Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Tanggal
2022-09-13
Tim Penyusun
2126 2263 22000031 22000038 1913

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Perlindungan dan jaminan kebutuhan umat muslim untuk menggunakan dan/atau mengkonsumsi produk halal dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal). UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Jaminan Produk Halal diundangkan dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal; belum optimalnya pengawasan terkait produk halal oleh BPJPH dengan Kementrian dan/atau Lembaga terkait terkait; keterbatasan sarana dan prasarana, dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebagaimana diamanatkan oleh UU Jaminan Produk Halal.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Ketidakjelasan Definisi “Produk” Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan definisi Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada tataran implementasi ruang lingkup frasa definisi “jasa, produk rekayasa genetik, barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat” dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal terlalu luas dan menimbulkan multitafsir sehingga banyak pelaku usaha dan konsumen yang belum memahami frasa tersebut dan ketidakjelasan tersebut akan berdampak bagi pelaku usaha sehubungan “produk” yang wajib disertifikasi halal. b. Belum Terakomodirnya Standar Halal Terhadap Produk Yang Beredar Di Indonesia Dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal menentukan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” untuk menjamin kepastian hukum dari setiap produk yang akan dilakukan sertifikasi halal maka standar halal merupakan suatu parameter yang diperlukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam melakukan proses sertifikasi halal terhadap suatu produk. Namun, Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal belum mengkaomodir pengaturan terkait standar halal dalam suatu proses sertifikasi produk melainkan dalam implementasinya hanya ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya yang juga berdampak pada kurang optimalnya tujuan penyelenggaraan jaminan produk halal pada saat ini dikarenakan tidak adanya pengaturan lebih lanjut terkait standar halal terhadap proses suatu produk guna mendapatkan sertifikasi halal. c. Belum Adanya Pengaturan Lebih Lanjut Terkait Halal Self Declare Dalam Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal mengatur kewajiban sertifikasi halal produk bagi setiap pelaku usaha mikro dan kecil yang didasarkan pada pernyataan halal pelaku usaha mikro dan kecil/halal self declare. Namun, hingga pada saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai halal self declare hanya diatur Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2022 tentang Manual Sistem Jaminan Produk Halal Untuk Sertifikasi Halal Dengan Pernyataan Pelaku Usaha Mikro Dan Kecil (Self Declare) yang bersifat penetapan administratif (beschikking) bukan bersifat mengatur (regeling) tersebut sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan/ketidakpastian hukum dalam tataran implementaisnya, sebab produk UMK yang diperdagangkan berpotensi tidak dapat dijamin 100% (seratus persen) kehalalannya. d. Frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal Dibentuknya UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Guna menjamin terseleggaranya jaminan produk halal telah dibentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Jaminan produk Halal. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal mengatur bahwa “Dalam hal diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.” Namun, dalam pelaksanaannya BPJPH belum memiliki perwakilan di daerah hingga saat ini, sehingga fungsi dari BPJPH belum dapat berjalan optimal, salah satu faktor belum adanya perwakilan BPJPH di daerah adalah frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal sehingga berpotensi menghambat koordinasi antara LPH maupun lembaga lain dengan BPJPH dalam rangka penyelenggaraan JPH halal dikarenakan BPJPH yang hanya berada di pusat, sedangkan fungsi BPJPH sangat diperlukan keberadaaanya di daerah. e. Belum Adanya Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pemalsuan Sertifikat Dan/Atau Label Halal Terdapat kekosongan hukum dalam UU Jaminan Produk Halal terkait belum adanya pengaturan sanksi untuk pemalsuan Sertifikat Halal dan Label Halal padahal secara empiris, telah terjadi beberapa kasus pemalsuan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal. Dalam permasalahan tersebut sanksi pidana merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula ketika telah terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama. f. Perbedaan Pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU Lainnya 1) Perbedaan Pengaturan terkait kewenangan pengawasan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Pangan Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan terkait pengaturan pengawasan dalam penyelenggaraan jaminan produk halal. Pasal 95 ayat (1) UU Pangan mengatur bahwa pengawasan terhadap produk halal dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Namun, Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal hanya menentukan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh BPJPH dan Kementerian dan/atau Lembaga terkait tanpa adanya pengaturan pengawasan oleh Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terhadap kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia. 2) Perbedaan Pengaturan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdagangan Bahwa terdapat potensi disharmoni terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdangangan. Dalam Pasal 1 Angka 14 UU Perdagangan, menyebutkan “Setiap orang perseorangan warga negara Indonesia, …”. Namun, dalam Pasal 1 Angka 12 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan “Orang Perseorangan”. Dengan demikian, dalam UU Perdagangan unsur “perseorangan” lebih dikhususkan hanya warga negara Indonesia. Oleh karena itu, rumusan definisi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal berpotensi multitafsir pada tataran implementasinya serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kedudukan orang perseorangan WNA yang melakukan kegiatan perdangangan di wilayah Indonesia. 3) Perbedaan Pengaturan Antara UU Jaminan Produk Halal Dengan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Terdapat perbedaan pengaturan terkait kewenangan pengawasan dalam pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam hal ini khususnya pegawasan terhadap produk hewan. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah ikut serta dalam pengawasan produk hewan namun dalam UU Jaminan Produk Halal hanya mengamantkan BPJPH dan lembaga dan/atau kementrian terkait dalam pengawasan JPH di daerah, hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan tidak efektif dalam pelaksanaannya. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN a. Belum Optimalnya Penyelenggaraan Sertifikasi Halal BPJPH berwenang sebagai koordinator, verifikasi, penerbitan sertifikat dalam penyelenggaraan JPH, sedangkan LPH sebagai pemeriksa dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk serta MUI berwenang melakukan sidang fatwa dan penentuan kehalalan produk. Akan tetapi dalam implementasinya berdampak tidak terpenuhinya jangka waktu sertifikasi halal yang telah ditetapkan dalam UU Jaminan Produk Halal sehingga menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan penyelenggaran JPH. b. Belum adanya Mutual Recoginition Arrangment (MRA) Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal MRA sebagai suatu instrumen dalam perdagangan bebas memainkan peranan penting dalam pengembangan kerja sama internasional jaminan produk halal. MRA membuka peluang Indonesia untuk percepatan ekspor produk halal dan menjadi pemain dalam pasar halal global bukan hanya sebagai konsumen. Namun, sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum melakukan MRA terkait JPH sehingga bahan baku mentah yang diimpor dari negara pengirim tetap harus dilakukan sertifikasi halal ketika sampai di Indonesia serta sulitnya sertifikat halal terhadap suatu produk dari BPJPH diterima di beberapa negara. c. Belum Optimalnya Pengawasan Penyelenggaraan Produk Halal Bahwa belum optimalnya pengawasan penyelenggaraan produk halal oleh BPJPH dikarenakan beberapa faktor, yakni pertama, penghubung BPJPH di daerah hanya berupa Satgas Halal yang menjalankan tugas dan fungsinya hanya sebagai tugas tambahan bukan berupa tugas pokok sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan JPH belum berjalan optimal. Kedua, Pemerintah Daerah belum terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan JPH. Ketiga, minimnya kolaborasi dan koordinasi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait pengawasan penyelenggaraan JPH sehingga amanat Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 UU Jaminan Produk Halal mengenai pengawasan penyelenggaraan produk halal. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Minimnya Jumlah LPH di Indonesia LPH berfungsi melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk guna pelaksanaan sertifikasi halal, namun pada saat ini jumlah keberadaan LPH di Indonesia masih minim. Hingga saat ini baru terdapat 11 (sebelas) LPH yang terakreditasi BPJPH. Namun jumlah LPH tersebut tidak proporsional dengan kebutuhan sertifikasi halal pada saat ini. Sehingga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan sertifikasi halal seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal. b. Belum Optimalnya Aplikasi Penunjang Sertifikat Halal Bahwa saat ini BPJPH telah mempunyai sistem layanan penyelenggaraan JPH menggunakan layanan berbasis elektronik yang terintegrasi sebagai penunjang sertifikasi produk Halal dengan nama aplikasi SiHalal, akan tetapi dalam Impelementasinya aplikasi tersebut masih belum optimal sehingga timeline sertifikasi halal belum sesuai sebagaimana ketentuan UU Jaminan Produk Halal jo. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 39/2021) serta merugikan pelaku usaha. c. Minimnya Jumlah Auditor Halal Auditor halal merupakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai tugas penting dalam hal proses mendapatkan sertifikat halal suatu produk, sebab auditor halal bertugas untuk memeriksa kehalalan suatu produk mulai dari bahan hingga proses produksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UU Jaminan Produk Halal. Namun, dalam pelaksanaannya pada saat ini jumlah auditor halal baik di pusat maupun di daerah tidak proporsional (minim) dengan banyaknya jumlah produk yang harus dilakukan sertifikasi halal sehingga berakibat terhadap lamanya proses pemeriksaan kehalalan produk dikarenakan keterbatasan jumlah auditor halal yang juga berdampak terhadap penerbitan sertifikat halal dan label halal. Selain itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada terhambatnya pelaku usaha untuk menjual produknya sehingga menyebabkan kerugian terhadap pelaku usaha, dengan demikian penyelenggaraan jaminan produk halal tidak dapat berjalan optimal. 4. ASPEK BUDAYA HUKUM Peran serta masyarakat sebagai konsumen maupun sebagai Pelaku Usaha masih minim dalam rezim mandatory Halal. Hal tersebut dikarenakan pemahaman masyarakat sebagai konsumen terkait produk non-halal masih sebatas produk yang memiliki kandungan daging babi saja. Selanjutnya, bagi Pelaku Usaha, masih minimnya informasi terkait mekanisme sertifikasi halal mandatory. Serta baik Konsumen maupun Pelaku Usaha belum memahami maksud dan tujuan halal mandatory yang diamanatkan UU Jaminan Produk Halal. 5. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA Terdapat beberapa pasal dalam UU Jaminan Produk Halal yang berpotensi dan bertentangan dengan sila pertama dan sila ke 2 (dua): a. Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal yang belum mengakomodir asas syariat sebagai salah satu asas dalam UU Jaminan Produk Halal, mengingat bahwa lahirnya UU Jaminan Produk Halal merupakan jaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan umat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Dengan demikian Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal berpotensi bertentangan dengan sila pertama Pancasila; b. Bahwa dihilangkannya sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal jo. UU Cipta Kerja berpotensi bertentangan dengan indikator Pancasila terhadap sila ke-2 (dua).

1.Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. perubahan perumusan yang lebih lengkap dan jelas terkait definisi produk dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal; b. penambahan ayat terkait frasa “standar halal” dengan mengamanatkan peraturan pelaksana dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal; c. pengaturan lebih lanjut terkait halal self declare dengan mendelegasikan peraturan pelaksana sebagai mekanisme halal self declare; d. perubahan terhadap frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal; e. penambahan pengaturan rumusan tindak pidana serta bentuk sanksi pidana bagi subjek hukum yang memalsukan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal; f. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan; g. harmonisasi pengaturan terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 12 UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 1 angka 14 UU Perdangangan; h. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2.Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. konsep halal by design yaitu perbaikan secara komprehensif dimulai dari Pertama, perlu adanya pengaturan terkait standar halal. Kedua, perlu adanya penguatan kewajiban sertifikasi halal dari sektor hulu. Ketiga, perlu adanya sinergitas antara LPH di seluruh Indonesia dalam memeriksa produk halal dan kerjasama yang optimal antara BPJPH, MUI, LPH serta Lembaga dan Kementerian terkait dalam penyelenggaraan JPH; b. sinergi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait untuk. memulai MRA sebagai suatu langkah bagi Indonesia sebagai pengembangan kerjasama internasional dalam JPH; c. optimalisasi dalam sistem pengawasan JPH antara lain: pertama, BPJPH perlu ada perwakilan di daerah serta ada jabatan khusus pengawas produk halal terutama di daerah. Kedua, BPJPH perlu lebih mengoptimalkan koordinasi dan kolaborasi lintas kementerian dan/atau Lembaga serta Pemerintah Daerah terkait pengawasan produk halal. 3.Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. dukungan fasilitas pendirian LPH yang berkualitas oleh Pemerintah di berbagai daerah; b. perbaikan sistem apalikasi SiHalal; c. menambah SDM Auditor halal dengan melakukan berbagai rekrutmen auditor halal yang berkompeten di seluruh wilayah Indonesia. 4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: sosialisasi kepada masyarakat oleh BPJPH terkait keberadaan UU Jaminan Produk Halal serta memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berperan dalam penyelenggaraan JPH. 5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. penambahan asas prinsip syarih dalam Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal; b. perubahan sanksi yang lebih tegas, jelas, berkeadilan, dan berkeadaban dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal.
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN
Tanggal
2022-09-13
Tim Penyusun
1950 2024 22000032 22000039 1950 22000032 22000039 1913

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan hak konstitusional yang harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional yang berpihak pada rakyat sebagaimana diamanatkan Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila. Secara konstitusi, kesehatan merupakan hak setiap orang dan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, kesehatan harus diwujudkan dalam berbagai bentuk upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas, mudah diakses, dan terjangkau oleh masyarakat. Penyelenggaraan praktik kedokteran menempatkan dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Peran penting dokter dan dokter gigi tersebut berkaitan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Maka untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran). Sejak berlakunya UU Praktik Kedokteran terdapat 3 (tiga) putusan yang menyatakan bahwa permohonan pengujian UU Praktik Kedokteran dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni Putusan Nomor 4/PUU -V/2007, 40/PUU-X/2012, dan 10/PUU-XV/2017. Selain itu, beberapa isu permasalahan UU Praktik Kedokteran ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya permasalahan perlindungan terhadap dokter, permasalahan imbalan pelayanan medis, evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri, penyelenggaraa P2KB oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi, pengembangan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi (hospital based & university based), koordinasi pemerintah (pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota) dengan organisasi profesi terkait penerbitan SIP-PTSP, perbedaan tarif UKDI antara dokter lulusan luar negeri dengan lulusan dalam negeri, belum meratanya ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan medis, belum meratanya distribusi dokter dan dokter gigi di indonesia, dan kurangnya sosialisasi terkait pengaduan pasien terkait pelanggaran disiplin kedokteran.

1. Aspek Substansi Hukum a. Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU terkait lainnya 1) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dengan UU Kesehatan Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan antara Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan. Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan mengatur mengenai fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu alat/tempat dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sedangkan Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran hanya mengatur sarana pelayanan Kesehatan sebagai tempat penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, tidak mengatur mengenai alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan tersebut, hanya mengatur penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi. 2) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran a. Perbedaan definisi dokter dan dokter gigi Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi dokter dan dokter gigi antara Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran. Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran hanya menyebutkan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah. Sedangkan pengaturan di dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran disebutkan DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah untuk dokter dan dokter gigi spesialis-subspesialis untuk dokter gigi lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah sebagai dokter gigi. b. Perbedaan Definisi Organisasi Profesi Rumusan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran yang menyebutkan nama organisasi profesi telah menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya, hal ini terlihat pada inkonsistensi penggunaan frasa organisasi profesi kedokteran dan organisasi profesi kedokteran gigi pada Pasal 14 ayat (1) dan 28 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Pencantuman nama organisasi profesi pada definisi organisasi profesi yang diatur di dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran juga berbeda dengan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran yang tidak mencantumkan nama organisasi profesi didalam ketentuan pasal. Permasalahan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan pemahaman secara implementasi bagi para pemangku kepentingan. b. Perbedaan Pengaturan Pembinaan Dan Pengawasan Terhadap Dokter Dan Dokter Gigi Pembinaan dan pengawasan merupakan hal penting dalam praktik kedokteran. Hal tersebut telah diatur didalam Pasal 7 ayat (1) huruf c jo. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 71 UU Praktik Kedokteran. Terdapat inkonsistensi penggunaan frasa pembinaan dan pengawasan dan perbedaan pengaturan terkait dengan pihak yang berwenang dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pada rumusan pasal tersebut. Hal tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman dan tidak efektifnya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap praktik kedokteran. c. Kesesuaian Hak dan Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XIII/2015 Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Tenaga Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tenaga medis tidak lagi menjadi bagian dari tenaga kesehatan sebagaimana dalam Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan sehingga pada implementasinya terdapat beberapa peraturan pelaksana yang masih menggolongkan dokter dan dokter gigi sebagai tenaga Kesehatan seperti pada Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan. Adanya Putusan MK yang mengeluarkan tenaga medis dari tenaga kesehatan mengakibatkan hilangnya hak dan kewajiban yang melekat pada dokter dan dokter gigi yang semula diakomodir dalam UU Tenaga Kesehatan. perlu adanya tindak lanjut dari Putusan MK tersebut dalam bentuk penyesuaian pengaturan hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran. d. Pengaturan terkait Keanggotaan KKI dalam UU Praktik Kedokteran 1) Keanggotaan PDGI dalam KKI pasca Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 hanya mengikat pada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran sedangkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran yang juga mengatur keanggotaan KKI yang berasal dari organisasi profesi, yakni PDGI, tidak dimaknai sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran. Dampak dari perbedaan pengaturan ini adalah timbulnya perlakuan yang berbeda terhadap organisasi profesi dokter yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran, yakni IDI dan PDGI. 2) Mekanisme pengangkatan anggota KKI Selain pengaturan mengenai anggota KKI, mekanisme pengangkatan anggota KKI harus dilakukan perubahan dengan dilakukan secara independen tanpa adanya usulan dari organisasi atau asosiasi. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran yang berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (5) UU Praktik Kedokteran terkait tata cara pengangkatan keanggotaan KKI diatur dengan Peraturan Presiden yang diwujudkan dengan Perpres 35/2008. Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 16 UU Praktik Kedokteran jo. Pasal 11 Perpres 35/2008, masa bakti keanggotaan KKI adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Namun pengangkatan kembali tersebut tidak diatur lebih lanjut mekanismenya secara lengkap, sehingga sejauh ini hanya ada pengaturan pengajuan calon anggota KKI yang diajukan oleh organisasi atau asosiasi sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) UU Praktik Kedokteran. e. Pasal-Pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang telah mengalami perubahan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusimenyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Tindakan kooperatif antar lembaga negara sangat penting dilakukan karena produk hukum tidak dapat menjamin ekspektasi terhadap persoalan tertentu. Sebagaimana UU Praktik Kedokteran telah diajukan pengujian berulang kali oleh masyarakat dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan 3 (tiga) perkara dari pengujian yang diajukan tersebut yakni melalui Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017. Ketentuan Pasal dan/atau ayat dalam UU Praktik Kedokteran yang mengalami perubahan berdasarkan ketiga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Implikasi yang timbul dari tuga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah: 1. Menghilangkan pidana penjara. 2. Menghilangkan pidana kurungan. 3. Menghilangkan Sanksi Untuk Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu. 4. Pengecualian Profesi Tukang Gigi. 5. Larangan pengurus IDI untuk duduk dalam keanggotaan KKI. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, sejauh ini pembentuk undang-undang belum melakukan tindak lanjut dengan melakukan perubahan pasal/ayat UU Praktik Kedokteran. Maka untuk menjamin kepastian hukum Indonesia dan untuk menghormati lembaga peradilan nasional, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi, pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan atas pasal atau ayat yang mengalami perubahan berdasarka Putusan Mahkamah Konstitusi. f. Usulan Perubahan Dan Penambahan Pengaturan: 1) Perubahan Pengaturan Susunan Pimpinan MKDKI dan Pembentukan Perwakilan MKDKI di Daerah MKDKI merupakan Majelis khusus yang bernaung dibawah KKI dengan tugas dan fungsi menegakan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal 58 UU Praktik Kedokteran yang membatasi pimpinan MKDKI yakni seorang ketua, seorang wakil ketua dan seorang sekretaris dipandang mengakibatkan MKDKI berjalan tidak dinamis dan tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Disamping itu frasa “dapat” Pasal 57 ayat (2) UU Praktik Kedokteran secara ekplisit tidak mewajibkan pembentukan MKDKI di seluruh wilayah Indonesia padahal pelaksanaan praktik kedokteran terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya perubahan pengaturan mengenai susunan pimpinan serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi. 2) Batasan jumlah maksimal SIP Pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi dapat dijadikan media untuk pemerataan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran membatasi jumlah maksimal pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi tidak didasari pada kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah, hal ini berdampak pada tidak meratanya ketersediaan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan kembali ketentuan batasan pemberian SIP dengan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan ketersedian dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah. 3) Pengaturan terkait dengan telemedicine dan platform online Belum ada pengaturan terkait dengan telemedicine yang berkembang akhir-akhir ini yang telah mengakibatkan pelaksanaan praktik kedokteran tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Praktik Kedokteran. Selain itu, perkembangan teknologi dan praktik kedokteran yang semakin maju ini belum terakomodir dengan baik dan belum memiliki payung hukum yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum. 2. Aspek Struktur Hukum a. Permasalahan Perlindungan Terhadap Dokter Perkembangan saat ini masyarakat semakin sadar atas hak-haknya yang secara otomatis menuntut adanya transparansi pelayanan kesehatan, terutama dalam kaitan hubungan dokter dengan pasien dan menyangkut keluhan yang dialami pasien serta terapi, pengobatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Hal yang sangat mendasar dalam pelayanan kesehatan yang selalu dipermasalahkan masyarakat terutama pasien adalah menyangkut keterbukaan, transparansi, mutu pelayanan, penerapan aturan, kedisiplinan waktu, sehingga sering diduga dokter melakukan kelalaian medis. Namun perlindungan negara terhadap dokter masih belum cukup mengatur dengan jelas khususnya terkait dengan keamanan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi. selain itu, ketidakjelasan bentuk perlindungan hukum ini menjadikan dokter mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan hukum dalam melakukan pelayanan medis. b. Permasalahan Imbalan Pelayanan Medis Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Oleh karenanya dokter di dalam menjalankan profesi juga mempunyai hak untuk menerima imbalan jasa, begitupun juga pasien memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkaitan dengan imbalan jasa tersebut, diatur di dalam Pasal 50 dan Pasal 53 UU Praktik Kedokteran. Namun di dalam pelaksanaannya, masih ditemukan timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan aturan UU Praktik Kedokteran yaitu: 1) Keterbatasan APBD untuk membayar tunjangan/insentif dokter spesialis. Sedangkan rumah sakit swasta mampu membayar dengan nilai yang lebih tinggi sehingga dokter spesialis lebih tertarik untuk praktik di rumah sakit swasta tersebut. 2) Dalam praktik kedokteran dan kedokteran gigi tidak dapat dilepaskan pada pasar bebas dengan adanya pola tarif khususnya terkait dengan adanya BPJS Kesehatan. Penempatan alat kesehatan sebagai obyek pajak PPNBM menjadi masalah ketika dihadapkan dengan pelayanan kesehatan yang murah. Daerah di Indonesia yang heterogen dan memiliki perbedaan kondisi topografi, sosiologis dan ekonomisnya. Selain itu, inflasi dan kondisi ekonomi yang sangat fluktuatif juga menjadi tantangan keberadaan pola tarif pelayanan kesehatan. c. Evaluasi Dokter Dan Dokter Gigi Lulusan Luar Negeri Pelaksanaan praktik kedokteran bukan hanya diperuntukan kepada dokter dan dokter gigi lulusan dalam negeri akan tetapi juga dapat dilakukan bagi mereka yang lulusan luar negeri dengan melalui tahapan evaluasi. Pasal 30 ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang mengatur mengenai evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang ingin melakukan praktik di Indonesia secara impelementasi belum berjalan dengan baik hal ini dikarenakan koordinasi antar pemangku kepentingan belum berjalan sebagaimana mestinya. d. Penyelenggaraa P2KB Oleh Organisasi Profesi dan Lembaga Lain Yang Diakreditasi Oleh Organisasi Profesi Penyelengaraan P2KB merupakan hal yang penting dalam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Penyelenggaraan P2KB diatur dalam ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran. Penyelenggaraan P2KB pernah diajukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi melalui perkara nomor 80-PUU-XVI/2018 dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak permohonan Para Pemohon. Namun, munculnya lembaga-lembaga yang juga turut menyelenggarakan P2KB seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara layanan kesehatan berbasis elektronik tanpa adanya koordinasi dengan organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi menjadikan penyelenggaraan P2KB tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran, sehingga hal ini berpotensi mengancam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang selama ini dilakukan oleh organisasi profesi. Selain itu, P2KB yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki standar yang jelas dimana berpotensi menghambat pengembangan kompetensi dokter dan dokter gigi yang berpraktik. e. Pengembangan Pendidikan Kedokteran Dan Kedokteran Gigi (Hospital Based & University Based) Pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia saat ini dilakukan di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring di bawah koordinasi fakultas kedokteran. Penerapan pendidikan dan pelatihan residen dilakukan berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional sehingga disebut sebagai 'university based'. Pendekatan lain yang dilaksanakan di kebanyakan negara di dunia adalah pendekatan 'hospital based' yaitu pendidikan dokter spesialis diserahkan pengelolaannya kepada rumah sakit dengan koordinasi dari kolegium spesialis terkait. Namun penerapan hospital based dalam pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dihadapkan pada masalah adanya kolegium. Selain itu, posisi penting residen dalam pelayanan medis ternyata belum diimbangi dengan kejelasan aspek hukum. f. Koordinasi Pemerintah (Pejabat Kesehatan Yang Berwenang Di Kabupaten/Kota) Dengan Organisasi Profesi Terkait Penerbitan SIP di PTSP Adanya PTSP dalam mekaisme perijinan ini menimbulkan kerancuan pemahaman masyarakat terkait kewenangan penerbitan SIP dan pencabutannya SIP dokter dan dokter gigi karena berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU Praktik Kedokteran kewenangan penerbitan SIP dalam UU Praktik Kedokteran diterbitkan oleh pejabat Kesehatan yang berwenang Kabupaten/Kota (dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Permenkes 2052/2011), sedangkan dalam Perpres 97/2014 ditentukan bahwa izin dikeluarkan oleh PTSP Kabupaten/Kota sehingga terjadi disharmoni pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran. Namun sekali lagi, teknis pelaksanaan pemberian ijin dan pencabutannya harus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami regulasi dan pelaksanaannya. Permasalahan perijinan melalui sistem OSS yang dialami oleh Dinkes Kabupaten Kampar berkaitan dengan sistem yang sering mengalami gangguan dan jaringan internet yang kurang stabil. 3. Aspek Pendanaan Perkembangan di bidang kesehatan diiringi dengan terbukanya pasar global di mana dokter lulusan luar negeri pun dapat berpraktik di Indonesia selama memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Perkembangan di bidang Kesehatan diiringi dengan semakin banyaknya fakultas kedokteran di Indonesia. Banyaknya fakultas kedokteran yang berdiri perlu dijaga mutunya agar lulusan fakultas kedokteran dari universitas terkait menjadi lulusan yang terpercaya dan terjamin mutunya. Terkait penjagaan mutu mahasiswa kedokteran pemerintah melakukan uji kompetensi untuk mahasiswa lulusan fakultas kedokteran. Namun, pada implementasinya, terjadi perbedaan biaya untuk melakukan uji kompetensi antara lulusan dalam negeri dan lulusan luar negeri. 4. Aspek Sarana dan Prasarana a. Belum Meratanya Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis belum merata di setiap daerah terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Hal ini disebabkan oleh akses jalan dan transportasi di daerah terpencil sulit ditempuh. Minimnya sarana dan prasarana di daerah seperti alat kesehatan yang terbatas, obat-obatan yang sulit di dapat dan minimnya rumah sakit atau puskesmas di daerah menunjukan bahwa standar pelayanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 UU Praktik Kedokteran belum berjalan secara maksimal. Selain itu, keterbatasan anggaran pengadaan maupun biaya operasional dan pemeliharaan sarana prasarana kesehatan yang tinggi menjadi salah satu penyebab tidak meratanya sarana dan prasarana. Belum meratanya pembangunan daerah di Indonesia menjadi salah satu tantangan untuk pemenuhan alat kesehatan serta obat-obatan yang dibutuhkan di daerah hal ini karena moda transportasi dan akses jalan yang sulit ditempuh. b. Belum Meratanya Distribusi Dokter Dan Dokter Gigi di Indonesia Pemerataan sarana dan prasarana di daerah harus diimbangi dengan jumlah dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Mahasiswa lulusan fakultas kedokteran lebih banyak memilih untuk berpraktik di kota-kota besar mengakibatkan tidak meratanya pelayanan kesehatan di daerah. Beberapa faktor memengaruhi sedikitnya minat para lulusan fakultas kedokteran untuk mengabdi di daerah yaitu: • Kurang menjanjikannya pendapatan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi di daerah dibanding dengan kota-kota besar. • Kurang terjaminnya keselamatan dan keamanan dokter dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya. • Kurang menguntungkan dari sisi karier dokter dan dokter gigi. • Tidak adanya kewajiban yang mengikat bagi dokter dan dokter gigi berpraktik di daerah 3T dan berakibat dalam pencapaian SKP yang terhambat. 5. Aspek Budaya Hukum Masyarakat sebagai pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi dalam UU Praktik Kedokteran. Dalam pemberian pelayanan dapat terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter. Sehingga, pemerintah membentuk MKDKI sebagai upaya perlindungan yang maksimal bagi pasien dan dokter. MKDKI memiliki tugas untuk menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran disiplin yang dirasakan pasien. MKDKI menyediakan form pengaduan secara online untuk memudahkan masyarakat. Namun, masyarakat belum teredukasi dengan baik terkait pengaduan kepada MKDKI sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti tugas dan fungsi MKDKI serta bagaimana mekanisme pengaduan kepada MKDKI. Hal ini yang menyebabkan masyarakat langsung melakukan gugatan secara perdata ke pengadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi dokter. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Menurut BPIP, terdapat beberapa pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan dengan sila kedua, sila ketiga, sila keempat dan sila kelima Pancasila, di antaranya: a. Adanya Frasa “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi” dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Keempat Pancasila. Frasa ini secara tegas melimitasi eksistensi organisasi profesi dokter dan dokter gigi. Padahal, seharusnya setiap orang bebas untuk berserikat dan mendirikan organisasi, selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Pembatasan ini tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam pasal tersebut. b. Idealnya pelaksanaan Pasal 30 UU Praktik Kedokteran mengenai evaluasi dokter lulusan luar negeri termasuk dengan program adaptasi dilakukan oleh suatu tim koordinasi yang menghimpun semua perwakilan pemangku kepentingan dalam suatu Komite atau Tim Evaluasi. Dengan demikian, dapat dipastikan proses evaluasi Dokter LLN termasuk masa adaptasi akan lebih efektif dan efisien. Pasal 30 UU Praktik Kedokteran ini jika tidak ditambahkan ketentuan mengenai Komite Evaluasi, akan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. c. Idealnya ketentuan dalam Pasal 38 UU Praktik Kedokteran mengenai SIP sepenuhnya diambil alih oleh pemerintah. Dapat diasumsikan, setiap dokter yang telah memiliki STR pasti sudah layak untuk berpraktek. Lagi pula keberadaan rekomendasi dari organisasi profesi tidak menjamin sepenuhnya terkait etika profesi dokter. Untuk itu, sebaiknya Pasal 38 ayat (1) UU Praktik Kedokteran diubah dengan menghapuskan ketentuan mengenai memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. d. Idealnya ketentuan dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran untuk dapat mengadaptasi mekanisme yang diatur dalam UU SJSN. UU SJSN mengamanatkan agar pembayaran layanan kesehatan dibuat satu sistem melalui asuransi sosial. Dengan demikian, tidak ada lagi dokter yang mendapatkan imbalan dari pasien, begitu pula sebaliknya. e. Pasal 54 ayat 2 dan Pasal 71 UU Praktik Kedokteran mengamanatkan agar pembinaan dilakukan secara bersama-sama antara KKI dengan organisasi profesi. Hal ini bertentangan dengan Sila Ketiga Pancasila. Seharusnya, organisasi profesi tidak diberikan kewenangan sebesar pembinaan. Organisasi profesi harus dimaknai sebagai serikat profesi, yaitu berkumpulnya orang-orang dengan profesi yang sama dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia dengan profesi tertentu. Kewenangan pembinaan idealnya diberikan kepada KKI sebagai lembaga otonom yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah di sektor kesehatan. Intervensi dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan juga berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan Indonesia, serta untuk mencegah dan menangani terjadinya malpraktik. Selain itu, diperlukan juga optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom. f. Belum adanya pengaturan telemedicine (telehealth). g. Belum adanya pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.

1. Substansi Hukum a. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan dengan menambahkan “alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan Kesehatan” di dalam Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran terkait definisi dari sarana fasilitas kesehatan. b. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran dengan menambahkan “DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah” untuk rumusan definisi dokter dan “dokter gigi spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah untuk rumusan definisi dokter gigi” di dalam Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran definisi dokter dan dokter gigi. c. Perlu dirumuskan ulang dengan lebih jelas mengenai definisi organisasi profesi dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran guna menghindari adanya potensi multitafsir dan pemahaman yang berbeda oleh setiap pemangku kepentingan. d. Perlu adanya kejelasan pengaturan terkait kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI dan Organisasi Profesi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan dalam praktik kedokteran. e. Perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi terkait nomenklatur tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis) dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan serta penambahan pengaturan mengenai hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kesehatan. Dan perlu menjadi perhatian pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan definisi tenaga kesehatan dengan memperhatikan pembagian jenis tenaga medis yang mengakomodir dokter dan dokter gigi. f. Perlu adanya penyesuaian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 dan adanya penyesuaian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran dengan pengaturan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran dan perubahan materi muatan Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran. g. Perlu segera melakukan revisi berupa perubahan Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017. h. Perlu adanya penambahan pengaturan yang terkait dengan keanggotaan MKDKI serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi. Dan ketentuan pasal 58 UU Praktik Kedokteran diubah dengan ketentuan wakil ketua dan sekertaris tidak bisa dibatasi hanya satu, sehingga harus disesuaikan dengan kebutuhannya. i. Perlu dirumuskan kembali ketentuan pembatasan maksimal pemberian SIP dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah. Dan pengaturan pemberian SIP dengan kewajiban salah satunya wajib berpraktik di pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh pemerintah. j. Perlu adanya pengaturan mengenai teknologi medis dan penggunaannya termasuk telemedicine dalam hukum kesehatan di Indonesia. 2. Struktur Hukum a. Perlu adanya perhatian pemerintah dan pemerintah daerah terhadap perlindungan dokter dan dokter gigi khususnya terkait keamanan dan kesejahteraan. b. Perlu memastikan implementasi, monitoring, dan evaluasi terkait permasalahan imbalan medis agar berjalan secara optimal sehingga perlu adanya kesinambungan koordinasi dan komitmen antara Pemerintah, KKI, dan IDI serta pemangku kepentingan lainnya terkait perbaikan standar biaya imbalan pelayanan medis dan pola tarif khusus secara proporsional dengan adanya BPJS Kesehatan. c. Koordinasi antar pemangku kepentingan menjadi sangat penting agar dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri dapat dilakukan secepatnya mengingat hal ini terkait dengan hak asasi manusia dari dokter dan dokter gigi untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. d. Perlu adanya penegakan fungsi pengawasan dan penertiban lembaga lembaga penyelenggara P2KB secara ketat dari pemerintah mengingat ilmu kedokteran dalam praktiknya menyangkut kehidupan dan keselamatan nyawa manusia. e. Perlu adanya penerapan hospital based dalam pendidikan profesi kedokteran di Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dengan memperhatikan pengaturan yang ada dalam UU Sisdiknas, UU Pendidikan Kedokteran, dan UU Praktik Kedokteran dan perlu dilakukan penelaahan lebih lanjut atas posisi residen dalam pelaksanaan fungsi pendidikan dan pelayanan serta hak dan kewajibannya. f. Perlu adanya sosialisasi peraturan, sistem, dan pelaksanaan perijinan khususnya dalam penerbitan dan pencabutan SIP terhadap masyarakat. Selain itu perlu adanya dukungan sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan perijinan terpadu dengan sistem elektronik yang tengah diberlakukan secara nasional. 3. Pendanaan Perlu adanya persamaan tarif terkait biaya UKDI bagi lulusan dokter dan dokter gigi dalam negeri maupun lulusan luar negeri. 4. Sarana dan Prasarana a. Perlu adanya kebijakan yang memudahkan penyamarataan pengadaan sarana prasarana fasilitas Kesehatan di daerah. Selain itu, pemerataan sarana dan prasarana kesehatan harus didukung oleh pemerintah dengan melakukan pengkajian ulang terhadap alokasi APBN dan APBD untuk kesehatan dengan memperhatikan kebutuhan setiap daerah, serta komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan sarana dan prasarana pelayanan Kesehatan. b. Perlu adanya peningkatan kesejahteraan dokter dokter di daerah dengan memperhatikan pendapatan, pemberian reward, tempat tinggal, dan keamanan dokter c. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dengan organisasi profesi terkait pemutakhiran data dokter di suatu kabupaten/ kota agar dokter dan dokter gigi terutama dokter spesialis dapat terdistribusi dengan baik d. Peninjauan ulang APBN dan APBD terkait kesehatan dengan menetapkan APBD kesehatan di luar gaji dokter. e. Perlu adanya pembinaan dan pengawasan lebih lanjut terkait program dan pengembangan kompetensi dokter agar lebih menarik minat dokter untuk berpraktik di daerah. 5. Budaya Hukum Perlu koordinasi dengan lembaga dan aparat penegak hukum terkait pelaporan pengaduan pasien dalam hal pelanggaran disiplin kedokteran. Disamping itu perlu juga sosialisasi secara masif kepada masyarakat. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila a. Perlu pengaturan mengenai tidak adanya pembatasan bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran. b. Perlu penambahan pengaturan mengenai Komite Evaluasi dalam Pasal 30 UU Praktik Kedokteran. c. Perlu menghapuskan ketentuan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran yaitu “memiliki rekomendasi dari organisasi profesi” dan sepenuhnya dapat diambil alih oleh pemerintah berkaitan dengan SIP tersebut. d. Perlu pengadaptasian mekanisme yang diatur dalam UU SJSN yaitu pembayaran layanan kesehatan melalui satu sistem melalui asuransi sosial dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran. e. Perlu optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom untuk kewenangan pembinaan penyelenggaraan praktik kedokteran dan keterlibatan dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan. f. Perlu penambahan pengaturan telemedicine (telehealth). g. Perlu penambahan pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.