Pelaksanaan UU SPPA dalam kurun waktu 6 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
1. Aspek Substansi Hukum
a. Batasan usia anak dinilai terlalu tinggi dan sudah tidak lagi relevan untuk usia psikologis dan usia biologis seorang anak.
b. Definisi “pekerja sosial profesional” menimbulkan kerancuan dengan UU pekerja Sosial.
c. Permasalah dalam diversi mulai dari isu syarat, pengecualian, kesepakatan, hingga jangka waktu diversi.
d. Potensi disharmoni ketentuan bantuan hukum dalam UU Bnatuan Hukum.
e. Penahanan dan penempatan ABH untuk kepentingan penyidikan tidak memiliki standar waktu yang jelas.
f. Terdapat ketidakkonsistenan dalam perumusan norma ketentuan pidana pembinaan di luar lembaga berupa “mengikuti terapi di rumah sakit jiwa”.
g. Pengurangan sanksi pidana dalam UU SPPA menjadi modus kejahatan baru.
h. Sanksi administratif bagi pejabat atau petugas tidak terlaksana.
i. Implikasi Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 68/PUUXV/2017 adalah hilangnya sanksi pidana terhadap pejabat berwenang (penyidik, penuntut umum, hakim, dan pejabat pengadilan) yang tidak melaksanakan ketentuan dalam UU SPPA.
j. Sanksi pidana terhadap penyidik tidak dapat terlaksana.
k. Terdapat disharmoni antara UU SPPA dengan UU Pemda.
l. Belum diundangkannya beberapa peraturan pelaksana UU SPPA..
2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Tujuan diversi dengan semangat keadilan restoratif belum tercapai secara optimal, karena APH lebih memilih bentuk kesepakatan transaksi ganti kerugian;
b. Masih kurang optimalnya peran dan kewajiban PK Bapas dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan diversi dan pengawasan diversi;
c. Belum semua OBH memiliki kebijakan bantuan hukum cuma-cuma mengenai penanganan ABH;
d. Masih terdapat perbedaan persepsi pemahaman keadilan restoratif antara APH dengan lembaga yang menangani perkara Anak yang disebabkan kurangnya diklat bagi APH, serta belum terbentuknya kerangka berpikir pendekatan keadilan restoratif dalam setiap pengambilan keputusan penanganan perkara ABH;
e. Masih minimnya kuantitas penyidik, PK Bapas dan peksos yang menangani perkara Anak karena belum diberikan diklat terpadu SPPA sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan syarat sebagai penyidik anak;
f. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral dengan K/L terkait (Kemensos dengan Kemen PPPA);
g. Masih belum efektifnya penyelenggaraan pendidikan Anak dalam koordinasi antar LPKA dengan Dinas Pendidikan setempat yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak pendidikan Anak.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Masih belum semua polsek/polres memiliki RPKA dan Unit PPA, sehingga menyebabkan kendala penanganan dan penempatan Anak;
b. Belum adanya LPAS yang dibangun karena urgensi pembangunan LPAS dianggap tidak terlalu mendesak, sehingga penggunaan anggaran masih diprioritaskan pada program lain;
c. LPKA belum dibangun secara merata di setiap provinsi, kabupaten/kota sehingga banyak Anak yang masih ditempatkan di lapas beserta narapidana dewasa, serta fasilitas LPKA yang masih belum memadai untuk pemenuhan hak-hak Anak;
d. Masih belum meratanya keberadaan Bapas di kabupaten/kota menyebabkan sulitnya melaksanakan pidana anak terkait dengan diversi dan tindakan bagi ABH yang terbukti bersalah;
e. Masih banyak pemerintah kota/kabupaten belum memahami pentingnya LPKS, serta masih belum memadainya fasilitas di LPKS untuk melaksanakan putusan hakim berupa tindakan perawatan;
f. Masih banyaknya pemda yang tidak memberikan lahan yang letaknya strategis untuk dibangun sarana dan prasarana, sehingga menyebabkan kendala jarak bagi APH maupun keluarga korban dalam penanganan perkara Anak.
g. Kurangnya ketersediaan balai pelatihan kerja di berbagai daerah di Indonesia sehingga pelaksanaan pidana dan tindakan pelatihan kerja belum menjadi prioritas pilihan putusan hakim.
4. Aspek Pendanaan
a. Masih dibebankannya biaya penanganan ABH di LPKS pada APBD yang belum mengacu kepada UU SPPA;
b. Masih terbatasnya anggaran DIPA Polri untuk menganggarkan personelnya dalam mengikuti diklat terpadu SPPA;
c. Masih terbatasnya anggaran terkait pendanaan Bapas yang masih dibebankan pada DIPA Bapas untuk biaya operasional di setiap tingkat pemeriksaan;
d. Tidak optimalnya penyelenggaraan pembuatan litmas, pendampingan, bimbingan dan pengawasan klien Anak oleh PK Bapas karena anggaran yang ada belum sesuai dengan standar pembimbingan di Bapas, sedangkan selama ini hanya diperuntukkan khusus untuk pendampingan Anak saja;
e. Masih terbatasnya anggaran operasional LPKA sehingga menghambat kegiatan pembinaan dan pelatihan Andikpas dalam penyelenggaraan SPPA.
5. Aspek Budaya Hukum
a. Masih banyak masyarakat dan media massa yang mengekspos identitas ABH, sehingga memunculkan stigma negatif di masyarakat. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan minimnya pemahaman masyarakat dan pelaku jurnalisitik, serta tidak ditegakkannya Pasal 97 UU SPPA.
b. Implementasi Pasal 32 ayat (1) mengenai penangguhan penahanan belum berjalan dengan baik karena ketidakpahaman orang tua, pendamping, maupun pemangku kepentingan. Dalam praktiknya, meskipun telah ada jaminan penangguhan penahanan dari orang tua/wali, namun dalam kasus-kasus tertentu permohonan penangguhan penahanan masih dikesampingkan oleh APH.
c. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait keadilan restoratif menyebabkan partisipasi peran serta masyarakat belum optimal.
d. Masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai diversi dan pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan upaya diversi belum optimal.
e. UU SPPA sebagai suatu konsep pelindungan hukum yang dilakukan secara sistemik, peran sosialisasi secara menyeluruh baik terkait hak-hak anak dalam rangka pelindungan anak maupun SPPA, tidak hanya menjadi peran masyarakat saja tetapi juga para pihak terkait.