1. ASPEK SUBTANSI HUKUM
a) Belum Diakomodirnya Asas Kesetaraan dan Asas Non-Diskriminasi dalam UU Kesejahteraan Sosial
Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial belum mengakomodir asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tidak diakomodirnya kedua asas tersebut berpotensi menimbulkan inkonsistensi dengan pengaturan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial dan Pasal 2 UU Penyandang Disabilitas. Sebab, Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa salah satu kriteria masalah sosial adalah Penyandang Disabilitas. Namun, pelaksanaan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berpotensi tidak terpenuhi sebagai akibat dari belum diakomodirnya kedua asas tersebut dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial.
b) Belum Terdapat Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Parameter Kriteria Masalah Sosial
Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial mengatur mengenai kriteria masalah sosial yang menjadi prioritas dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaannya, terdapat 2 (dua) pandangan yang berbeda mengenai kriteria masalah sosial tersebut. Dimana berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial, terdapat beberapa narasumber yang menyatakan bahwa pengaturan kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Selain itu, kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan telah terdapat masalah-masalah sosial lainnya yang telah ditangani oleh Kemensos namun belum terakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial.
Akan tetapi, pandangan berbeda juga disampaikan oleh beberapa narasumber berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial yang beranggapan bahwa tidak diperlukannya penjelasan lebih lanjut mengenai parameter kriteria masalah sosial tersebut. Hal tersebut dikarenakan penjelasan tersebut berpotensi mengurangi fleksibilitasnya dalam penanganan permasalahan sosial. Selain itu, parameter kriteria masalah sosial tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Permensos Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).
c) Potensi Disharmoni antara UU Kesejahteraan Sosial dengan Beberapa Undang-Undang Lainnya:
1) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU SJSN
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Kesejahteraan Sosial yang berpotensi disharmoni dengan UU SJSN. Potensi disharmoni tersebut diantaranya terkait dengan pengaturan Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN. Sebab dalam UU Kesejahteraan Sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial yang merupakan ruang lingkup dalam penyelenggaraan sosial diberikan definisi dan pengaturan yang berbeda. Sedangkan dalam UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, telah mengartikan jaminan sosial merupakan bentuk dari perlindungan sosial.
Potensi disharmoni lainnya juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN. Sebab, UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial tidak mengenal asuransi kesejahteraan sosial, melainkan mengatur tentang jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk “asuransi sosial”.
2) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Narkotika
Terdapat inkonsistensi pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika. Sebab, dalam Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu dan Penyalah Guna Narkotika wajib rehabilitasi sosial. Akan tetapi, permasalahan terkait dengan NAPZA tersebut tidak diakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial yang mengatur tentang masalah sosial.
3) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penanganan Fakir Miskin
Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin. Kedua Pasal tersebut mengatur bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan yang memiliki kesamaan, namun dengan istilah yang berbeda. Adapun pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, serta bantuan hukum yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin, bukan merupakan bentuk penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial.
4) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pemda
a) Perbedaan Pengaturan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Terdapat potensi disharmoni dalam penjabaran ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan Lampiran F UU Pemda. Dimana Lampiran F UU Pemda tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Pasal 12 huruf f UU Pemda. Adapun sub bidang urusan pemerintahan di bidang sosial sebagaimana dimaksud dalam Lampiran F UU Pemda yang memiliki kesamaan dengan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial antara lain berkaitan dengan pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, serta perlindungan dan jaminan sosial. Sementara untuk penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan, taman makam pahlawan, sertifikat dan akreditasi bukan bagian dari ruang lingkup atau sub bidang dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial.
b) Perbedaan Pengaturan Tanggung Jawab dan Wewenang dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf d UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 12 ayat (1) huruf f serta Lampiran F UU Pemda. Penormaan tanggung jawab dan wewenang sebagaimana diatur Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b, dan Pasal 29 huruf b masih belum selaras dengan UU Pemda. Sementara UU Pemda telah mengatur pembagian urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan 7 (tujuh) sub bidang sosial. Selain itu, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “dekonsentrasi dan tugas pembantuan” dalam pembagian tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal penyelenggaraan kesejahteraan sosial saat ini telah didasarkan pada frasa “urusan pemerintahan bidang sosial” yang dibagi pada setiap unsur pemerintahan secara vertikal sebagaimana diatur dalam UU Pemda.
5) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas
Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas, dimana Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat”. Sedangkan dalam UU Penyandang Disabilitas sudah tidak menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat” melainkan menggunakan frasa “Penyandang Disabilitas” bagi setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik. Selain itu, juga terdapat permasalahan disharmoni ketentuan antara Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas terkait bentuk pemberian jaminan sosial berkelanjutan terhadap para Penyandang Disabilitas. Dimana pemberian bentuk jaminan sosial yang salah satunya diberikan kepada Penyandang Disabilitas dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan bentuk jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas.
6) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial
Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial, dimana ruang lingkup kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan pengaturan ruang lingkup praktik pekerjaan sosial sebagai bentuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, juga terdapat disharmoni pengaturan terkait pengaturan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial.
2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Terdapat hambatan pelaksanaan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Program ataupun kebijakan yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah pusat selama ini diselenggarakan secara parsial tanpa adanya kolaborasi antar instansi pemerintah.
3. ASPEK PENDANAAN
Pasal 36 UU Kesejahteraan Sosial mengatur beberapa jenis sumber pendanaan untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemerintah pusat melakukan belanja pemerintah pusat yang salah satunya digunakan untuk menjalankan fungsi perlindungan sosial. Selain itu, Pemerintah pusat juga melakukan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) ke daerah, yang antara lain digunakan untuk program kesejahteraan sosial. Akan tetapi, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBN, dimana dana yang diperoleh dari APBN masih belum sepenuhnya menutup kebutuhan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia karena dipengaruhi oleh faktor prioritas pembangunan setiap tahunnya.
Berkaitan dengan sumber pendanaan APBD, pemerintah daerah melakukan belanja daerah yang diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal, antara lain untuk bidang sosial. Namun, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBD khususnya untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial sehingga beberapa daerah masih bergantung pada alokasi APBN. Hal tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan kemampuan keuangan setiap daerah, prioritas pembangunan, serta terdapat visi misi setiap kepala daerah yang mempengaruhi alokasi APBD masing-masing daerah.
Berkaitan dengan sumber pendanaan lain juga masih belum memadai, termonitor, dan terkelola, dengan baik, terutama sumber pendanaan yang berasal dari badan usaha dan bantuan asing. Sumber pendanaan kesejahteraan sosial yang berasal dari CSR juga masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya menyentuh masalah sosial tertentu.
4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Salah satu sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah SDM. Namun, dalam tataran implementasinya kualitas maupun kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial dalam penyelenggara kesejahteraan sosial di tingkat pusat maupun daerah belum memadai, sehingga berpotensi menghambat implementasi dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
b. Keterbatasan Sarana dan Prasarana dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota belum sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini karena keterbatasan pendanaan dan hambatan pelaksanaan yang disebabkan oleh pembagian kewenangan yang bermasalah antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
c. Permasalahan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai sumber bahan pengambil kebijakan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih belum terintegrasi secara nasional karena masih ada data BPS terkait kesejahteraan sosial yang tidak sinkron dengan DTKS. DTKS juga belum disosialisasikan dengan baik kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota karena masih ada pemerintah daerah yang belum memahami penyusunan program kerja berdasarkan DTKS dan aksesibilitas DTKS yang masih sulit karena pemerintah daerah kabupaten/kota masih harus bersurat untuk mengakses DTKS.
5. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Belum Optimalnya Pelaksanaan Pemberdayaan Sosial karena Masih Adanya Pemahaman Masyarakat yang Menjadikan Kemiskinan sebagai Komoditi agar Mendapatkan Bantuan Sosial
Pemberdayaan sosial merupakan salah satu bentuk upaya dalam penyelenggaraan sosial yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial agar mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri. Dalam implementasinya, kemandirian masyarakat masih belum dapat dicapai sebab masih adanya pola pikir masyarakat yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas guna mengharapkan bantuan sosial.
b. Keterlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial belum dapat dirasakan secara signifikan. Hal ini disebabkan, masih ditemukannya beberapa kendala yang menghambat turut sertanya masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diantaranya keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi pelaksanaan kesejahteraan sosial; belum dilibatkannya Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; ketidakjelasan mekanisme pengawasan yang menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan; dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai kanal-kanal yang ada di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.