Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan sejak tahun 2003 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) adanya disharmoni UU Ketenagakerjaan dengan Permenakertrans RI No. 232/PEM/2003 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Ketentuan Pasal 24 UU Naker mengatur bahwa pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Namun aturan pelaksananya yaitu Permenakertrans RI No. 232/PEM/2003 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri Pasal 2 mengatur pemagangan diselenggarakan oleh perusahaan yang memiliki unit pelatihan, dan jika perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, dapat melakukan kerja sama dengan LPK. Pasal 24 UU Naker tidak mempersyaratkan perusahaan harus memiliki unit pelatihan. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemagangan dapat dilakukan di perusahaan sendiri dengan membuat perjanjian magang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UU Naker
2) belum ada aturan khusus mengatur mengenai tanggung jawab pengusaha dalam meningkatkan kompetensi pekerjanya, sehingga tidak semua pengusaha melaksanakan kewajiban tersebut
3) dalam praktik, pelatihan kerja dianggap kurang menarik dan manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh pekerja pelaksanaan pelatihan kerja masih diutamakan untuk pekerja yang memiliki hubungan kekerabatan kepada bubuhan/kerabat dengan pihak perusahaan
4) terdapat potensi penyimpangan dalam penyelenggaraan pelatihan kerja, seperti dikenakannya biaya pelatihan kepada peserta, dan penyimpangan dana pelatihan kerja sehingga menjadi kasus pidana karena peserta pelatihan direkayasa
5) penempatan pekerja belum sepenuhnya sesuai dengan kompetensi
6) menurut SP Mathilda–FSPPB, peran Disnakertrans kurang maksimal dalam pengembangan kompetensi bagi lulusan SMK dan S1. Seharusnya pemagangan diarahkan pada peningkatan skill/keahlian dan tenaga spesialis agar sejalan dengan persaingan kerja yang semakin berat, terlebih lagi dengan dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (MEA)
7) pekerja magang diberikan upah di bawah upah minimum dengan alasan bukan pekerja perusahaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang diatur didalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengenai upah minimum
8) terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai TKA yang diatur secara umum dan didelegasikan kepada peraturan pelaksana, seperti aturan tentang masa kerja, jabatan, standar kompetensi dan dana kompensasi. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai aturan turunan tentang TKA yang bersifat sektoral dan tidak jelas standarnya
9) ketentuan Pasal 3 Permenaker No. 35 Tahun 2015 yang menghapus ketentuan tentang kewajiban pemberi kerja yang mempekerjakan 1 orang TKA untuk menyerap sekurang-kurangnya 10 orang tenaga kerja lokal, telah membuka kesempatan pada perusahaan untuk mempekerjakan TKA tanpa pembatasan yang jelas, sehingga jumlah TKA lebih besar dari tenaga kerja lokal bahkan bisa saja semua adalah TKA. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 45 UU No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan kepada pemberi kerja untuk menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga kerja pendamping
10) terdapat ketentuan outsourcing yang dilanggar tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan yaitu kriteria penentuan kegiatan utama (core) dan kegiatan penunjang (non-core) dalam penerapan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, tidak sama dengan kriteria non-core yang diatur oleh beberapa sektor (misalnya dalam UU Naker kriteria non-core adalah kegiatan yang dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, sedangkan dalam peraturan di sektor migas kriteria non-core terkait dengan besar kecilnya risiko pekerjaan).
11) banyak perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan tanpa mendapatkan alur dari asosiasi sectoral. Alur dari asosiasi sektoral harus disetujui oleh Pemerintah, sementara tidak ada batasan/standar kategori pembuatan alur proses produksi. Kemudian banyak perusahaan vendor yang melaksanakan pemborongan pekerjaan yang tidak mendaftarkan perjanjian pemborongan kepada instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota, sementara tidak ada sanksi yang dapat diberikan
12) dalam praktik, masih terdapat anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak
13) terkait dengan Pasal 88 dan 89 UU ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
14) terdapat Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, sanksi pada Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jika pekerja/buruh melanggar Pasal 137 dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebut oleh MK tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dalam rangka kebebasan menyatakan sikap. Putusan MK mengenai aturan mogok kerja dan lock out dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perlu di-review karena banyak pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga terjadi kekosongan hukum
15) lamanya waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung
16) belum adanya ketentuan yang mengatur perhitungan masa kerja dalam masa penyelesaian perselisihan hubungan industrial
17) pelaksanaan waktu kerja lembur dinilai menyulitkan bagi pelaku usaha perkebunan karena dengan batasan waktu lembur kesulitan yang muncul adalah bila sedang ada panen besar (misalnya kelapa sawit)
18) pelaksanaan terhadap ketentuan untuk melindungi pekerja perempuan dalam melaksanakan cuti hamil dan cuti haid belum efektif.
19) ketentuan mengenai nilai nominal denda pada ketentuan pidana belum disesuaikan dengan nilai inflasi dan batas minimal pidana kurungan terlalu rendah (paling singkat 1 bulan
b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) pengusaha belum seluruhnya melaksanakan kewajibannya untuk menyelenggarakan pelatihan kerja, sehingga belum semua pekerja memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya.
2) terkait Pasal 18 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, sertifikat keahlian dikeluarkan oleh banyak badan/lembaga (antara lain kementerian tertentu dan BNSP), sehingga tidak ada standar yang jelas karena masing-masing badan/lembaga memiliki standar yang berbeda-beda.
3) terdapat permasalahan penegak hukum berkaitan dengan minimnya informasi, koordinasi, dan pengawasan. Minimnya informasi terlihat dari tidak sinkronnya informasi antara pusat dan daerah terkait rencana penggunaan TKA (RPTKA) dan izin mempekerjakan TKA (IMTA) untuk pertama kali
4) minimnya kualitas dan kuantitas dari tenaga pengawas ketenagakerjaan di berbagai daerah.
5) masih sulitnya kebebasan berserikat dalam suatu perusahaan membuktikan bahwa hubungan antara perusahaan dengan serikat pekerja belum dapat berjalan dengan harmonis.
c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) minimnya sarana dan prasarana pelatihan kerja, terutama peralatan, pada gilirannya menghambat BLK yang telah ada di tiga wilayah pemantauan untuk berkembang
2) penggunaan TKA telah menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan masyarakat setempat. Maraknya penggunaan TKA menimbulkan pemikiran bahwa keberadaan TKA telah mengurangi lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal.
3) pengawasan ketenagakerjaan lemah disebabkan keterbatasan kuantitas pengawas ketenagakerjaan, kualitas sumber daya manusia (SDM) pengawas ketenagakerjaan yang rendah
4) jumlah PPNS dan anggaran pengawasan ketenagakerjaan yang terbatas dan sistem pengawasan yang belum jelas
d. Aspek Pendanaan
1) perusahaan kesulitan membayar upah minimum karena pada perkembangannya sekarang upah minimum tidak lagi berlaku sebagai ”safety net”
2) pengusaha terhambat dengan adanya kerugian untuk membayar upah pekerja/buruh tanpa mendapatkan hasil kerja. Di sisi lain dengan adanya PHK sebelum ditetapkan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadikan status pekerja/buruh tidak jelas, sementara kompensasi PHK belum diterima. Ketidakjelasan status ini menjadi kendala bagi pekerja dalam mencari pekerjaan yang baru
3) praktek penggunaan tenaga kerja magang sangat tidak manusiawi dan merugikan pekerja. Perusahaan hanya memberikan uang makan yang nilainya sangat kecil untuk pekerja magang
4) minimnya anggaran pengawasan mengakibatkan pengawas ketenagakerjaan lambat dalam merespons atau menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan oleh tenaga kerja/buruh
5) besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pekerja maupun pengusaha dalam rangka mengikuti sidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial
e. Aspek Budaya Hukum
1) pekerja/buruh tidak mengerti mekanisme PHK dan dengan sukarela membuat surat pengunduran diri
2) adanya ketakutan pengusaha jika pekerja/buruh aktif di serikat pekerja