Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
Tanggal
2022-07-08
Tim Penyusun
No Author

Perbankan merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan, sehingga membutuhkan landasan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian baik nasional maupun internasional. Landasan terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian dilakukan perubahan dengan membentuk Undang-Undang nOmor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ( UU 10/1998) antara lain karena terjadinya perkembangan perekonomian nasional di era globalisasi yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi serta telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa. Pada tahun 2020, Pasal 22 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 terkait dengan pendirian bank umum diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU 11/2020).

Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Perbankan, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Perbankan. UU Perbankan perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: definisi perbankan yang tidak relevan, jenis bank belum dibagi berdasarkan prinsip usaha konvensional dan syariah, adanya irisan norma mengenai kewenangan Bank Indonesia dan OJK dalam UU Perbankan dan UU OJK, bentuk badan hukum bank yang tidak relavan, belum adanya pengaturan batasan maksimum kepemilikan modal asing, pengaturan rahasia bank, belum adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen perbankan, belum adanya pengaturan mengenai digitalisasi jasa perbankan, dan literasi inklusi keuangan.

Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Perbankan dengan undang-undang terkait lainnya, sebagai berikut: 1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. melakukan harmonisasi/penyesuaian terkait definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan dengan Pasal 1 angka 5 UU OJK. b. penambahan rumusan norma Pasal 1 UU Perbankan dengan memberikan definisi terhadap frasa “Bank Konvensional”, “Bank Umum Konvensional”, “Bank Perkreditan Rakyat”, “Bank Syariah”, “Bank Umum Syariah”, dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” dengan merujuk pada definisi dalam Pasal 1 UU Perbankan Syariah. c. perubahan rumusan norma Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan dengan membagi lembaga perbankan berdasarkan prinsip usahanya, yaitu bank konvensional dan bank syariah, lalu dibagi berdasarkan jenis usahanya, yaitu bank umum konvensional dan BPR serta bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. d. penambahan rumusan pasal atau ayat dalam UU Perbankan sebagai penghubung dengan menyatakan secara tegas bahwa pengaturan mengenai bank syariah mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai perbankan syariah. e. penghapusan Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU Perbankan. f. penghapusan frasa “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” dalam ketentuan Pasal 7 huruf c, Pasal 8, Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A), Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf c UU Perbankan. g. perubahan frasa “Bank Indonesia” menjadi frasa “Otoritas Jasa Keuangan” dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 UU Perbankan. h. penghapusan frasa “koperasi” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan. i. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan. j. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan umum daerah” dan “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan. k. penambahan frasa “pemerintah daerah” dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan. l. penambahan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap Bank Umum dalam Pasal 22 UU Perbankan dengan mengacu kepada antara lain peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). m. penambahan ruang lingkup rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, yaitu mengenai nasabah peminjam dan pinjamannnya. n. melakukan harmonisasi/penyesuaian pengaturan terkait lembaga yang dapat meminta untuk dibukakan simpanan nasabah untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dalam Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (2) dan ayat (5) UU TPPU, dan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (5) UU Pendanaan Terorisme. o. penambahan ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan digitalisasi jasa perbankan dalam UU Perbankan. p. penambahan frasa “dan Pasal 12A” dalam ketentuan Pasal 15 UU Perbankan. q. penambahan frasa “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. r. penambahan ketentuan dalam Bab VIII UU Perbankan yang mengatur mengenai mekanisme pembukaan rahasia bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian dalam hal tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta bersama. s. penghapusan frasa “bagi bank” dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50A UU Perbankan. 2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. penguatan koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia guna menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor jasa keuangan dan masyarakat selaku konsumen perbankan. b. suatu mekanisme kerja yang mengedepankan koordinasi dan kolaborasi oleh berbagai institusi pembina, pengawas, dan pemeriksa terhadap kinerja BPD dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. 3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. kesiapan SDM yang kompeten untuk dapat memberikan pelayanan berbasis digital kepada nasabah; b. penambahan atau peningkatan perangkat teknologi maupun aplikasi perbankan sebagai penunjang digitalisasi; dan c. perluasan akses jaringan internet yang baik ke beberapa wilayah di Indonesia yang belum memadai jaringan internetnya. 4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan literasi masyarakat atas produk perbankan dan digitalisasi perbankan. b. pengamanan yang ekstra dalam melindungi nasabah pengguna jasa keuangan digital. 5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. penambahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak ekonomi pada Bagian Mengingat UU Perbankan b. limitasi secara tegas mengenai kepemilikan modal perorangan dan badan hukum asing pada bank umum pada Pasal 22 UU Perbankan. c. pengaturan mengenai perlindungan nasabah dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang digitalisasi perbankan.
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Tanggal
2022-07-07
Tim Penyusun
1844 2030 22000010 27000028 22000040

Penyelenggaraan Minerba telah diatur dalam UU Minerba yang telah mengalami beberpa kali perubahan yaitu dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020) dan dalam rangka peningkatan investasi di bidang pertambangan minerba pengaturan diberikan perubahan kembali melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020). Dengan berlakunya UU 3/2020 jo. UU 11/2020, pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan diharapkan telah memiliki acuan yang lebih jelas, lebih lengkap, dan lebih luas jangkauannya, serta dapat memberikan solusi atau langkah terbaik dalam permasalahan yang ada terkait pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, terbitnya UU 3/2020 jo. UU Cipta Kerja telah memberikan mekanisme penerbitan perizinan yang lebih sederhana dan terintegrasi dalam pelayanannya sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan investasi di sektor pertambangan mineral dan batubara kedepan. Namun demikian, terdapat 1 (satu) kali pengujian konstitusional (judicial review) terhadap Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dengan menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, sejak berlakunya UU 3/2020 jo UU 11/2020 masih terdapat beberapa peraturan pelaksana yang belum ditetapkan sehingga menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaan teknisnya, dan masih ditemukannya beberapa permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan UU Minerba, baik dari sisi substansi maupun implementasi yang perlu menjadi perhatian bagi pembentuk undang-undang. Berdasarkan penjelasan tersebut, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai salah satu supporting sistem terkait fungsi pengawasan DPR RI merasa perlu melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan UU Minerba dengan melakukan analisis dari aspek substansi hukum, struktur hukum, sarana dan prasarana, pendanaan, budaya hukum, dan arus pengutamaan nilai-nilai Pancasila, dengan melakukan pengumpulan data dan informasi dari seluruh pemangku kepentingan terkait penyelenggaraan minerba di tingkat pusat dan daerah.

Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Minerba, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Minerba. UU Minerba perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan; larangan melaksanakan kegiatan usaha pertambangan pada tempat yang dilarang; kegiatan "merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan" yang dikenakan sanksi pidana; dan ketentuan diberikan perpanjangan kelanjutan operasi KK/PKP2B yang masih berpotensi mengurangi hak prioritas BUMN dan BUMD dalam mendapatkan IUPK wilayah eks. KK/PKP2B. Efektivitas pelaksanaan UU Minerba saat ini masih terkendala sejumlah permasalahan implementasi antara lain yaitu: kurangnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin usaha pertambangan; banyak Perda penetapan WPR yang belum diterbitkan pemerintah daerah; kurangnya koordinasi antara KESDM, ATR/BPN, KLHK dalam menyelesaikan permasalahan hak atas tanah yang serta penanganan kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan aktivitas pertambangan; kurangnya pengawasan terhadap kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang oleh pemegang IUP/IUPK; dan belum adanya pengaturan mekanisme pencairan dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang; belum tersinkronisasi-nya data dan informasi pertambangan nasional; kurangnya pengawasan terhadap pemegang IUP/IUPK dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajak, PNBP, dan iuran pendapatan daerah yang diatur oleh undang-undang; serta masih maraknya kegiatan pertambangan rakyat ilegal di daerah. Selain itu, materi muatan UU Minerba terkait pengalihan kewenangan ke pemerintah pusat, kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang, pengenaan sanksi pidana terhadap orang yang merintangi dan mengganggu jalannya kegiatan usaha pertambangan, dan pemberian perpanjangan kelanjutan operasi/produksi bagi pemegang KK/PKP2B dalam bentuk IUPK, tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila sila pertama, sila kedua, dan kelima.

Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi substansi materi muatan dan sisi implementasi UU Minerba, sebagai berikut: 1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. Dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU Penataan Ruang yang merupakan UU yang bersifat lex specialis dalam hal pengaturan tata ruang dan wilayah. b. Diberikan penjelasan lebih lanjut terhadap norma Pasal 134 ayat (2) dan ayat (3) UU Minerba mengenai tempat yang dilarang dalam kegiatan usaha pertambangan dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan larangan kegiatan usaha pertambangan pada kawasan tertentu yang telah diatur peraturan perundang-undangan lain yang terkait. c. Adanya perumusan ulang yang lebih jelas mengenai frasa “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan” sebagaimana dimaksud Pasal 162 jo. Pasal 164 UU Minerba guna menghindari adanya potensi multitafsir dan pemaknaan yang ambigu oleh APH. d. Diberikan pembedaan pengaturan dan perlakuan bagi BUMN/BUMD yang diprioritaskan dengan badan usaha swasta yang ingin diberikan IUPK termasuk pemegang KK/PKP2B, dengan memberikan seleksi secara ketat dan harus diberikan batasan-batasan persyaratan yang lebih rinci dan lebih ketat, antara lain yaitu: syarat-syarat dokumen yang harus dipenuhi; syarat-syarat tambahan berupa kepastian peningkatan penerimaan negara dan peningkatan nilai tambah minerba dalam negeri; pembatasan jangka waktu perpanjangan yang mengakomodir keberlanjutan fungsi wilayah pertambangan; sampai dengan hasil evaluasi dari masyarakat sekitar dan kajian oleh pemerintah terhadap kegiatan usaha dan pertambangan yang dilakukan oleh pemegang KK dan PKP2B. 2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penugasan Penyelidikan dan Penelitian harus segera diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. b. Pemerintah Pusat harus tetap berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah dalam hal penerbitan perizinan berusaha. c. Adanya pembinaan dan pengawasan dari Pemerintah Pusat (kolaborasi antar instansi) agar tata cara pengumuman rencana WPR dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam UU Minerba yaitu pengumuman dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait, meskipun pengumuman yang dimaksud juga telah terintegrasi dengan sistem ESDM One Map Indonesia. d. Pemerintah Pusat perlu membentuk sebuah sistem yang dapat mendorong pemerintah daerah agar pemerintah daerah segera membentuk peraturan daerah tentang WPR, untuk menertibkan kegiatan pertambangan rakyat di daerah. e. Peningkatan koordinasi antara KESDM dengan KLHK terkait kriteria kerusakan lingkungan hidup, sehingga terbentuk persamaan persepsi dalam penanganan kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas tambang. a. Peningkatan koordinasi antara Dinas ESDM dan Kanwil ATR/BPN di daerah-daerah terkait dengan penyelesaian ha katas tanah yang tumpeng tindih dengan izin usaha pertambangan. b. Pemerintah perlu membentuk tim terpadu dalam pengawasan reklamasi dan/atau pascatambang supaya mempermudah koordinasi dan penanganan secara cepat terhadap tidak terlaksananya kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang oleh pemegang IUP/IUPK. Selain itu, perlu diatur mengenai mekanisme pencairan dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dan/atau pascatambang oleh Pemerintah Pusat dalam hal perusahaan pertambangan tidak melaksanakan kewajiban tersebut. 3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. Data ESDM One Map Indonesia perlu dilakukan sinkronisasi secara berkala dengan data pertambangan yang dimiliki oleh Dinas LHK, Dinas ATR/BPN, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa. b. Pemerintah Pusat perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan aksesibilitas data dan informasi ESDM One Map Indonesia di daerah. c. Perlu dibentuk pengaturan yang eksplisit dan rinci mengenai akuntanbiltas, transparansi, dan jaminan keamanan data dan informasi pertambangan yang diperoleh dari BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta. d. KESDM harus menyediakan sumber daya manusia yang dapat mengelola data pertambangan tersebut dan menjaga keamanan serta kerahasiaan data yang dikelolanya. e. KESDM perlu meningkatkan sarana prasarana berupa server, sistem firewall, dan pemeliharaan/maintance server yang sesuai dengan standar pemeliharaan server. 4. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan: a. Peningkatan audit atau pengawasan terhadap pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dalam melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak dalam hal membayar pajak yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pajak, bea cukai, PNBP berupa iuran tetap, iuran produksi, kompensasi data informasi, dan penerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Peningkatan audit atau pengawasan terhadap pemegang KK dan PKP2B dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal memberikan pendapatan yang menjadi hak pusat dan hak daerah sesuai dengan ketentuan KK dan PKP2Bnya dan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan terkait. 5. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. Pendekatan ekonomi, yaitu dengan penambahan jenis mata pencaharian masyarakat, dan/atau lapangan pekerjaan bagi masyarakat di wilayah tambang, agar masyarakat memiliki alternatif sumber pendapatan yang lain dan tidak terfokus pada kegiatan usaha tambang saja, misalnya dilakukan peningkatan bidang usaha ekonomi kreatif dan potensi wisata di daerah. b. Pendekatan kepada masyarakat dengan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan rakyat, diskusi terbuka dan penyuluhan yang dilaksanakan di hingga tingkat tapak/desa. c. Peningkatan aksesibilitas masyarakat daerah terhadap pengurusan perizinan kegiatan pertambangan rakyat (IPR). d. Peningkatan penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten dengan memasifkan penanganan pengaduan, operasi pengamanan, dan pengenaan sanksi. 6. Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: Materi muatan UU Minerba terkait pengalihan kewenangan ke pemerintah pusat, kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang, pengenaan sanksi pidana terhadap orang yang merintangi dan mengganggu jalannya kegiatan usaha pertambangan, dan pemberian perpanjangan KK/PKP2B dalam bentuk IUPK, perlu dilakukan penyesuaian kembali dengan nilai-nilai Pancasila sila pertama, sila kedua, dan kelima.