Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Tanggal
2021-03-01
Tim Penyusun
1911

Selama berlakunya UU Perimbangan Keuangan sejak tahun 2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Pemda antara lain: A. Isu Utama Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum. B. Putusan Mahkamah Konstitusi UU Perimbangan Keuangan telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 (empat) kali, namun belum terdapat putusan kabul oleh Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Perimbangan Keuangan. C. Prolegnas RUU tentang Perubahan UU OJK masuk dalam daftar Prolegnas Tahun 2020-2024 Nomor 118 yang diusulkan oleh DPR, Pemerintah dan DPD.

Pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan dalam kurun waktu 16 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: 1. Aspek Substansi Hukum a. Pasal 66 ayat (1) terkait tahapan pengelolaan keuangan daerah. b. Pasal 14 huruf g terkait kontribusi DBH pada penanganan dampak kegiatan pertambangan. c. Pasal 11 ayat (2) terkait CHT sebagai salah satu sumber DBH. d. Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (2) terkait jenis pajak daerah dan retribusi daerah. e. Pasal 10 dan Pasal 40 terkait perbedaan nomenklatur perimbangan keuangan dalam APBN. f. Efektivitas DAU belum tercapai karena formula perhitungan tidak relevan dan realisasi DAU tidak tepat sasaran. g. UU Perimbangan Keuangan belum mengakomodir pengaturan mengenai sukuk daerah yang telah ada dalam UU Pemda setelah diubah pengaturannya melalui UU Ciptaker. h. Pasal 1 angka 9 dan Pasal 1 angka 26 terkait dampak perbedaan definisi dekonsentrasi. i. Potensi disharmoni UU Perimbangan Keuangan dengan UU Desa. j. Pasal 11 ayat (3) terkait penerimaan daerah dari sektor perikanan. k. Pasal 27 terkait perbedaan formulasi penghitungan DAU. l. Pasal 7 terkait ketentuan sanksi bagi daerah yang melanggar. m. Pengaturan asas perimbangan keuangan yang belum jelas. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Pasal 66 ayat (1) terkait hambatan pengelolaan keuangan daerah. b. Permasalahan hubungan koordinasi dalam pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan. c. Permasalahan pengawasan pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Permasalahan implikasi PAD terhadap kemandirian daerah. b. APBD Berkualitas untuk Mencegah Defisit APBD. c. Realisasi Penyerapan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. d. Efektivitas Sistem Informasi Daerah. 4. Aspek Budaya Hukum Belum semua masyarakat dapat memperoleh akses mengenai informasi keuangan daerah karena belum semua data dapat diakses secara luas mengingat adanya kepentingan untuk menjaga rahasia negara agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak berkepentingan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Perimbangan Keuangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: a. Substansi Hukum 1) Ketentuan Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 14 huruf g, Pasal 27, Pasal 40, Pasal 51 ayat (3), Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 ayat (1) UU Perimbangan Keuangan perlu diubah dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan setelah pengundangan UU Perimbangan Keuangan. 2) Perlu adanya penambahan definisi “sukuk daerah” pada ketentuan Pasal 1 UU Perimbangan Keuangan. 3) Perlu mengubah Pasal 1 angka 9 dan angka 26 UU Perimbangan Keuangan menyesuaikan dengan UU Pemda terkait definisi Dekonsentrasi dan Dana Dekonsentrasi. 4) Perlu adanya pasal yang mengatur mengenai sanksi pelanggaran ketentuan Pasal 7 UU Perimbangan Keuangan. 5) Perlu adanya ketentuan mengenai asas perimbangan keuangan dan penjelasannya dalam UU Perimbangan Keuangan. 6) Perlu mengubah Pasal 5 dan Pasal 10 UU Perimbangan Keuangan menyesuaikan dengan UU Pemda yaitu dengan menambahkan dana otonomi khusus, dana keistimewaan dan dana desa pada klasifikasi pendapatan daerah. 7) Perlu mengubah Pasal 102 ayat (2) UU Perimbangan Keuangan menyesuaikan dengan UU Pemda agar lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. b. Struktur Hukum/Kelembagaan 1) Perlu penguatan koordinasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maupun antra SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah. 2) Perlu adanya sinkronisasi tahapan pengelolaan keuangan daerah sejak mulai perencanaan hingga pertanggung jawaban. 3) Perlu adanya penguatan kelembagaan Inspektorat Daerah dan penguatan SDM pengelola keuangan daerah di lingkungan Pemerintah Daerah. c. Sarana dan Prasarana 1) Perlu dilakukan peningkatan inovasi dan kreativitas daerah dalam menciptakan sumber pendapatan bagi PAD selain pada sumber-sumber pendapatan yang telah ada sehingga ada peningkatan penerimaan pajak daerah. 2) Perlu adanya pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang tidak mengekang otonomi daerah dan pengaturan mengenai APBN berkualitas. 3) Perlu adanya pembinaan terhadap daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan termasuk dalam mekanisme administrasi keuangannya. 4) Perlu diatur norma baru dalam Pasal 70 UU Perimbangan yaitu prinsip cost efficient dan cost effectiveness sehingga membuat APBD berkualitas. 5) Perlu dilakukan penguatan kelembagaan Inspektorat Daerah, penguatan SDM dari sisi kualitas dan kuantitas sebagai APIP yang profesional dalam rangka pengawasan internal. 6) Perlu dilakukan perbaikan terhadap sistem data informasi keuangan daerah yang terintegrasi dalam rangka mendukung program Satu Data Indonesia yang sedang dirancang oleh Pemerintah Pusat sebagaimana Perpres No 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. d. Budaya Hukum: 1) Perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan daerah serta penyediaan informasi yang memudahkan masyarakat dalam memahami pelaksanaan keuangan daerah dalam semua tingkatan baik pada perencanaan sampai pada pertanggungjawaban karena pengawasan masyarakat diperlukan sebagai bentuk partisipasi masyarakat. 2) Pemerintah Pusat perlu memfasilitasi dengan mengadakan sosialisasi SIKD agar implementasi aturan terkait dengan pertanggungjawaban keuangan daerah bisa berjalan dengan baik sesuai peraturan yang sudah ada.
Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Tanggal
2020-08-31
Tim Penyusun
No Author

Selama berlakunya UU OJK sejak tahun 2011, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU OJK antara lain: A. Isu Utama 1. Aspek Substansi Hukum Adanya pasal/ayat yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi berdampak pada ketentuan terkait lainnya, dan beberapa ketentuan dalam UU OJK yang berpotensi disharmoni dengan ketentuan lain. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum Adanya tumpang tindih kewenangan antara OJK, BI, dan Kemenkeu, tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK, adanya keberadaan Ex-Officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK yang berpotensi mengurangi independensi OJK, dan potensi tumpang tindih kewenangan penyidikan antara OJK , Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. 3. Aspek Sarana dan Prasarana Permasalahan dalam akses pertukaran data informasi dan pelayanan pengaduan konsumen dalam sektor pengawasan perbankan. 4. Aspek Pendanaan Permasalahan pungutan oleh LJK berpotensi menggangu indpendensi OJK. 5. Aspek Budaya Hukum Minimnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam sektor jasa keuangan. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. C. Prolegnas RUU tentang Perubahan UU OJK masuk dalam daftar Prolegnas Nomor 149 yang diusulkan oleh DPR dan Pemerintah.

Pelaksanaan UU OJK dalam kurun waktu 9 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: 1. Aspek Substansi Hukum a. Frasa "dan bebas dari campur tangan pihak lain" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang mengikuti kata "independen" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014. b. Definisi “Perasuransian” dalam Pasal 1 angka 7 UU OJK tidak sesuai dengan definisi yang diurai dalam UU Perasuransian. c. Definisi “Lembaga Jasa Keuangan Lainnya” dalam Pasal 1 angka 10 UU OJK dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan industri keuangan saat ini yang telah berkembang pada basis teknologi informasi. d. Frasa "bebas dari campur tangan pihak lain" pada Pasal 2 ayat (2) UU OJK perlu disesuaikan dengan Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014. e. Tidak dijelaskannya "pengawasan terintegrasi" dalam Penjelasan Pasal 5 UU OJK telah berimplikasi pada tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. f. Tidak terdapat penegasan bahwa OJK memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga dalam hal debitor adalah bank pada Pasal 7 UU OJK. g. Tidak terdapat penegasan bahwa OJK memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga dalam hal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. h. Pasal 10 ayat (4) huruf h dan i UU OJK terkait keberadaan ex-officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK di satu sisi dinilai tetap dibutuhkan agar penyelenggaraan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan LJK dapat berjalan lebih optimal. Namun, di sisi lain keberaan ex-officio justru dinilai berpotensi mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang. i. Frasa "tindakan tertentu" dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK di satu sisi dinilai tetap diperlukan karena apabila frasa tersebut dibatasi maka dikhawatirkan akan membatasi OJK dalam hal perlindungan konsumen. Namun, di sisi lain tidak dijelaskannya frasa "tindakan tertentu" dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang terhadap LJK. j. Frasa "kegiatan pendukung lainnya" dalam Pasal 35 ayat (1) UU OJK di satu sisi dinilai dimaksudkan untuk fleksibitas OJK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun, di sisi lain tidak dijelaskannya frasa "kegiatan pendukung lainnya” tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan penggunaan anggaran. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Koordinasi BI dan OJK terkait kebijakan pengaturan dan pengawasan secara mikroprudensial dan makroprudensial di sektor Perbankan belum berjalan efektif karena berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan. b. Masih banyaknya peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan yang ditetapkan oleh OJK namun menyulitkan LJK dalam pelaksanaannya, dan adanya potensi disharmoni peraturan di sektor jasa keuangan baik yang diterbitkan oleh OJK, BI, maupun Kemenkeu. c. Belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK yang menyebabkan banyaknya permasalahan-permasalahan di sektor jasa keuangan. d. Belum efektifnya sanksi administratif yang dikenakan oleh OJK kepada LJK menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan. e. Dalam pelaksanaannya, di satu sisi keberadaan ex-officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK dinilai tetap dibutuhkan agar penyelenggaraan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan LJK dapat berjalan optimal. Namun, di sisi lain, keberadaan ex-officio ini justru berpotensi menganggu independensi OJK. f. Dalam hal perlindungan konsumen dan masyarakat, masih terdapat permasalahan mulai dari pelayanan pengaduan yang belum memuaskan, sampai dengan belum optimalnya LJK dalam melaksanakan kewenangannya melakukan pembelaan hukum. g. Adanya potensi tumpang tindih kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS OJK dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dan minimnya sumber daya PNNS OJK yang menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Dalam pelaksanaanya, mekanisme pelayanan pengaduan konsumen dinilai masih belum optimal. Ketidakefektifan LJK dalam pelayanan pengaduan konsumen tersebut juga menunjukkan bahwa OJK belum optimal dalam mengenakan sanksi administratif kepada LJK. b. Dalam hal sarana pertukaran informasi secara terintegrasi, terkendala dalam hal persiapan aplikasi pengolahan dan mekanisme akses informasi pelaporan terintegrasi untuk dipergunakan lebih lanjut di masing-masing lembaga. Selain itu, menurut BKF Kemenkeu, BI dan LPS belum mendapatkan akses informasi baik terkait data perbankan dalam hal pengawasan makroprudensial dan terkait tingkat solvabilitas bank. 4. Aspek Pendanaan Pengenaan pungutan oleh OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dinilai berpotensi menganggu independensi OJK. Selain itu, terdapat potensi terjadinya moral hazard bagi OJK dalam melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (5) UU OJK. 5. Aspek Budaya Hukum a. Masyarakat belum mengetahui dan memahami akan adanya media edukasi bagi konsumen yang telah disediakan oleh OJK tersebut. b. Masyarakat di satu sisi dinilai telah berperan aktif menyampaikan pengaduan, namun di sisi lain masih banyak pula yang menilai bahwa masyarakat belum aktif menyampaikan pengaduan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU OJK, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: 1. Aspek Substansi Hukum Perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU OJK, diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 10, Pasal 2 ayat (2), Penjelasan Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Penjelasan Pasal 35 ayat (1). 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Perlunya penguatan fungsi koordinasi antara OJK dengan BI dalam hal kewenangan pengaturan dan pengawasan microprudensial dan macroprudensial. Hasil koordinasi tersebut kemudian juga perlu dipublikasikan kepada publik, khususnya LJK, agar memiliki pemahaman yang sama dengan OJK dan BI terkait pengaturan dan pengawasan mikro dan makro di sektor perbankan. b. penguatan koorrdinasi antara BI, OJK, dan Kemenkeu agar menghasilkan regulasi-regulasi di sektor jasa keuangan yang bersesuaian dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing. c. penguatan pengawasan OJK melalui mekanisme sistem pengawasan yang terintegrasi. d. Optimalisasi edukasi literasi keuangan yang dilakukan oleh OJK untuk meminimalisir potensi pelanggaran yang disebabkan LJK terhadap konsumen dan masyarakat. Selain itu, diperlukan penguatan dalam hal pelayanan pengaduan konsumen oleh OJK agar permasalahan di sektor jasa keuangan dapat ditindaklanjuti secara cepat. e. Penguatan koordinasi antara OJK, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK khususnya dalam hal pelaksanaan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Perlunya sosialisasi secara lebih intensif dan tepat saran mengenai perangkat pelayanan pengaduan konsumen oleh OJK. b. Diperlukan komitmen dari OJK, BI, dan LPS untuk memelihara dan mengembangkan sarana pertukaran informasi terintegrasi secara berkelanjutan. 4. Aspek Pendanaan Meningkatkan pengawasan internal terhadap pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan terutama terkait dengan perlindungan konsumen dan masyarakat serta dalam hal penyusunan dan penetapan rencana kerja dan anggaran OJK. Selain itu, OJK perlu melakukan publikasi secara optimal dan terinci mengenai laporan kegiatan, termasuk pengelolaan anggaran OJK khususnya yang bersumber dari pungutan. OJK juga dapat membuat konten yang lebih informatif dan menggunakan kanal informasi yang lebih dekat dengan publik. 5. Aspek Budaya Hukum a. Diperlukan komitmen baik dari LJK maupun OJK untuk terus konsisten dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produk jasa keuangan baik secara online maupun offline. b. Diperlukan komitmen dari OJK untuk konsisten memberikan pelayanan pengaduan konsumen dan/atau masyarakat secara optimal. Selain itu, masyarakat juga seharusnya dapat terus meningkatkan pemahaman terkait literasi keuangan agar dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dari pelanggaran ataupun kejahatan di sektor jasa keuangan.