasalahan dan tantangan dalam PMSE yang ditemui antara lain belum adanya pengaturan yang jelas terkait bisnis model PMSE khususnya bisnis lokapasar, indikasi praktik white labelling atas produk UMKM, belum adanya pengaturan atau ketentuan yang jelas bagi Pedagang Luar Negeri, masih ditemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, serta masih ditemukannya barang yang dijual di lokapasar yang belum memenuhi standar serta proses pangaduan dan penyelesaian sengketa.
b. Masih Terdapat Beberapa Peraturan Pelaksana Yang Belum Diterbitkan oleh Pemerintah
Peraturan pelaksana merupakan peraturan yang dibentuk atas delegasi dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya untuk mengatur hal tertentu. Dalam UU Perdagangan sendiri masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan hingga saat ini yang antara lain diatur dalam Pasal 18 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 72, Pasal 73 ayat (4), Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 101 ayat (3) UU Perdagangan. Belum diterbitkannya bebeberapa peraturan pelaksanaan tersebut berpotensi menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya.
c. Perbedaan Pengaturan Antara UU Perdagangan dengan Undang-Undang Lainnya:
1) UU Perdagangan dengan UU Perlindungan Konsumen
Terdapat perbedaan definisi Pelaku Usaha yang ada di UU Perdagangan dan UU Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan memberikan batasan bahwa Pelaku Usaha hanya WNI dan badan usaha yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang dibentuk di wilayah NKRI. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan demikian dalam pendefinisian Pelaku Usaha. Perbedaan definisi Pelaku Usaha dalam kedua undang-undang tersebut berpotensi menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Sebab, kegiatan e-commerce tentunya tidak dapat dibatasi oleh aspek teritorial.
2) UU Perdagangan dengan UU JPH
Terdapat perbedaan definisi antara Pelaku Usaha yang diatur dalam UU Perdagangan dengan yang diatur dalam UU JPH. Sebab, definisi Pelaku Usaha dalam UU Perdagangan yang membatasi hanya WNI dan badan usaha yang berkedudukan di wilayah NKRI menjadikan ruang lingkup yang lebih sempit dibandingkan definisi Pelaku Usaha dalam UU JPH. Selain itu terdapat perbedaan pengaturan dalam Pasal 57 ayat (1) UU Perdagangan dengan Pasal 4 UU JPH dalam hal produk yang beredar dimana dalam UU JPH mewajibkan untuk produk yang akan masuk, beredar dan akan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal sementara dalam UU Perdagangan tidak mewajibkan hal tersebut melainkan hanya mensyaratkan untuk memenuhi SNI dan persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. Hal tersebut berpotensi menimbulkan hambatan dalam implementasinya.
d. Pelanggaran Terhadap Larangan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting Pada Saat Terjadi Kelangkaan Barang dan Gejolak Harga
Pemenuhan barang kebutuhan pokok merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, dalam hal ini pemenuhan barang kebutuhan pokok tersebut termasuk kedalam kebutuhan primer yang mutlak untuk dipenuhi. Menurut Organisasi Buruh Internasional atau ILO (International Labour Organization), kebutuhan primer ialah kebutuhan fisik minim masyarakat, berkaitan dengan kecukupan kebutuhan pokok setiap masyarakat baik masyarakat kaya maupun miskin. Lebih lanjut dalam Pasal 29 UU Perdagangan mengatur terkait dengan larangan bagi pelaku usaha untuk menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan. Adanya larangan tersebut tentu saja bertujuan untuk menjamin pemenuhan atas barang kebutuhan pokok terhadap masyarakat.
Dalam tataran implementasi masih banyak terjadi penimbunan barang, karena pengaturan yang belum jelas khususnya terkait dengan jangka waktu, dan volume penimbunan serta pihak yang berwenang menentukan kelangkaan barang gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Meskipun telah ada langkah-langkah antisipasi yang dilakukan oleh pemeritah dan pemerintah daerah dalam mengendalikan barang kebutuhan pokok, namun pada implementasinya masih kerap ditemui pelaku usaha yang menimbun barang kebutuhan pokok tersebut meskipun sudah dilarang sebagaimana pengaturan dalam Pasal 29 UU Perdagangan dan terdapat sanksi apabila melanggar ketentuan tersebut.
2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Belum Optimalnya Peran Pemerintah Dan Pemda Dalam Pemenuhan Ketersedian Barang Kebutuhan Pokok Dalam Memberikan Perlindungan Dan Pengamanan Perdagangan
Perlindungan dan pengamanan perdagangan dalam pelaksanaannya masih tejadi fluktuasi harga barang pokok dan barang penting banyak dipengaruhi oleh faktor perekonomian dan geopolitik global, terutama untuk barang bersumber dari impor serta rantai pasok yang belum efektif dan efisien yang dipengaruhi akibat belum tepatnya kebijakan yang diambil. Oleh karena itu, peran Pemerintah dan Pemerintah Pusat masih belum optimal dalam pemenuhan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting di dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan pemerintah dan pemerintah daerah masih belum memiliki informasi ketersediaan pasokan dalam negeri yang valid. Dalam UU Perdagangan sebenarnya sudah mengatur bahwa sistem informasi perdagangan yang terintegrasi dapat menciptakan informasi perdagangan yang real time di seluruh wilayah Indonesia. Masalah yang saat ini dihadapi adalah sistem informasi perdagangan terintegrasi tersebut datanya masih tersebar di berbagai K/L, sehingga masih belum dapat menentukan arah kebijakan yang sesuai sehingga baik pemerintah maupun pemerintah daerah masih harus mengecek persediaan dengan turun ke lapangan secara manual.
b. Permasalahan Pelaksanaan Pengendalian Perdagangan Luar Negeri yang diatur oleh Pemerintah Pusat
Perdagangan Luar Negeri atau Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan, antara individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain . Terkait dengan kegiatan Perdagangan Luar Negeri tersebut diatur secara khusus oleh UU Perdagangan dalam BAB V UU Perdagangan.
Menurut salah satu stakeholder sebagai pelaksana ketentuan-ketentuan tersebut masih terdapat kendala yang terjadi dan ditemukan dalam pelaksanaannya di lapangan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pekalongan mengatakan bahwa masih terdapat kendala yang terjadi dalam segi pengendalian yaitu terkait lamanya penerbitan Perizinan Berusaha/persetujuan Eksportir dan/atau Importir untuk melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor barang.
c. Implementasi Pelabelan SNI Terhadap Barang Perdagangan
Standardisasi ialah suatu patokan atau pedoman yang digunakan untuk menjadi acuan minimal dalam mencapai keselarasan. Standardisasi disebut sebagai usaha bersama dalam pembentukan sebuah standar. Standarisasi diatur secara khusus dalam Bab VII UU Perdagangan dan dibagi dalam dua bagian yaitu Bagian Kesatu yang berisi mengenai Standarisasi Barang serta Bagian Kedua mengenai Standarisasi Jasa. Terkait Standarisasi Barang, dalam Pasal 57 UU Perdagangan dikatakan bahwa barang-barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi dua syarat, yaitu harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut sebagai SNI) yang telah diberlakukan secara wajib; atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Kewajiban Pelaku Usaha dalam melakukan pemenuhan SNI terhadap suatu barang yang diperdagangkan sudah diatur dengan sangat baik dalam Undang-Undang, namun dalam implementasinya masih terdapat kendala yang terjadi di lapangan. Hal ini disampaikan oleh beberapa stakeholder bahwa implementasi standar pemberlakuan SNI wajib belum terintegrasi secara lengkap atau komperehensif.
d. Pemberdayaan Koperasi Serta Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Yang Multisektoral
Ketentuan terkait Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tersebut diatur secara khusus dalam BAB X UU Perdagangan yaitu pada Pasal 73 UU Perdagangan. Dalam Pasal 73 ayat (1) UU Perdagangan dikatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan.
Pengaturan mengenai Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sudah diatur dengan baik dan jelas dalam UU Perdagangan, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala yang terjadi. Hal tersebut disampaikan oleh para stakeholder baik di pusat maupun daerah sebagai pelaksana ketentuan dan yang mengkaji terkait kendala pelaksanaan ketentuan tersebut. Kendala-kendala tersebut yaitu tumpang tindih kewenangan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku usaha ekspor UMKM, belum terlaksananya pelaksanaan digitalisasi UMKM, dan modal koperasi serta UMKM yang cenderung sedikit.
3. ASPEK PENDANAAN
a. Tidak Memadainya Dana Untuk Mengendalikan Kestersediaan Barang Kebutuhan Pokok Dan/Atau Barang Penting
UU Perdagangan terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yakni Pasal 25 sampai dengan Pasal 34 UU Perdagangan. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.
Dalam Pasal 10 Perpres 59/2020 mengatur tentang biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan pengendalian ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, selama ini, sebagian besar Pemerintah Daerah masih bergantung pada anggaran dari pusat termasuk dana dekonsentrasi dalam melakukan upaya peningkatan produksi barang kebutuhan pokok dan barang penting dikarenakan kebijakan perdagangan yang masih merupakan urusan pilihan. Sehingga diperlukan menjamin ketersediaan barang dengan data yang valid dan terintegrasi dengan ketersediaan barang dalam pasar tradisional dan modern.
b. Hambatan Anggaran Dalam Pemberdayaan Perdagangan UMKM di Daerah
Pelaku usaha UMKM merupakan pelaku ekonomi yang tersebar ditengah-tengah masyarakat yang terus berkembang pada era otonomi daerah, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil dan menengah diatur dalam Bab X Pasal 73 UU Perdagangan. Pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor perdagangan dapat berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan promosi dna pemasaran. Akan tetapi masih terdapat beberapa permasalahan yang terjadi terkait dengan akses dan/atau bantuan permodalan. Selain itu, dalam PP 7/2021, terdapat pengaturan mengenai Pemkab/Pemkot memiliki kewenangan melakukan restrukturisasi terhadap koperasi, akan tetapi secara pendanaan dari segi anggaran kemungkinan pemerintah daerah tidak bisa melaksanakannya dikarenakan tidak dianggarkan di mata anggaran tahunan.
4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Sistem Terintegrasi Terkait Data Yang Valid
Sistem informasi perdagangan yang selama ini terlaksana masih tersebar dalam Kementerian/Lembaga masing-masing yang menyediakan data informasi perdagangan berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Sistem informasi perdagangan terintegrasi memiliki fungsi untuk mengetahui jumlah pasokan kebutuhan dalam negeri sehingga diharapkan terdapat informasi yang akurat yang tersedia dalam hal memberikan kebijakan yang tepat guna untuk Indonesia setiap waktu. Data yang ada di daerah tersebut harusterintegrasi dan sampai ke Pemerintah agar dapat diketahui kondisi perdagangan nasional secara holistik. Sebaliknya, tidak tersedianya data pasokan yang valid di dalam negeri menjadi salah satu penyumbang kesalahan pemerintah dalam menilai pasokan kebutuhan dan cara untuk mengantisipasinya karena sering kali data yang tidak valid atas keadaan perdagangan di Indonesia membuat pemerintah baru turun ke pasar ketika terjadi kesulitan pasokan dan harga yang tidak stabil. Jika hal ini terus terjadi dikhawatirkan terjadi inflasi yang berdampak luas pada timbulnya resesi ekonomi sebagaimana yang telah dialami oleh berbagai negara lain.
b. Pengelolaan Pasar Rakyat dalam rangka peningkatan daya saing
Pasar Rakyat adalah tempat usaha yang ditata, dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar menawar Pasar Rakyat mempunyai peran yang sangat penting sebagai penggerak perekonomian, sehingga dalam pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitasnya diatur secara khusus dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU Perdagangan. Namun dalam pelaksaannya, masih terdapat beberapa kendala yang terjadi. Kendala tersebut adalah pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat belum menunjukkan skala penilaian yang baik karena masih minimnya penganggaran perbaikan fasilitas dan pembangunan Pasar Rakyat; dan masih terdapat beberapa bangunan Pasar Rakyat yang tidak termanfaatkan secara maksimal.
5. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Tingkat Kepatuhan Pelaku Usaha baik Konvensional maupun yang menggunakan PMSE
Pemerintah telah menerbitkan PP 80/2019 pada 24 November 2019. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, PMSE adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik atau yang lebih dikenal dengan istilah e-commerce. PP 80/2019 mengatur pokok-pokok transaksi e-commerce baik dari dalam maupun luar negeri, mencakup pelaku usaha, perizinan, dan pembayaran.
Dalam implementasinya, masih ada kesulitan penerapan dalam hal penyelesaian sengketa khususnya transaksi elektronik yang nilai transaksinya tidak begitu besar, data/informasi barang tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang diterima, dan sanksi administratif tidak berjalan efektif bilamana masyarakat tidak melaporkan. Sedangkan terhadap pelaku usaha yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara benar maka diancam dengan sanksi pidana sebagaimana yang tertulis pada Pasal 115 UU Perdagangan. Selain itu, implementasi penjatuhan sanksi sulit diterapkan.
Selain itu, dalam pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku usaha PMSE sangat sulit mengingat market place telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa berupa pergantian produk apabila produk tidak sesuai. Pelaku usaha e-commerce juga belum memenuhi ketentuan SNI wajib dan pelaku usaha masih kurang mendapatkan sosialisasi berkaitan dengan aturan regulasi sektor perdagangan khususnya mengenai perdagangan melalui sistem elektronik/OSS.
b. Peningkatan Peran Serta Masyarakat
Dalam UU Perdagangan belum mengatur tentang Peran Serta Masyarakat. Hal ini merupakan hal sangat penting dikarenakan untuk pembangunan ekonomi di bidang perdagangan demi memajukan kesejahteraan umum seperti pelibatan masyarakat itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam bidang perdagangan, masyarakat dapat membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan ataupun memberikan masukan-masukan terkait dengan kendala-kendala yang terjadi di bidang perdagangan.
6. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA
Masih terdapat beberapa pengaturan dalam UU Perdagangan yang belum selaras dengan nilai-nilai Pancasila, diantaranya:
a. Definisi Pelaku Usaha dalam UU Perdagangan yang hanya dibatasi kepada WNI saja berpotensi mendiskriminasikan antar pelaku usaha, terutama pelaku usaha luar negeri, sehingga bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila;
b. Ketentuan Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan mengatur larangan pembatasan ekspor dan impor. Namun, frasa “kepentingan umum” dalam Pasal 50 UU Perdagangan tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria yang dimaksud dengan kepentingan umum sehingga menimbulkan multitafsir. Selain itu, frasa “industri tertentu” dalam Pasal 54 UU Perdagangan juga tidak menjelaskan secara tegas mengenai kriteria industri tertentu yang dimaksudkan sehingga menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan tidak selaras dengan sila ke-5 Pancasila;
c. Pasal 57 dan Pasal 113 UU Perdagangan mewajibkan SNI untuk semua barang yang diperdagangkan dan disertai dengan sanksi apabila pelaku usaha melanggar. Namun, ketentuan ini berpotensi merugikan pelaku usaha UMKM yang masih kesulitan memenuhi kewajiban SNI. Sehingga, ketentuan ini belum selaras dengan sila ke-5 Pancasila;
d. Pasal 67 ayat (3) UU Perdagangan mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan tentang perlindungan dan pengamanan bagi pelaku UMKM yang terkena dampak perdagangan bebas sehingga belum selaras dengan sila ke-4 Pancasila.