Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR
Tanggal
2022-04-12
Tim Penyusun
No Author

Hingga saat ini Indonesia menghadapi berbagai jenis penyakit menular dan membahayakan. Penanganan penyakit menular tersebut dilakukan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular). UU Wabah Penyakit menular tersebut masih berlaku sejak diundangkannya sampai sekarang dan belum pernah dilakukan perubahan sejak diundangkan. Dalam tataran pelaksanaan pengaturan dalam UU Wabah Penyakit Menular yang sudah berlaku kurang lebih selama 38 (tiga puluh delapan) tahun, kiranya perlu dilakukan kajian dalam perspektif perundang-undangan karena mengingat telah terjadi banyak perubahan hukum dan perkembangan dalam masyarakat sepanjang berlakunya undang-undang tersebut, maka tingkat efektifitas UU Wabah Penyakit Menular tersebut kemungkinan besar sudah tidak relevan lagi, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan evaluasi dan perbaikan. Selain itu, terdapat beberapa isu permasalahan UU Wabah Penyakit Menular antara lain: 1. Pengaturan dalam UU Wabah Penyakit Menular tidak mengakomodir perkembangan dalam masyarakat dan dinamika hukum yang ada pada saat ini. 2. Pelaksanaan koordinasi dalam penanganan wabah dan penyakit menular antara pemerintah dan pemerintah daerah perlu diperjelas khususnya terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. 3. Kesediaan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan penanganan wabah dan penyakit menular belum diatur dalam UU Wabah Penyakit Menular dan peraturan pelaksanaannya. 4. Pengaturan alokasi pendanaan dalam pelaksanaan penanganan wabah dan penyakit menular yang belum jelas dalam UU Wabah Penyakit Menular. 5. Pengaturan terkait hak dan kewajiban perlu diatur kembali subyek dan obyeknya. 6. Ruang lingkup partisipasi masyarakat secara luas dalam penanganan wabah dan penyakit menular belum jelas.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Wabah Penyakit Menular dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU Wabah Penyakit Menular belum memadai dalam memberikan perlindungan masyarakat dari ancaman kedaruratan kesehatan untuk saat ini dan yang akan datang. Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada saat ini dan juga perlu melakukan penyempurnaan dengan penambahan beberapa hal dalam materi muatan yang diatur dalam UU Wabah Penyakit Menular. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Wabah Penyakit Menular dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU Wabah Penyakit Menular dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU PPP. Ditinjau dari sisi implementasi, belum optimalnya upaya penanggulangan wabah penyakit menular dikarenakan belum cukup mengakomodir rencana pembangunan nasional di bidang kesehatan; kurang terbukanya proses hukum terhadap pelanggar upaya penanggulangan wabah, sedangkan pada sisi lain Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak seragam dalam pengenaan sanksi selama pelaksanaan upaya penanggulangan wabah penyakit menular telah menimbulkan kebingungan dalam masyarakat, terdapat mekanisme pembiayaan wabah penyakit menular yang berbeda antara UU Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana, belum meratanya sarana dan prasarana dan tata kelola sarana, prasarana dan alat Kesehatan, masih minimnya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan wabah, serta kurang optimalnya pelaksanaan edukasi masyarakat dalam penerapan UU Wabah Penyakit Menular.

Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Wabah Penyakit Menular dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan dalam perlindungan kesehatan masyarakat dari ancaman kedaruratan kesehatan, sebagai berikut: 1. Terkait substansi dalam UU Wabah Penyakit Menular, dengan banyaknya materi muatan yang belum terakomodir dalam UU wabah Penyakit Menular, banyaknya ketentuan dalam UU Wabah Penyakit Menular yang harus diubah, serta banyaknya masukan pengaturan baru dalam UU wabah Penyakit Menular, maka berdasarkan ketentuan dalam Lampiran angka 237 UU PPP, maka UU Wabah Penyakit Menular harus dicabut dan diganti dengan Undang-Undang yang baru mengenai wabah penyakit menular. 2. Terkait implementasi UU Wabah Penyakit Menular, perbaikan manajemen pengelolaan kesehatan, khususnya dalam penanggulangan wabah penyakit menular harus dilakukan termasuk dengan penyediaan sarana dan prasarana, pembiayaan yang cukup, dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL
Tanggal
2021-12-09
Tim Penyusun
No Author

Lahirnya UU Kesejahteraan Sosial dilatarbelakangi beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam Konsiderans UU a quo bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, maka negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagai tanggung jawab negara meliputi: 1. Rehabilitasi sosial; 2. Jaminan sosial; 3. Pemberdayaan sosial; dan 4. Perlindungan sosial. UU Kesejateraan Sosial juga telah masuk dalam daftar UU Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dengan nomor urut 238.

1. ASPEK SUBTANSI HUKUM a) Belum Diakomodirnya Asas Kesetaraan dan Asas Non-Diskriminasi dalam UU Kesejahteraan Sosial Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial belum mengakomodir asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tidak diakomodirnya kedua asas tersebut berpotensi menimbulkan inkonsistensi dengan pengaturan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial dan Pasal 2 UU Penyandang Disabilitas. Sebab, Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa salah satu kriteria masalah sosial adalah Penyandang Disabilitas. Namun, pelaksanaan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berpotensi tidak terpenuhi sebagai akibat dari belum diakomodirnya kedua asas tersebut dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial. b) Belum Terdapat Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Parameter Kriteria Masalah Sosial Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial mengatur mengenai kriteria masalah sosial yang menjadi prioritas dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaannya, terdapat 2 (dua) pandangan yang berbeda mengenai kriteria masalah sosial tersebut. Dimana berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial, terdapat beberapa narasumber yang menyatakan bahwa pengaturan kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Selain itu, kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan telah terdapat masalah-masalah sosial lainnya yang telah ditangani oleh Kemensos namun belum terakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial. Akan tetapi, pandangan berbeda juga disampaikan oleh beberapa narasumber berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial yang beranggapan bahwa tidak diperlukannya penjelasan lebih lanjut mengenai parameter kriteria masalah sosial tersebut. Hal tersebut dikarenakan penjelasan tersebut berpotensi mengurangi fleksibilitasnya dalam penanganan permasalahan sosial. Selain itu, parameter kriteria masalah sosial tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Permensos Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). c) Potensi Disharmoni antara UU Kesejahteraan Sosial dengan Beberapa Undang-Undang Lainnya: 1) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU SJSN Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Kesejahteraan Sosial yang berpotensi disharmoni dengan UU SJSN. Potensi disharmoni tersebut diantaranya terkait dengan pengaturan Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN. Sebab dalam UU Kesejahteraan Sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial yang merupakan ruang lingkup dalam penyelenggaraan sosial diberikan definisi dan pengaturan yang berbeda. Sedangkan dalam UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, telah mengartikan jaminan sosial merupakan bentuk dari perlindungan sosial. Potensi disharmoni lainnya juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN. Sebab, UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial tidak mengenal asuransi kesejahteraan sosial, melainkan mengatur tentang jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk “asuransi sosial”. 2) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Narkotika Terdapat inkonsistensi pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika. Sebab, dalam Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu dan Penyalah Guna Narkotika wajib rehabilitasi sosial. Akan tetapi, permasalahan terkait dengan NAPZA tersebut tidak diakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial yang mengatur tentang masalah sosial. 3) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penanganan Fakir Miskin Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin. Kedua Pasal tersebut mengatur bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan yang memiliki kesamaan, namun dengan istilah yang berbeda. Adapun pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, serta bantuan hukum yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin, bukan merupakan bentuk penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial. 4) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pemda a) Perbedaan Pengaturan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Terdapat potensi disharmoni dalam penjabaran ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan Lampiran F UU Pemda. Dimana Lampiran F UU Pemda tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Pasal 12 huruf f UU Pemda. Adapun sub bidang urusan pemerintahan di bidang sosial sebagaimana dimaksud dalam Lampiran F UU Pemda yang memiliki kesamaan dengan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial antara lain berkaitan dengan pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, serta perlindungan dan jaminan sosial. Sementara untuk penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan, taman makam pahlawan, sertifikat dan akreditasi bukan bagian dari ruang lingkup atau sub bidang dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial. b) Perbedaan Pengaturan Tanggung Jawab dan Wewenang dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf d UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 12 ayat (1) huruf f serta Lampiran F UU Pemda. Penormaan tanggung jawab dan wewenang sebagaimana diatur Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b, dan Pasal 29 huruf b masih belum selaras dengan UU Pemda. Sementara UU Pemda telah mengatur pembagian urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan 7 (tujuh) sub bidang sosial. Selain itu, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “dekonsentrasi dan tugas pembantuan” dalam pembagian tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal penyelenggaraan kesejahteraan sosial saat ini telah didasarkan pada frasa “urusan pemerintahan bidang sosial” yang dibagi pada setiap unsur pemerintahan secara vertikal sebagaimana diatur dalam UU Pemda. 5) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas, dimana Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat”. Sedangkan dalam UU Penyandang Disabilitas sudah tidak menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat” melainkan menggunakan frasa “Penyandang Disabilitas” bagi setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik. Selain itu, juga terdapat permasalahan disharmoni ketentuan antara Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas terkait bentuk pemberian jaminan sosial berkelanjutan terhadap para Penyandang Disabilitas. Dimana pemberian bentuk jaminan sosial yang salah satunya diberikan kepada Penyandang Disabilitas dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan bentuk jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas. 6) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial, dimana ruang lingkup kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan pengaturan ruang lingkup praktik pekerjaan sosial sebagai bentuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, juga terdapat disharmoni pengaturan terkait pengaturan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN Terdapat hambatan pelaksanaan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Program ataupun kebijakan yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah pusat selama ini diselenggarakan secara parsial tanpa adanya kolaborasi antar instansi pemerintah. 3. ASPEK PENDANAAN Pasal 36 UU Kesejahteraan Sosial mengatur beberapa jenis sumber pendanaan untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemerintah pusat melakukan belanja pemerintah pusat yang salah satunya digunakan untuk menjalankan fungsi perlindungan sosial. Selain itu, Pemerintah pusat juga melakukan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) ke daerah, yang antara lain digunakan untuk program kesejahteraan sosial. Akan tetapi, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBN, dimana dana yang diperoleh dari APBN masih belum sepenuhnya menutup kebutuhan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia karena dipengaruhi oleh faktor prioritas pembangunan setiap tahunnya. Berkaitan dengan sumber pendanaan APBD, pemerintah daerah melakukan belanja daerah yang diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal, antara lain untuk bidang sosial. Namun, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBD khususnya untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial sehingga beberapa daerah masih bergantung pada alokasi APBN. Hal tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan kemampuan keuangan setiap daerah, prioritas pembangunan, serta terdapat visi misi setiap kepala daerah yang mempengaruhi alokasi APBD masing-masing daerah. Berkaitan dengan sumber pendanaan lain juga masih belum memadai, termonitor, dan terkelola, dengan baik, terutama sumber pendanaan yang berasal dari badan usaha dan bantuan asing. Sumber pendanaan kesejahteraan sosial yang berasal dari CSR juga masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya menyentuh masalah sosial tertentu. 4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Salah satu sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah SDM. Namun, dalam tataran implementasinya kualitas maupun kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial dalam penyelenggara kesejahteraan sosial di tingkat pusat maupun daerah belum memadai, sehingga berpotensi menghambat implementasi dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial. b. Keterbatasan Sarana dan Prasarana dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota belum sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini karena keterbatasan pendanaan dan hambatan pelaksanaan yang disebabkan oleh pembagian kewenangan yang bermasalah antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. c. Permasalahan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai sumber bahan pengambil kebijakan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih belum terintegrasi secara nasional karena masih ada data BPS terkait kesejahteraan sosial yang tidak sinkron dengan DTKS. DTKS juga belum disosialisasikan dengan baik kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota karena masih ada pemerintah daerah yang belum memahami penyusunan program kerja berdasarkan DTKS dan aksesibilitas DTKS yang masih sulit karena pemerintah daerah kabupaten/kota masih harus bersurat untuk mengakses DTKS. 5. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Belum Optimalnya Pelaksanaan Pemberdayaan Sosial karena Masih Adanya Pemahaman Masyarakat yang Menjadikan Kemiskinan sebagai Komoditi agar Mendapatkan Bantuan Sosial Pemberdayaan sosial merupakan salah satu bentuk upaya dalam penyelenggaraan sosial yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial agar mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri. Dalam implementasinya, kemandirian masyarakat masih belum dapat dicapai sebab masih adanya pola pikir masyarakat yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas guna mengharapkan bantuan sosial. b. Keterlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial belum dapat dirasakan secara signifikan. Hal ini disebabkan, masih ditemukannya beberapa kendala yang menghambat turut sertanya masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diantaranya keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi pelaksanaan kesejahteraan sosial; belum dilibatkannya Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; ketidakjelasan mekanisme pengawasan yang menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan; dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai kanal-kanal yang ada di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

a. Dalam aspek Substansi Hukum, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) Perlunya penyempurnaan materi muatan dalam UU Kesejahteraan Sosial, diantaranya: a) penambahan asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial. b) perubahan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dan Penjelasannya dengan menambahkan klaster baru terkait masalah sosial lainnya dan penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria masalah sosial atau menambahkan norma dalam UU Kesejahteraan Sosial yang secara eksplisit mendelegasikan peraturan pelaksanaan yang mengatur penjelasan mengenai parameter kriteria masalah sosial. c) perubahan frasa “Kecacatan/Cacat” yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial dengan menyesuaikan istilah yang diatur dalam UU Penyandang Disabilitas. Selain itu, perlu dilakukan penyesuaian terkait bentuk pemberian jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan mengacu terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas. 2) Perlunya harmonisasi antara UU Kesejahteraan Sosial dengan undang-undang lainnya, diantaranya: a) harmonisasi antara Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan frasa “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN serta Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN. b) harmonisasi pengaturan di dalam perubahan UU Kesejahteraan Sosial terkait ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, terkait bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial juga perlu dilakukan harmonisasi dengan menyesuaikan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial. c) harmonisasi Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berkaitan dengan ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan Lampiran F UU Pemda sebagai penjabaran dari Pasal 12 UU Pemda agar penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat berjalan optimal dan tidak multi interpretasi dalam implementasinya. d) harmonisasi Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin agar bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan menjadi selaras dan tidak multi interpretasi dalam implementasinya. e) harmonisasi Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial terkait tanggung jawab dan wewenang penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam UU Kesejahteraan Sosial dengan pembagian urusan pemerintahan bidang sosial dalam UU Pemda agar tidak terdapat multi interpretasi dalam implementasinya. b. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi, yaitu perlu dilakukan peningkatan sinergitas antar kementerian/lembaga dalam menangani kesejahteraan sosial sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. c. Dalam aspek Pendanaan, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) perlu peningkatan komitmen dalam penyusunan kegiatan pada masing-masing instansi pusat dan daerah dengan mengalokasikan anggaran memadai untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 2) perlu dilakukan penguatan sumber pendanaan lain seperti sumbangan masyarakat; dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan; serta bantuan asing guna membantu memenuhi kebutuhan pendanaan masalah kesejahteraan sosial. 3) perlu melengkapi instrumen regulasi yang terkait dengan pengelolaan dan pengumpulan Undian Gratis Berhadiah (UGB) dan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang tertib aturan, partisipatif, transparan, akuntabel dan tepat manfaat. d. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) perlu peningkatan kualitas dan kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial melalui program pelatihan dan proses rekrutmen yang sesuai dengan standar. 2) peningkatan komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut. 3) perlu adanya simplifikasi dan integrasi pendataan kesejahteraan sosial, sosialisasi penyusunan program kerja pemerintah. e. Dalam aspek Budaya Hukum, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) perlu optimalisasi pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara lain dengan peningkatan kemampuan dan kemauan, penggalian potensi sumber daya, penggalian nilai-nilai dasar, pemberian akses, dan pemberian bantuan usaha. Hal tersebut dilakukan pemerintah untuk mendorong kemandirian sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. 2) perlu upaya sosialisasi yang lebih masif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat terkait perannya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta perlunya komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melibatkan LKKS sebagai mitranya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.