Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
Tanggal
2022-07-01
Tim Penyusun
1913 1937 2074 22000032 22000035

Salah satu urgensi dilakukannya pemantauan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) adalah terdapat beberapa permasalahan dan kendala dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, baik dari sisi substansi, kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, dan budaya hukum. Permasalahan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang terjadi selama ini antara lain adanya perbedaan pengaturan UU Dikti dengan UU terkait lainnya; permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek; belum optimalnya kerja sama penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi; belum optimalnya peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi; permasalahan pendanaan dan pembiayaan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, permasalahan pendanaan kegiatan akreditasi bagi Perguruan Tinggi, keterbatasan sarana prasana, dan minimnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan fungsi dan tujuan Pendidikan Tinggi belum terwujud optimal.

1. Aspek Substansi Hukum Perbedaan Pengaturan UU Dikti dengan Undang-Undang Lainnya: a. UU Dikti dengan UU Pemda Terdapat perbedaan pengaturan rumusan definisi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah antara Pasal 1 angka 19 dan angka 20 UU Dikti dengan Pasal 1 angka 1 dan angka 3 UU Pemda. Rumusan definisi pada Pasal 1 angka 19 dan angka 20 UU Dikti masih merujuk pada rezim Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan belum dilakukan penyesuaian berdasarkan ketentuan yang terbaru sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 dan angka 3 UU Pemda. Perbedaan pengaturan lainnya yakni adanya perbedaan pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran Pendidikan Tinggi (Pasal 76 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 89 ayat (4) UU Dikti dengan Lampiran I huruf A Pembagian Urusan Pemerintahan Bagian Pendidikan UU Pemda jo. Lampiran II UU Pemda, Perincian pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan). Perbedaan pengaturan antara UU Dikti dan UU Pemda apabila dikaitkan dengan adanya tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai salah satu pihak yang diwajibkan untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Sejatinya ketentuan pengelolaan Pendidikan Tinggi merupakan wewenang Pemerintah Pusat, dan telah sejalan dengan ketentuan UU Pemda. Ketentuan Pasal 76 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 89 ayat (4) UU Dikti akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila terjadi keselarasan aturan dalam UU Dikti dengan UU Pemda terkait pembagian tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. b. UU Dikti dengan UU Sisnas Iptek Terdapat perbedaan cakupan pengaturan mengenai pengecualian penyebarluasan hasil penelitian antara UU Dikti dengan UU Sisnas Iptek yakni, UU Dikti hanya mengecualikan publikasi atas penelitian yang sifat dan hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan negara, sedangkan pengecualian terhadap publikasi hasil penelitian dalam UU Sisnas Iptek juga mencakup informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan a. Belum Optimalnya Implementasi Fungsi dan Tujuan Pendidikan Tinggi dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Dikti Pemenuhan fungsi dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Dikti belum optimal dikarenakan beberapa hal, diantaranya masih rendahnya APK Perguruan Tinggi di Indonesia; masih cukup tingginya Angka Putus Kuliah di Indonesia; pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang belum optimal dan masih adanya disparitas kualitas Perguruan Tinggi; masih terdapat beberapa Perguruan Tinggi yang belum mempedomani fungsi dan tujuan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana pengaturan di dalam UU Dikti ke dalam Visi, Misi, Kurikulum, dan Program Pembelajaran serta Tri Dharma Perguruan Tinggi; kualitas lulusan Perguruan Tinggi masih sangat beragam dan tidak semuanya siap terjun dalam masyarakat dan dunia kerja; Masih adanya keterbatasan Perguruan Tinggi di luar Pulau Jawa untuk menjangkau akses ilmu pengetahuan serta penelitian; dan masih timpangnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia penyelenggara sekaligus pelaku Pendidikan Tinggi di luar Pulau Jawa. b. Permasalahan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian selain Kemendikbudristek Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek secara historis ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelembagaan dan tuntutan masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi pendidikan umum/akademik sehingga menimbulkan tumpang tindih peran dan fungsinya dengan tugas Kemendikbudristek. Dengan total 4.593 Perguruan Tinggi terhitung pada Tahun 2020, di mana terdapat 1.240 Perguruan Tinggi Keagamaan di bawah naungan Kemenag dan 187 Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga yang tersebar di berbagai K/L yang jumlah keduanya adalah sebesar 31%, menunjukkan jumlah yang cukup besar dari penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek. Jumlah yang cukup besar tersebut, tidak luput dari persoalan seperti banyaknya Perguruan Tinggi Keagamaan yang tidak hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan saja tetapi juga pendidikan tinggi non keagamaan, demikian halnya dengan PTKL lain sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan dual cost yang berakibat pada ketidakjelasan pengalokasian pendanaan dan capaian pendidikan tinggi. c. Belum Optimalnya Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah Pendayagunaan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi oleh Pemerintah Daerah belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi beberapa tantangan yaitu: a) tata kelola riset baik di pusat maupun daerah selama ini masih belum terorganisasi dengan baik; b) institusi riset kerap berganti nomenklatur dan tersebar pada berbagai kementerian/lembaga. Bahkan di daerah pun bermunculan beragam institusi riset; c) masih minimnya upaya implementasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dalam perumusan kebijakan di Indonesia; d) perumusan kebijakan masih sering bersifat reaktif, didominasi kepentingan pragmatis, serta kurang melibatkan para ahli kebijakan; e) penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi hanya berjalan sementara untuk kepentingan sesaat saja; dan f) hasil penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi belum menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Sebaliknya, Perguruan Tinggi belum sepenuhnya mendapatkan informasi kegiatan yang dilangsungkan oleh Pemerintah Daerah sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa belum optimalnya koordinasi antara Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah. d. Permasalahan Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi Pelaksanaan otonomi Pergururan Tinggi yang terwujud dalam Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) telah menorehkan prestasi berkelas dunia sehingga pembentukan PTN-BH perlu lebih didorong lagi tapi dengan beberapa catatan: 1) PTN yang masih belum menjadi PTN-BH, khususnya Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU), tidak perlu dipaksakan menjadi PTN-BH dengan pertimbangan PTN tersebut skalanya kecil, jenis pendidikan dan mahasiswanya sedikit, serta kompleksitas pengelolaannya rendah; 2) Pendanaan bagi PTN-BH tetap didukung pemerintah melalui block grant dengan memastikan pendanaan tersebut berdasarkan kinerja output. 3) PTN-BH harus mampu mempertahankan jaminan mutu melalui akreditasi dan melakukan perhitungan biaya pendidikan secara transparan dan akuntabel. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa PTN-BH belum benar-benar otonom secara non akademik khususnya dalam lingkup organisasi karena dalam tata kelola dan pengambilan keputusan, PTN-BH masih tersandera oleh peraturan dan keputusan dari Kemendikbudristek. Begitu pula dalam lingkup keuangan juga dinilai belum sepenuhnya otonom karena masih bertabrakan dengan rezim UU Keuangan Negara. Lebih jauh, otonomi Perguruan Tinggi dikritik karena dikhawatirkan menjadi awal dari proses komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang tidak berpihak ke mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. 3. Aspek Pendanaan a. Permasalahan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek sebagai leading sector penyelenggaraan Pendidikan Tinggi merupakan salah satu Kementerian/Lembaga (K/L) yang mendapat alokasi anggaran yang menjadi bagian dari belanja Pemerintah Pusat untuk menjalankan fungsi Pendidikan. Alokasi anggaran Pendidikan Tinggi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dominan diberikan dalam bentuk Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (BPPTN-BH) Pendidikan Tinggi untuk PTN. Pemerintah melalui Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran Pendidikan Tinggi untuk PTN dalam APBN dengan dasar Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi. Standar dimaksud juga digunakan oleh PTN sebagai dasar dalam menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. Pemerintah Daerah juga dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan pada APBD. Keterbatasan dukungan dana Pendidikan Tinggi pada APBD antara lain disebabkan karena pengelolaan Pendidikan Tinggi merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Meskipun telah terdapat ketentuan yang ideal terkait pendanaan dan pembiayaan Pendidikan tinggi, masih ditemukan hambatan berkaitan dengan keterbatasan anggaran Pendidikan Tinggi. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: alokasi anggaran untuk Pendidikan Tinggi pada APBN mengalami tren penurunan karena Pemerintah masih berfokus pada Pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat permasalahan terjadinya tren kenaikan biaya Pendidikan Tinggi, PTN-BH dianggap badan usaha yang terkena pajak progresif, disparitas besaran pembiayaan per mahasiswa antara program studi Perguruan Tinggi yang berada di bawah Kemendikbudristek dan K/L, keterbatasan kemampuan keuangan Perguruan Tinggi Negeri (PTS), serta belum optimalnya dukungan pendanaan melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) dan masyarakat. b. Permasalahan Pendanaan Kegiatan Akreditasi bagi Perguruan Tinggi Akreditasi Perguruan Tinggi penting dilakukan tetapi belum semua Perguruan Tinggi memiliki kemampuan keuangan yang memadai sehingga masih ada kesenjangan atau gap antar perguruan tinggi. PTN dan PTS yang memiliki kemampuan keuangan terbatas serta jumlah mahasiswa sedikit, dalam mendanai kegiatan akreditasi melalui LAM dirasa memberatkan. c. Kendala Pembiayaan dalam Pemenuhan Hak Mahasiswa Kurang Mampu Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 2021 masih sebesar 31,19% (tiga puluh satu koma sembilan belas persen). Artinya, sisanya tidak melanjutkan pendidikan. Angka Putus Kuliah Tahun 2020 juga masih tinggi, secara nasional sebanyak 602.263 mahasiswa. Permasalahan kemampuan ekonomi dalam melanjutkan Pendidikan Tinggi masih menjadi salah satu sebab sulitnya akses Pendidikan Tinggi bagi mahasiswa kurang mampu. Sehingga pengaturan pada UU Dikti memuat beberapa ketentuan penerimaan mahasiswa baru yang memperhatikan aspek ekonomi dan pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu. Namun terdapat kendala pembiayaan dalam pemenuhan hak mahasiswa kurang mampu yakni: 1) Keterbatasan APBN dan APBD; 2) Kemampuan keuangan Perguruan Tinggi beragam; dan 3) Masih adanya seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri oleh PTN. d. Kendala Dalam Pengalokasian Dana Penelitian Ketentuan Pasal 89 ayat (6) UU Dikti yang mengatur pengalokasian dana penelitian minimal sebesar 30% (tiga puluh persen) dari dana bantuan operasional PTN dalam implementasinya dinilai belum maksimal atau masih kurang. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan lain dalam tridharma perguruan tinggi yaitu Pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu distribusi dana penelitian belum merata untuk mendanai penelitian di PTN dan PTS. 4. Aspek Sarana dan Prasarana Dalam aspek sarana dan prasarana terdapat permasalahan sebagai berikut: a. Terdapat ketimpangan kebutuhan sarana dan prasarana dengan ketersediaan riil di lapangan; b. Belum memadainya ketersediaan peralatan dan laboratorium yang mutakhir bagi Pendidikan Vokasi; c. Keterbatasan kemampuan Perguruan Tinggi dalam memenuhi kebutuhan sumber belajar maupun sarana dan prasarana terutama di Daerah 3T; d. Kendala fasilitas internet yang belum merata khususnya di daerah Indonesia Timur sementara pandemi telah mengubah metode pembelajaran dari yang semula dilaksanakan secara tatap muka menjadi virtual. 5. Aspek Budaya Hukum Pasal 91 UU Dikti mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. Dalam implementasinya terdapat permasalahan yaitu kurangnya informasi mengenai tata cara dan bentuk peran serta dari masyarakat dan belum jelasnya pelembagaan yang menjadi wadah peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia. Minimnya informasi tersebut berbanding lurus dengan masih minimnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Terdapat beberapa pasal dalam UU Dikti yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan sila kedua dan sila kelima Pancasila, di antaranya: a. Kata “negara” di dalam Pasal 1 angka 1 UU Dikti berpotensi multitafsir karena terdapat ketidakjelasan mengenai definisi dari kata “negara” dan menimbulkan permasalahan di dalam pelaksanaannya terutama fenomena merebaknya paham radikalisme. Pada bagian Penjelasan Pasal 1 UU Dikti juga berbunyi “Cukup Jelas.” Padahal pasal tersebut dibentuk untuk mewujudkan pendidikan secara optimal, efisien, dan efektif sebagaimana amanat UUD NRI Tahun 1945 serta sebagai upaya pencegahan paham radikalisme khususnya pada lingkungan Perguruan Tinggi yang memiliki peranan penting. b. Selama ini Perguruan Tinggi disibukkan dengan proses akreditasi untuk setiap program studinya, yang menguras tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Proses akreditasi lebih bersifat formalitas dari pada substansi kualitasnya. c. Pasal 64 dan Pasal 65 UU Dikti yang mengatur mengenai otonomi Perguruan Tinggi berpotensi menjadi awal dari proses komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini terlihat dari masih adanya stigma dari masyarakat yang menganggap Pendidikan Tinggi dikomersilkan.

Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Dikti dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan fungsi penyelenggaraan Pendidikan, sebagai berikut: 1. Substansi Hukum a. Perlu adanya sinkronisasi regulasi peran Pemerintah Daerah antara UU Dikti dan UU Pemda; b. Perlu koordinasi antara Kemendagri dengan Kemendikbud terkait peran pemerintah daerah yang ada di kedua undang-undang tersebut; dan c. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Dikti dan UU Sisnas Iptek dengan menambahkan pengaturan pengecualian terhadap publikasi hasil penelitian yakni mencakup informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan. 2. Struktur Hukum a. Perlu konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sehingga dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Bentuk kolaborasi dimaksud dapat berupa peningkatan Kerjasama antar Perguruan Tinggi dan pendampingan Perguruan Tinggi yang sudah lebih mapan ke Perguruan Tinggi yang belum mapan; b. Perlu mempertahankan ruang bagi Kementerian lain selain Kemendikbudristek untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, terkhusus Kemenag mengingat lingkup penyelenggaraan pendidikan tingginya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berbasis keagamaan sesuai sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sama halnya bagi Kementerian lain selain Kemendikbudristek di luar Kemenag yang juga menyelenggarakan Pendidikan Tinggi yang semakin tinggi dan bervariasi tuntutannya untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat, menjawab tantangan lokal, regional, hingga global, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi itu sendiri; c. Perlu memastikan implementasi, monitoring, dan evaluasi berbagai dokumen yang menjadi pedoman tata kelola riset di Indonesia agar berjalan secara optimal. Termasuk memastikan kesinambungan koordinasi antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah setempat agar tidak lagi terjadi diskoneksitas hasil riset dengan kebutuhan Pemerintah Daerah setempat dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat; d. Perlu memperjelas peraturan mengenai klasifikasi PTN yang diproyeksikan menjadi PTN-BH atau cukup PTN-BLU. Adapun bagi PTN yang sudah berstatus PTN-BH, pendanaannya tetap didukung pemerintah melalui block grant berdasarkan kinerja output, selain itu agar didorong untuk mengembangkan dana abadi dan diharuskan mampu mempertahankan jaminan mutu melalui akreditasi dan melakukan perhitungan biaya pendidikan secara transparan dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu pula menetapkan mandat (amanah atau sesuatu yang dapat ditagih) dari Kemendikbudristek untuk dilaksanakan oleh PTN BH. Penuntasan mandat tersebut oleh PTN-BH kemudian diberikan hak atau apresiasi; dan e. Perlu memberikan otonomi Perguruan Tinggi secara utuh baik di bidang akademik maupun nonakademik (khususnya organisasi) disertai dengan konsistensi pengarahan Perguruan Tinggi oleh Kemendikbudristek dalam bentuk regulasi dan pengawasan. 3. Pendanaan a. Perlu optimalisasi pemberian beasiswa dan pinjaman dana tanpa bunga; b. Perlu optimalisasi sumber pendanaan dan pembiayaan lainnya yang diperoleh dari masyarakat; c. Perlu diperjelas pengaturan terkait pendanaan serta penggunaan anggaran sehingga dapat diukur akuntabilitas penggunaan dan penyerapannya; d. Perlu pemeratan dan keadilan dalam pengelolaan dan distribusi anggaran Perguruan Tinggi, khususnya terhadap PTS; e. Perlu pengaturan lebih jelas standar biaya operasional Pendidikan Tinggi sesuai dengan klasifikasi Perguruan Tinggi, yaitu: PTN Badan Layanan Umum, PTN Agama, Perguruan Tinggi K/L; f. Perlu diperjelas pengaturan terkait: - ketetapan UKT yang masih menjadi kewenangan Menteri untuk PTN non BH atau PTN-BH. - pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi pada jalur mandiri secara tegas dan jelas serta tidak membebani calon mahasiswa. g. Penguatan optimalisasi peran BAN PT sebagai perwakilan pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan kualitas PTN dan PTS baik secara institusi maupun program studi melalui akreditasi; h. Menjadikan akreditasi bagi program studi bukan sebagai suatu kewajiban melainkan sebagai pilihan/optional yang baru dipenuhi jika diminta oleh pengguna lulusan Pendidikan Tinggi. i. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri serta capaian minimal 20% (dua puluh persen) calon mahasiswa yang tidak mampu dan dari daerah 3T yang diterima PTN; j. Penerapan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) secara serius dan konsisten yakni pemberian beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi, bantuan atau pembebasan biaya Pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga; k. Perlu penambahan frasa “calon mahasiswa” dalam Pasal 76 ayat (1) UU Dikti, sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban membantu mahasiswa dan calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik” guna memberikan jaminan bagi calon mahasiswa yang akan diterima oleh Perguruan Tinggi. l. Meningkatkan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan alokasi minimal dana penelitian; dan m. Dalam sudut pandang PTN dan PTS, agar memperluas kerja sama dengan lembaga donor internasional. 4. Sarana dan Prasarana a. Perlu pemetaan yang terencana dan terukur terkait sarana prasarana yang dibutuhkan; b. Perlu kolaborasi antar Perguruan Tinggi seperti halnya resource sharing untuk memiliki “sarana bersama” laboratorium, perpustakaan, museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran; dan c. Meningkatkan kemitraan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam memanfaatkan sarana dan prasarana. 5. Budaya Hukum Guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi diperlukan sosialisasi yang lebih masif dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Perguruan Tinggi terkait tata cara partisipasi, bentuk peran serta masyarakat, dan wadah penyampaian peran masayarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. Selain itu diperlukan peningkatan peran alumni Pendidikan Tinggi dalam pengembangan Pendidikan Tinggi seperti pemberian beasiswa. 6. Pengarus Utamaan Nilai-Nilai Pancasila a. Perlu menambahkan frasa “Kesatuan Republik Indonesia” setelah kata “Negara” dalam Pasal 1 angka 1 UU Dikti sehingga selengkapnya menjadi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia”; b. Perlu penyederhanaan proses akreditasi melalui Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. Penyederhanaan ini juga seiring dengan teknologi informasi yang semakin maju; dan c. Perlu pengawasan terhadap implementasi otonomi Perguruan Tinggi.
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Tanggal
2022-04-18
Tim Penyusun
No Author

Guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2002 melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sebab, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan tindak pidana narkotika tersebut dikarenakan maraknya komoditas ekspor narkotika dalam perdagangan internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, maraknya tindak pidana Narkotika tersebut menunjukkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika belum mampu menjadi dasar hukum yang efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika untuk saat ini. Sehingga, pembentuk undang-undang menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) dan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Adapun materi muatan yang ditambahkan dalam UU Narkotika guna mengefektifkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta guna melindungi masyarakat dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, antara lain: 1. menambahkan pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika; 2. menambahkan pemberatan sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk menimbulkan efek jera; 3. penguatan kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN); 4. penguatan kewenangan BNN dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan; 5. perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 6. menambahkan pengaturan mengenai kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara; dan 7. penguatan peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam kurun waktu 12 tahun berlakunya UU Narkotika masih ditemukan, beberapa isu permasalahan UU Narkotika antara lain: 1. Ketidakjelasan Definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; 2. Permasalahan Frasa "Penyidik BNN" dalam Pasal 75 UU Narkotika; 3. Ketidakjelasan Frasa "Memiliki, Menyimpan, Menguasai" dalam Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan Ketidakjelasan Kategori Penyalah Guna yang Dapat Direhabilitasi Pasal 127 UU Narkotika. 4. Belum adanya pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika; 5. Potensi disharmoni UU Narkotika dengan KUHAP terkait jangka waktu penangkapan dan potensi disharmoni UU Narkotika dengan UU SPPA terkait frasa "setiap orang" dalam Ketentuan Pidana UU Narkotika yang menempatkan Anak bukan sebagai korban; 6. Belum optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan keterbatasan peran Tim Asesmen Terpadu dalam melaksanakan tugas nya; 7. Minimnya tempat rehabilitasi dan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika; 8. minimnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan asesmen terpadu dan rehabilitasi; 9. masih adanya kekhawatiran dari masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika; dan 10. pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan dibandingkan pendekatan kesehatan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Narkotika dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU Narkotika belum memadai dan efektif digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk saat ini dan yang akan datang. Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada saat ini dan juga perlu melakukan penyempurnaan dengan penambahan beberapa hal dalam materi muatan yang diatur dalam UU Narkotika. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Narkotika dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU Narkotika dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU PPP. Ditinjau dari sisi implementasi, masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya masih tingginya jumlah kasus Narkotika dan jumlah tersangka tindak pidana Narkotika yang menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan UU Narkotika; belum adanya kesinambungan antara APH dengan Tim Asesmen Terpadu dan Hakim dalam pengupayaan rehabilitasi bagi Pecandu dan/atau Penyalah Guna Narkotika; tidak optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan belum maksimalnya Tim Asesmen Terpadu dalam menganalisis tingkat kecanduan Pengguna Narkotika; minimnya ketersediaan sarana dan prasarana dan SDM dalam pelaksanaan rehabilitasi; minimnya sarana dan prasarana dalam mendukung penyidikan tindak pidana narkotika; minimnya dukungan anggaran dalam mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika; belum optimalnya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan jika dibandingkan pendekatan kesehatan.

Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Narkotika dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan dalam sisi pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika , sebagai berikut: 1. Substansi Hukum a. Perlu adanya perumusan ulang mengenai definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 15, dan Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika secara jelas. b. Kata “BNN” dalam Pasal 75 UU Narkotika perlu dihapus, sehingga kewenangan penyidikan yang diatur dalam Pasal 75 UU Narkotika tersebut dapat dilakukan tidak hanya oleh Penyidik BNN, tetapi juga Penyidik Polri dan PPNS di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika. c. Perubahan Pasal 76 ayat (1) UU Narkotika frasa “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g” perlu diubah menjadi “oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik BNN”. d. Perlu adanya perumusan ulang mengenai Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan perlunya memperjelas kriteria Penyalah Guna yang dapat direhabilitasi dalam Pasal 127 UU Narkotika. e. Penambahan pengaturan norma mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika. f. Menambahkan pasal tersendiri terkait ketentuan pidana untuk anak dengan materi muatan menempatkan kedudukan anak sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika. 2. Struktur Hukum/Kelembagaan a. Perlu konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganannya dan kesamaan persepsi dalam penanganan permasalahan narkotika sehingga dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia. b. Diperlukan adanya kesinambungan antara Penyidik, Tim Asesmen Terpadu, dan Hakim (collaborative governance) dalam pelaksanaan rehabilitasi agar hasil penyidikan Penyidik terhadap tersangka dan/atau terdakwa Pecandu atau Penyalah Guna Narkotika dapat dimanfaatkan oleh Tim Asesmen Terpadu untuk melakukan asesmen terpadu dan rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu dapat menjadi acuan bagi Hakim untuk memutuskan atau menetapkan rehabilitasi tanpa dimaksudkan mengintervensi kemerdekaan Hakim. c. Perlu penguatan Tim Asesmen Terpadu dan sosialisasi mengenai Tim Asesmen Terpadu di kalangan APH dan masyarakat. Penguatan Tim Asesmen Terpadu tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan menambahkan pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika; perlunya dibentuk Tim Asesmen Terpadu di setiap BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota; dan diperlukan peningkatan kompetensi SDM Tim Asesmen Terpadu. 3. Sarana dan Prasarana a. Perlu komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan ketersediaan lembaga rehabilitasi sekaligus peningkatan kualitas dan kuantitas SDM dalam bidang layanan rehabilitasi serta dibentuknya Lapas khusus untuk narapidana. b. Menerapkan metode lain dalam pelaksanaan rehabilitasi medis yakni melalui mekanisme rawat jalan bagi para Pecandu dan/atau Korban Penyalahgunaan Narkotika agar dapat mengatasi permasalahan minimnya tempat rehabilitasi dan over capacity Lapas. c. Perlu komitmen dari Pemerintah dalam pemenuhan fasilitas laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika di setiap provinsi dan kabupaten/kota, alat pendeteksi yang dapat mendukung dalam pengungkapan jaringan narkotika (detection finder), dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang profesional. 4. Pendanaan Dibutuhkannya komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan ketersediaan anggaran dalam mendukung pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Selain itu, perlu melakukan analisis manfaat biaya dengan cara menjustifikasi setiap manfaat yang akan diberikan sehingga dapat diketahui besaran anggaran yang dibutuhkan untuk dialokasikan sesuai dengan manfaat dan layanan yang akan diberikan dan juga perlu konsistensi penerapan Pasal 101 ayat (3) UU Narkotika sebagai sumber alternatif pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi. 5. Budaya Hukum a. Diperlukan sosialisasi yang lebih masif dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah terkait peran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan perlunya perlindungan hukum kepada masyarakat yang hendak melapor adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika serta perlunya konsistensi pemerintah dalam menerapkan Pasal 109 UU Narkotika terkait pemberian penghargaan bagi masyarakat dan APH guna mengoptimalkan peran serta masyarakat. b. Diperlukan adanya pemahaman yang sama dari APH dengan mengedepankan pendekatan kesehatan dibandingkan dengan pendekatan pemidanaan dan perlu adanya penggunaan pendekatan restorative justice dalam menangani tindak pidana penyalahgunaan narkotika.