Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Tanggal
2021-06-04
Tim Penyusun
No Author

Selama berlakunya UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) sejak tahun 2013, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPPH, antara lain: a. Isu Utama per aspek Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 (lima) aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum. b. Putusan MK UU PPPH telah 3 (tiga) kali dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 139/PUU-XIII/2015, dan Perkara Nomor 69/PUU-XIV/2016 dari Perkara tersebut tidak terdapat permohonan yang dikabulkan oleh MK. c. Prolegnas -

Pelaksanaan UU PPPH sejak tahun 2013 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum 1) Pasal 1 angka 3 UU PPPH terkait Frasa “ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” menimbulkan ketidakjelasan dan ketidapastian hukum 2) Terkait frasa terorganisasi dan pengecualian terhadap masyarakat sekitar hutan dalam Pasal 1 angka 6 UU PPPH dan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU PPPH masih menimbulkan multitafsir bagi APH dan belum mengakomodir permasalahan 3) Pasal 12 UU PPPH sebagaimana telah diubah oleh Pasal 37 angka 3 UU Cipta Kerja memiliki beberapa permasalahan terkait larangan kawasan hutan 4) Pasal 40 UU PPPH terkait penafsiran dari frasa “Barang Bukti Temuan dan Pengelolaan Barang Bukti” menimbulkan kerancuan dalam implementasinya 5) Penerapan ketentuan sanksi tidak berjalan efektif bagi perorangan ataupun korporasi 6) Pasal 39 UU PPPH terkait jangka waktu penyidikan yang tidak efisien 7) Adanya potensi disharmoni dengan peraturan perundang-undangan terkait, yakni Pasal 30 UU PPPH dengan UU TPPU mengenai kewenangan PPNS dan Pasal 5 dan Pasal 8 UU PPPH dengan UU Pemda mengenai kewenangan daerah 8) Penghapusan Ketentuan Terkait Hakim Ad Hoc dan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan oleh UU Cipta Kerja b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) Tujuan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum sepenuhnya dapat terwujud 2) Penegakan hukum dalam UU PPPH belum berjalan dengan baik 3) Kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum berjalan efektif 4) Kurangnya koordinasi antara APH dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan 5) Permasalahan pal batas 6) Penghapusan ketentuan oleh UU Cipta Kerja c. Aspek Sarana dan Prasarana 1) Kurangnya Sumber Daya Aparatur Penegak Hukum dalam menangani permasalahan perusakan hutan (Pasal 6 ayat (1) UU PPPH) 2) Keterbatasan fasilitas penunjang dalam mencegah dan memberantas perusakan hutan 3) Belum ditetapkannya sumber kayu alternatif (Pasal 6 ayat (2) UU PPPH) 4) Sarana rumah tahanan belum memadai 5) Alokasi pendanaan belum mencukupi (Pasal 74 dan Pasal 75 UU PPPH) d. Aspek Budaya Hukum 1) Kurangnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan 2) Adanya kendala dalam pemberian perlindungan khusus bagi saksi, pelapor dan informan

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: a. Aspek Substansi Hukum 1) Perlu mengubah Pasal 1 angka 3 sepanjang frasa “ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah Pusat” (sebagaimana diubah melalui Pasal 37 angka 1 UU Cipta Kerja). 2) Perlu mengubah Pasal 1 angka 6, Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU PPPH dengan mengatur lebih jelas terkait definisi “terorganisasi” dan kriteria pengecualian khusus terhadap masyarakat sekitar kawasan hutan. 3) Perlu mengubah Pasal 12 UU PPPH dengan mengatur larangan-larangan yang mengakomodir perkembangan kasus perusakan hutan di Indonesia. 4) Perlu adanya penjelasan lebih rinci terkait penyidik yang bertanggung jawab atas penyimpanan barang bukti dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU PPPH dan penyesuaian frasa “barang bukti temuan” yang menimbulkan kerancuan dalam implementasinya. 5) Perlu meningkatkan efektivitas ketentuan terkait dengan pemberian sanksi agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku perusakan hutan. 6) Perlu adanya penyesuaian terkait pengaturan jangka waktu penyidikan. 7) Perlu adanya harmonisasi pengaturan antara UU PPPH dengan undang-undang lainnya seperti UU TPPU dan UU Pemda. 8) Perlu adanya penghapusan pasal-pasal yang masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 54 UU PPPH yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja. b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) Perlu dilakukan upaya peningkatan efektivitas pemberlakuan Pasal 3 huruf b UU PPPH oleh aparat K/L terkait. 2) Perlu penyesuaian pengaturan mengenai pengelolaan barang bukti, dan penyidikan supaya lebih dapat dilaksanakan oleh APH di lapangan. Selanjutnya, perlu penguatan sanksi untuk lebih memberikan efek jera kepada pelaku perusakan hutan serta peningkatan upaya untuk perlindungan terhadap Saksi, Pelapor serta Informan dalam perkara pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. 3) Perlu dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga terkait) dan Pemerintah Daerah (OPD) dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang lebih baik serta mengakomodir kepentingan semua pihak. 4) Perlu dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara APH terkait di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam rangka penegakan hukum sesuai UU PPPH. 5) Perlu melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan oleh K/L terkait agar Pasal 26 UU PPPH dapat efektif dilaksanakan dan penguatan kinerja K/L terkait mengenai penetapan pal batas untuk lebih memudahkan dalam pengelolaan hutan itu sendiri. 6) Perlu peningkatan kualitas hakim yang sudah ada, khususnya melalui sertifikasi hakim lingkungan atau metode lain sebagai pengganti kelembagaan hakim ad hoc yang dihapuskan oleh ketentuan UU Cipta Kerja serta perlu kejelasan pengaturan terkait lembaga yang memiliki fungsi untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan pasca dihapuskannya ketentuan mengenai LP3H dalam UU Cipta Kerja. c. Aspek Sarana dan Prasarana 1) Diharapkan jumlah polhut disesuaikan dengan luas kawasan hutan dan perlu ditambahkannya jumlah penyidik PPNS serta perlunya pendidikan dan pelatihan untuk polhut dan PPNS dalam peningkatan kapasitas pengamanan hutan. 2) Perlu adanya tempat penyimpanan barang bukti yang memadai, kendaraan operasional yang memadai serta alat berat dan alat angkut untuk membawa dan memindahkan barang bukti. 3) Diperlukannya penetapan lebih lanjut mengenai sumber kayu alternatif. 4) Perlu adanya tambahan rutan untuk menampung tahanan tindak pidana perusakan hutan. 5) Perlu adanya peraturan yang menetapkan pembiayaan standar untuk pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, serta disediakannya pengalokasian anggaran untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pengamanan hutan dan anggaran dalam kegiatan proses penyidikan hingga persidangan tindak pidana perusakan hutan. Serta dibutuhkannya dana dekonsentrasi untuk dukungan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di daerah. d. Aspek Budaya Hukum 1) Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat mengenai pelestarian/pengelolaan hutan dan dampak negatif perusakan hutan. 2) Perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pengaturan perlindungan saksi dan pelapor dalam hal adanya dugaan tindak pidana perusakan hutan, serta dibutuhkan pengaturan yang menghubungkan antara UU PPPH dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban sehingga memudahkan informan untuk mendapatkan perlindungan khusus.
Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Tanggal
2021-03-01
Tim Penyusun
20 836 851 1911 1913 1937 1938 1944 1945 1949 1950 2018 2024 2030 2074 2088 2101 22000010 22000016 22000032 22000031 22000024 29000001 22000033 22000034 22000035

Selama berlakunya UU PPHI sejak tahun 2004, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPHI antara lain: A. Isu Utama Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum. B. Putusan MK 1. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015: a. Frasa "anjuran tertulis" dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi." b. Frasa "anjuran tertulis" dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi. 2. Putusan Perkara Nomor 114/PUU-XIII/2015: Pasal 82 UU PPHI sepanjang anak kalimat "Pasal 159" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Putusan Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016: Pasal 67 ayat (2) UU PPHI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku." C. Prolegnas RUU tentang Perubahan UU PPHI masuk dalam daftar Prolegnas Tahun 2020-2024 Nomor 80 yang diusulkan oleh DPR.

Pelaksanaan UU PPHI dalam kurun waktu 16 tahun terdapat permasalahan dalam mplementasinya, antara lain: 1.Aspek Substansi Hukum a. Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 terkait definisi “Perselisihan Hubungan Industrial” dan frasa “Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan”. b. Pasal 3 terkait musyawarah bipartit belum efektif. c. Pasal 8 terkait frasa “kabupaten/kota” membuat terbatasnya wilayah kerja mediator. d. Pasal 15 terkait jangka waktu 30 hari mediasi belum efektif. e. Pasal 98 ayat (1) terkait frasa “kepentingan mendesak” menimbulkan multitafsir. f. Pasal 7, Pasal 13, Pasal 23, dan Pasal 44 terkait Perjanjian Bersama tidak dibarengi dengan pengaturan sita eksekusi. g. Pasal 58 terkait biaya yang belum sejalan dengan asas peradilan yang murah. h. Tidak adanya pengaturan mengenai Asas PPHI yang jelas. i. Pasal 13 ayat (2) huruf a, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 117 ayat (1) terkait frasa “anjuran tertulis” dalam Putusan MK Nomor 68/PUU-XIII/2015 dimaknai bersyarat. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Pemasalahan koordinasi antar mediator dalam mekanisme mediasi. b. Permasalahan koordinasi pengawasan ketenagakerjaan dalam PPHI. c. Kewenangan Konsiliator dan Arbiter tidak dapat dilaksanakan secara efektif. d. Pasal 1 angka 19 dan Pasal 67 ayat (1) terkait proses pengangkatan dan pemberhentian yang berpotensi mengurangi independensi Hakim Ad-Hoc. e. Keterbatasan jumlah dan kualitas mediator. f. Pasal 116 - Pasal 121 terkait sanksi administratif yang tidak efektif. g. Pasal 122 terkait sanksi pidana yang sulit dilaksanakan. 3.. Aspek Sarana dan Prasarana Pengadilan Hubungan Industri yang hanya dibentuk di ibukota provinsi dan kabupaten/kota yang padat industri seringkali bermasalah dalam jarak antara tempat tinggal pekerja/buruh atau perusahaan, dan keberadaan PHI di kabupaten/kota masih sangat minim dan hanya terletak pada wilayah padat industri. 4. Aspek Pendanaan a. Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) terkait efektivitas penggantian biaya saksi atau saksi ahli. b. Pasal 58 terkait biaya berperkara di PHI menimbulkan beban yang lebih berat khususnya pada pekerja/buruh. 5. Aspek Budaya Hukum a. Keterlibatan saksi dan saksi ahli masih sangat minim. b. Kompetensi penegak hukum belum optimal. c. Masih banyak para pihak yang tidak melaksanakan hasil kesepakatan dari Perjanjian Bersama.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU PPHI Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: 1. Aspek Substansi Hukum a. Mengubah Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 44, Pasal 67 ayat (1) huruf f, Pasal 58, dan Pasal 117 UU PPHI. b. Penambahan pengaturan terkait jangka waktu pelaksanaan perundingan bipartit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU PPHI. c. Penambahan pengaturan mengenai maksud dari kepentingan mendesak sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) UU PPHI. d. Penambahan pengaturan yang secara eksplisit mengatur asas-asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial di dalam batang tubuh UU PPHI. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Perlu penguatan fungsi koordinasi antar mediator menurut wilayah kerjanya. b. Perlu penguatan fungsi koordinasi antar komponen dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan pengawas ketenagakerjaan. c. Perlu adanya peningkatan baik dari sisi kuantitas (jumlah) dan kualitas mediator. d. Optimalisasi pengawasan agar pelaksanaan sanksi administratif dapat berjalan lebih efektif. e. Penambahan ketentuan pidana bagi pihak yang melakukan penundaan atau tidak melaksanakan putusan PHI. 3. Aspek Sarana dan Prasarana Perlunya dilakukan peninjauan kembali terhadap pengaturan pembentukan PHI pada kabupaten/kota dan daerah padat industri. 4. Aspek Pendanaan a. Perlu dilakukannya peninjauan kembali mengenai alokasi anggaran pergantian biaya saksi atau saksi ahli. b. Perlu adanya sosialisasi terkait pengenaan biaya berperkara di PHI. 5.Aspek Budaya Hukum a. Perlunya melibatkan saksi ahli dalam proses penyelesaian PHI. b. Peningkatan kualitas penegak hukum dan kualitas serikat pekerja/serikat buruh sebagai kuasa hukum. c. Perlu dilakukannya optimalisasi pemberian edukasi dan pembinaan khususnya ketaatan dalam pelaksanaan putusan PHI.