1. Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU terkait lainnya
1) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dengan UU Kesehatan
Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan antara Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan. Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan mengatur mengenai fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu alat/tempat dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sedangkan Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran hanya mengatur sarana pelayanan Kesehatan sebagai tempat penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, tidak mengatur mengenai alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan tersebut, hanya mengatur penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.
2) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran
a. Perbedaan definisi dokter dan dokter gigi
Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi dokter dan dokter gigi antara Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran. Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran hanya menyebutkan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah. Sedangkan pengaturan di dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran disebutkan DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah untuk dokter dan dokter gigi spesialis-subspesialis untuk dokter gigi lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah sebagai dokter gigi.
b. Perbedaan Definisi Organisasi Profesi
Rumusan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran yang menyebutkan nama organisasi profesi telah menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya, hal ini terlihat pada inkonsistensi penggunaan frasa organisasi profesi kedokteran dan organisasi profesi kedokteran gigi pada Pasal 14 ayat (1) dan 28 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Pencantuman nama organisasi profesi pada definisi organisasi profesi yang diatur di dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran juga berbeda dengan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran yang tidak mencantumkan nama organisasi profesi didalam ketentuan pasal. Permasalahan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan pemahaman secara implementasi bagi para pemangku kepentingan.
b. Perbedaan Pengaturan Pembinaan Dan Pengawasan Terhadap Dokter Dan Dokter Gigi
Pembinaan dan pengawasan merupakan hal penting dalam praktik kedokteran. Hal tersebut telah diatur didalam Pasal 7 ayat (1) huruf c jo. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 71 UU Praktik Kedokteran. Terdapat inkonsistensi penggunaan frasa pembinaan dan pengawasan dan perbedaan pengaturan terkait dengan pihak yang berwenang dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pada rumusan pasal tersebut. Hal tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman dan tidak efektifnya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap praktik kedokteran.
c. Kesesuaian Hak dan Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XIII/2015
Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Tenaga Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tenaga medis tidak lagi menjadi bagian dari tenaga kesehatan sebagaimana dalam Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan sehingga pada implementasinya terdapat beberapa peraturan pelaksana yang masih menggolongkan dokter dan dokter gigi sebagai tenaga Kesehatan seperti pada Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan. Adanya Putusan MK yang mengeluarkan tenaga medis dari tenaga kesehatan mengakibatkan hilangnya hak dan kewajiban yang melekat pada dokter dan dokter gigi yang semula diakomodir dalam UU Tenaga Kesehatan. perlu adanya tindak lanjut dari Putusan MK tersebut dalam bentuk penyesuaian pengaturan hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran.
d. Pengaturan terkait Keanggotaan KKI dalam UU Praktik Kedokteran
1) Keanggotaan PDGI dalam KKI pasca Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017
Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 hanya mengikat pada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran sedangkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran yang juga mengatur keanggotaan KKI yang berasal dari organisasi profesi, yakni PDGI, tidak dimaknai sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran. Dampak dari perbedaan pengaturan ini adalah timbulnya perlakuan yang berbeda terhadap organisasi profesi dokter yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran, yakni IDI dan PDGI.
2) Mekanisme pengangkatan anggota KKI
Selain pengaturan mengenai anggota KKI, mekanisme pengangkatan anggota KKI harus dilakukan perubahan dengan dilakukan secara independen tanpa adanya usulan dari organisasi atau asosiasi. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran yang berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (5) UU Praktik Kedokteran terkait tata cara pengangkatan keanggotaan KKI diatur dengan Peraturan Presiden yang diwujudkan dengan Perpres 35/2008. Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 16 UU Praktik Kedokteran jo. Pasal 11 Perpres 35/2008, masa bakti keanggotaan KKI adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Namun pengangkatan kembali tersebut tidak diatur lebih lanjut mekanismenya secara lengkap, sehingga sejauh ini hanya ada pengaturan pengajuan calon anggota KKI yang diajukan oleh organisasi atau asosiasi sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.
e. Pasal-Pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang telah mengalami perubahan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusimenyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Tindakan kooperatif antar lembaga negara sangat penting dilakukan karena produk hukum tidak dapat menjamin ekspektasi terhadap persoalan tertentu. Sebagaimana UU Praktik Kedokteran telah diajukan pengujian berulang kali oleh masyarakat dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan 3 (tiga) perkara dari pengujian yang diajukan tersebut yakni melalui Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017. Ketentuan Pasal dan/atau ayat dalam UU Praktik Kedokteran yang mengalami perubahan berdasarkan ketiga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Implikasi yang timbul dari tuga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah:
1. Menghilangkan pidana penjara.
2. Menghilangkan pidana kurungan.
3. Menghilangkan Sanksi Untuk Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu.
4. Pengecualian Profesi Tukang Gigi.
5. Larangan pengurus IDI untuk duduk dalam keanggotaan KKI.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, sejauh ini pembentuk undang-undang belum melakukan tindak lanjut dengan melakukan perubahan pasal/ayat UU Praktik Kedokteran. Maka untuk menjamin kepastian hukum Indonesia dan untuk menghormati lembaga peradilan nasional, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi, pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan atas pasal atau ayat yang mengalami perubahan berdasarka Putusan Mahkamah Konstitusi.
f. Usulan Perubahan Dan Penambahan Pengaturan:
1) Perubahan Pengaturan Susunan Pimpinan MKDKI dan Pembentukan Perwakilan MKDKI di Daerah
MKDKI merupakan Majelis khusus yang bernaung dibawah KKI dengan tugas dan fungsi menegakan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal 58 UU Praktik Kedokteran yang membatasi pimpinan MKDKI yakni seorang ketua, seorang wakil ketua dan seorang sekretaris dipandang mengakibatkan MKDKI berjalan tidak dinamis dan tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Disamping itu frasa “dapat” Pasal 57 ayat (2) UU Praktik Kedokteran secara ekplisit tidak mewajibkan pembentukan MKDKI di seluruh wilayah Indonesia padahal pelaksanaan praktik kedokteran terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya perubahan pengaturan mengenai susunan pimpinan serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi.
2) Batasan jumlah maksimal SIP
Pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi dapat dijadikan media untuk pemerataan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran membatasi jumlah maksimal pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi tidak didasari pada kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah, hal ini berdampak pada tidak meratanya ketersediaan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan kembali ketentuan batasan pemberian SIP dengan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan ketersedian dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah.
3) Pengaturan terkait dengan telemedicine dan platform online
Belum ada pengaturan terkait dengan telemedicine yang berkembang akhir-akhir ini yang telah mengakibatkan pelaksanaan praktik kedokteran tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Praktik Kedokteran. Selain itu, perkembangan teknologi dan praktik kedokteran yang semakin maju ini belum terakomodir dengan baik dan belum memiliki payung hukum yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum.
2. Aspek Struktur Hukum
a. Permasalahan Perlindungan Terhadap Dokter
Perkembangan saat ini masyarakat semakin sadar atas hak-haknya yang secara otomatis menuntut adanya transparansi pelayanan kesehatan, terutama dalam kaitan hubungan dokter dengan pasien dan menyangkut keluhan yang dialami pasien serta terapi, pengobatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Hal yang sangat mendasar dalam pelayanan kesehatan yang selalu dipermasalahkan masyarakat terutama pasien adalah menyangkut keterbukaan, transparansi, mutu pelayanan, penerapan aturan, kedisiplinan waktu, sehingga sering diduga dokter melakukan kelalaian medis. Namun perlindungan negara terhadap dokter masih belum cukup mengatur dengan jelas khususnya terkait dengan keamanan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi. selain itu, ketidakjelasan bentuk perlindungan hukum ini menjadikan dokter mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan hukum dalam melakukan pelayanan medis.
b. Permasalahan Imbalan Pelayanan Medis
Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Oleh karenanya dokter di dalam menjalankan profesi juga mempunyai hak untuk menerima imbalan jasa, begitupun juga pasien memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkaitan dengan imbalan jasa tersebut, diatur di dalam Pasal 50 dan Pasal 53 UU Praktik Kedokteran. Namun di dalam pelaksanaannya, masih ditemukan timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan aturan UU Praktik Kedokteran yaitu:
1) Keterbatasan APBD untuk membayar tunjangan/insentif dokter spesialis. Sedangkan rumah sakit swasta mampu membayar dengan nilai yang lebih tinggi sehingga dokter spesialis lebih tertarik untuk praktik di rumah sakit swasta tersebut.
2) Dalam praktik kedokteran dan kedokteran gigi tidak dapat dilepaskan pada pasar bebas dengan adanya pola tarif khususnya terkait dengan adanya BPJS Kesehatan. Penempatan alat kesehatan sebagai obyek pajak PPNBM menjadi masalah ketika dihadapkan dengan pelayanan kesehatan yang murah. Daerah di Indonesia yang heterogen dan memiliki perbedaan kondisi topografi, sosiologis dan ekonomisnya. Selain itu, inflasi dan kondisi ekonomi yang sangat fluktuatif juga menjadi tantangan keberadaan pola tarif pelayanan kesehatan.
c. Evaluasi Dokter Dan Dokter Gigi Lulusan Luar Negeri
Pelaksanaan praktik kedokteran bukan hanya diperuntukan kepada dokter dan dokter gigi lulusan dalam negeri akan tetapi juga dapat dilakukan bagi mereka yang lulusan luar negeri dengan melalui tahapan evaluasi. Pasal 30 ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang mengatur mengenai evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang ingin melakukan praktik di Indonesia secara impelementasi belum berjalan dengan baik hal ini dikarenakan koordinasi antar pemangku kepentingan belum berjalan sebagaimana mestinya.
d. Penyelenggaraa P2KB Oleh Organisasi Profesi dan Lembaga Lain Yang Diakreditasi Oleh Organisasi Profesi
Penyelengaraan P2KB merupakan hal yang penting dalam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Penyelenggaraan P2KB diatur dalam ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran. Penyelenggaraan P2KB pernah diajukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi melalui perkara nomor 80-PUU-XVI/2018 dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak permohonan Para Pemohon. Namun, munculnya lembaga-lembaga yang juga turut menyelenggarakan P2KB seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara layanan kesehatan berbasis elektronik tanpa adanya koordinasi dengan organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi menjadikan penyelenggaraan P2KB tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran, sehingga hal ini berpotensi mengancam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang selama ini dilakukan oleh organisasi profesi. Selain itu, P2KB yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki standar yang jelas dimana berpotensi menghambat pengembangan kompetensi dokter dan dokter gigi yang berpraktik.
e. Pengembangan Pendidikan Kedokteran Dan Kedokteran Gigi (Hospital Based & University Based)
Pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia saat ini dilakukan di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring di bawah koordinasi fakultas kedokteran. Penerapan pendidikan dan pelatihan residen dilakukan berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional sehingga disebut sebagai 'university based'. Pendekatan lain yang dilaksanakan di kebanyakan negara di dunia adalah pendekatan 'hospital based' yaitu pendidikan dokter spesialis diserahkan pengelolaannya kepada rumah sakit dengan koordinasi dari kolegium spesialis terkait. Namun penerapan hospital based dalam pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dihadapkan pada masalah adanya kolegium. Selain itu, posisi penting residen dalam pelayanan medis ternyata belum diimbangi dengan kejelasan aspek hukum.
f. Koordinasi Pemerintah (Pejabat Kesehatan Yang Berwenang Di Kabupaten/Kota) Dengan Organisasi Profesi Terkait Penerbitan SIP di PTSP
Adanya PTSP dalam mekaisme perijinan ini menimbulkan kerancuan pemahaman masyarakat terkait kewenangan penerbitan SIP dan pencabutannya SIP dokter dan dokter gigi karena berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU Praktik Kedokteran kewenangan penerbitan SIP dalam UU Praktik Kedokteran diterbitkan oleh pejabat Kesehatan yang berwenang Kabupaten/Kota (dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Permenkes 2052/2011), sedangkan dalam Perpres 97/2014 ditentukan bahwa izin dikeluarkan oleh PTSP Kabupaten/Kota sehingga terjadi disharmoni pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran. Namun sekali lagi, teknis pelaksanaan pemberian ijin dan pencabutannya harus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami regulasi dan pelaksanaannya. Permasalahan perijinan melalui sistem OSS yang dialami oleh Dinkes Kabupaten Kampar berkaitan dengan sistem yang sering mengalami gangguan dan jaringan internet yang kurang stabil.
3. Aspek Pendanaan
Perkembangan di bidang kesehatan diiringi dengan terbukanya pasar global di mana dokter lulusan luar negeri pun dapat berpraktik di Indonesia selama memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Perkembangan di bidang Kesehatan diiringi dengan semakin banyaknya fakultas kedokteran di Indonesia. Banyaknya fakultas kedokteran yang berdiri perlu dijaga mutunya agar lulusan fakultas kedokteran dari universitas terkait menjadi lulusan yang terpercaya dan terjamin mutunya. Terkait penjagaan mutu mahasiswa kedokteran pemerintah melakukan uji kompetensi untuk mahasiswa lulusan fakultas kedokteran. Namun, pada implementasinya, terjadi perbedaan biaya untuk melakukan uji kompetensi antara lulusan dalam negeri dan lulusan luar negeri.
4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Belum Meratanya Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis
Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis belum merata di setiap daerah terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Hal ini disebabkan oleh akses jalan dan transportasi di daerah terpencil sulit ditempuh. Minimnya sarana dan prasarana di daerah seperti alat kesehatan yang terbatas, obat-obatan yang sulit di dapat dan minimnya rumah sakit atau puskesmas di daerah menunjukan bahwa standar pelayanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 UU Praktik Kedokteran belum berjalan secara maksimal. Selain itu, keterbatasan anggaran pengadaan maupun biaya operasional dan pemeliharaan sarana prasarana kesehatan yang tinggi menjadi salah satu penyebab tidak meratanya sarana dan prasarana. Belum meratanya pembangunan daerah di Indonesia menjadi salah satu tantangan untuk pemenuhan alat kesehatan serta obat-obatan yang dibutuhkan di daerah hal ini karena moda transportasi dan akses jalan yang sulit ditempuh.
b. Belum Meratanya Distribusi Dokter Dan Dokter Gigi di Indonesia
Pemerataan sarana dan prasarana di daerah harus diimbangi dengan jumlah dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Mahasiswa lulusan fakultas kedokteran lebih banyak memilih untuk berpraktik di kota-kota besar mengakibatkan tidak meratanya pelayanan kesehatan di daerah. Beberapa faktor memengaruhi sedikitnya minat para lulusan fakultas kedokteran untuk mengabdi di daerah yaitu:
• Kurang menjanjikannya pendapatan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi di daerah dibanding dengan kota-kota besar.
• Kurang terjaminnya keselamatan dan keamanan dokter dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya.
• Kurang menguntungkan dari sisi karier dokter dan dokter gigi.
• Tidak adanya kewajiban yang mengikat bagi dokter dan dokter gigi berpraktik di daerah 3T dan berakibat dalam pencapaian SKP yang terhambat.
5. Aspek Budaya Hukum
Masyarakat sebagai pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi dalam UU Praktik Kedokteran. Dalam pemberian pelayanan dapat terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter. Sehingga, pemerintah membentuk MKDKI sebagai upaya perlindungan yang maksimal bagi pasien dan dokter. MKDKI memiliki tugas untuk menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran disiplin yang dirasakan pasien. MKDKI menyediakan form pengaduan secara online untuk memudahkan masyarakat. Namun, masyarakat belum teredukasi dengan baik terkait pengaduan kepada MKDKI sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti tugas dan fungsi MKDKI serta bagaimana mekanisme pengaduan kepada MKDKI. Hal ini yang menyebabkan masyarakat langsung melakukan gugatan secara perdata ke pengadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi dokter.
6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Menurut BPIP, terdapat beberapa pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan dengan sila kedua, sila ketiga, sila keempat dan sila kelima Pancasila, di antaranya:
a. Adanya Frasa “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi” dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Keempat Pancasila. Frasa ini secara tegas melimitasi eksistensi organisasi profesi dokter dan dokter gigi. Padahal, seharusnya setiap orang bebas untuk berserikat dan mendirikan organisasi, selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Pembatasan ini tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam pasal tersebut.
b. Idealnya pelaksanaan Pasal 30 UU Praktik Kedokteran mengenai evaluasi dokter lulusan luar negeri termasuk dengan program adaptasi dilakukan oleh suatu tim koordinasi yang menghimpun semua perwakilan pemangku kepentingan dalam suatu Komite atau Tim Evaluasi. Dengan demikian, dapat dipastikan proses evaluasi Dokter LLN termasuk masa adaptasi akan lebih efektif dan efisien. Pasal 30 UU Praktik Kedokteran ini jika tidak ditambahkan ketentuan mengenai Komite Evaluasi, akan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila.
c. Idealnya ketentuan dalam Pasal 38 UU Praktik Kedokteran mengenai SIP sepenuhnya diambil alih oleh pemerintah. Dapat diasumsikan, setiap dokter yang telah memiliki STR pasti sudah layak untuk berpraktek. Lagi pula keberadaan rekomendasi dari organisasi profesi tidak menjamin sepenuhnya terkait etika profesi dokter. Untuk itu, sebaiknya Pasal 38 ayat (1) UU Praktik Kedokteran diubah dengan menghapuskan ketentuan mengenai memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
d. Idealnya ketentuan dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran untuk dapat mengadaptasi mekanisme yang diatur dalam UU SJSN. UU SJSN mengamanatkan agar pembayaran layanan kesehatan dibuat satu sistem melalui asuransi sosial. Dengan demikian, tidak ada lagi dokter yang mendapatkan imbalan dari pasien, begitu pula sebaliknya.
e. Pasal 54 ayat 2 dan Pasal 71 UU Praktik Kedokteran mengamanatkan agar pembinaan dilakukan secara bersama-sama antara KKI dengan organisasi profesi. Hal ini bertentangan dengan Sila Ketiga Pancasila. Seharusnya, organisasi profesi tidak diberikan kewenangan sebesar pembinaan. Organisasi profesi harus dimaknai sebagai serikat profesi, yaitu berkumpulnya orang-orang dengan profesi yang sama dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia dengan profesi tertentu. Kewenangan pembinaan idealnya diberikan kepada KKI sebagai lembaga otonom yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah di sektor kesehatan. Intervensi dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan juga berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan Indonesia, serta untuk mencegah dan menangani terjadinya malpraktik. Selain itu, diperlukan juga optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom.
f. Belum adanya pengaturan telemedicine (telehealth).
g. Belum adanya pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.