Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN 
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS 
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI 
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Tanggal
2021-12-09
Tim Penyusun
No Author

Bahwa masih banyaknya permasalahan dan isu terkait pamanfaatan dan penggunaan ITE, baik dari sisi substansi maupun dari sisi implementasi menjadi salah satu urgensi dilakukannya pemantauan terhadap UU ITE, yaitu antara lain: a. Perbedaan penafsiran penggunaan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah dalam penegakan hukum; b. Belum dibentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan untuk sertifikasi transaksi elektronik; c. Belum dipahaminya ketentuan pidana dalam UU ITE oleh penegak hukum dan masyarakat; d. Permasalahan terkait dengan prosedur pelaksanaan penegak hukum yang berbeda di tiap instansi penegakan hukum; e. Belum ditetapkan prosedur yang jelas mengenai kewenangan pemerintah dalam hal pemutusan akses informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum; f. Belum memadainya sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dalam penggunaan dan pemanfaatan ITE; g. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait kewajiban perlindungan data pribadi diri dan orang lain. Dan dalam kurun waktu sejak diundangkan pada Tahun 2008 hingga saat ini, UU ITE mengalami perubahan beberapa norma pasal dan/atau ayat serta beberapa norma telah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan 20/PUU-XIV/2016.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Kedudukan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti 1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Sebagai Perluasan Alat Bukti Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE telah mengatur informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan perluasan mengenai alat bukti yang sah. Ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik sejatinya juga telah diakomodir didalam UU lain sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan terkait dengan alat bukti elektronik juga telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Pasal 26A UU Tipikor, Pasal 73 UU Pencucian Uang serta Pasal 29 UU TPPO. Namun pada implementasinya perumusan mengenai alat bukti didalam UU ITE telah menimbulkan multitafsir, hal ini dikarenakan informasi dan/atau dokumen elektronik dapat ditafsirkan sebagai perluasan salah satu jenis alat bukti sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Namun hal tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penambahan jenis alat bukti yang sah diluar jenis-jenis alat bukti yang diatur didalam Pasal 184 KUHAP. Oleh karena itu ketentuan mengenai kedudukan alat bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti perlu dipertegas kembali serta pengaturan mengenai hukum acara dalam rangka penegakan hukum. 2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara pengujian UU ITE dan UU Tipikor melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang mana seluruh pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan implikasi hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo Pasal 44 huruf b UU ITE dimana informasi dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila dalam pelaksanaannya dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya. Permasalahan tersebut diatas menunjukkan bahwa Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur mengenai kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah perlu diatur lebih lanjut terkait dengan perluasan dari alat bukti yang sah serta tanpa melanggar hak privasi pada setiap pihak dalam rangka penegakan hukum. b. Lembaga Sertifikasi Keandalan Sertifikasi keandalan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU ITE dan Pasal 68 PP 71/2019 dimana salah satu fungsi sertifikat keandalan adalah untuk memberikan jaminan kepada konsumen bahwa transaksi elektronik tersebut aman untuk diakses. Namun hingga saat ini, sertifikasi keandalan belum diterapkan hal ini disebabkan karena Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) selaku lembaga yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat keandalan dan berwenang melaksanakan audit sistem ITE belum juga dibentuk sehingga mengakibatkan sistem ITE rawan akan kebocoran data dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, perlu dibentuknya LSK mengingat LSK memiliki peranan penting dalam menjamin keamanan sistem elektronik bagi e-commerce, perbankan, dan finance technology. c. Penghapusan Data Pribadi yang Tidak Relevan Melalui Penetapan Pengadilan Pasal 26 ayat (3) UU ITE merupakan aturan baru yang menjamin hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 terkait kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menghapus data pribadi yang berada di bawah kendali PSE berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam Pasal 15 PP 71/2019, penerapan tata cara penghapusan data pribadi yang tidak relevan dibedakan menjadi 2 (dua) cara yaitu penghapusan (right to erasure) dan pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting). Pasal 26 ayat (3) UU ITE mengatur lingkup yang lebih luas dari penghapusan data pribadi (right to erasure) yaitu setiap informasi dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan dapat dimintakan orang yang bersangkutan untuk dihapus dari daftar mesin pencari (right to delisting) melalui penetapan pengadilan, termasuk rekam jejak di masa lalu namun tidak relevan dengan kejadian saat ini. Pengecualian untuk mempertahankan data pribadi tetap diperlukan terutama untuk rekam jejak di masa lalu yang berkaitan dengan kejahatan yang meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak korban. Oleh karena itu diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data “tidak relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu yang tidak dapat dimintakan untuk dihapuskan. d. Larangan Perbuatan Menyebarkan Muatan yang Melanggar Kesusilaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE memiliki delik yang serupa dengan Pasal 281-Pasal 282 KUHP dan Pasal 4 UU Pornografi terkait larangan perbuatan menyebarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Perbedaan utama antara ketiga ketentuan tersebut terletak pada pengaturan subjek hukum, metode penyebaran, media penyebaran, dan jenis-jenis muatan kesusilaan. Implementasi Pasal 27 ayat (1) UU ITE ramai disebut sebagai “pasal karet” karena menimbulkan multitafsir dan kontroversi baik bagi para APH maupun bagi masyarakat. Atas keadaan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Polri menyepakati SKB UU ITE sebagai solusi tercepat dalam penyamaan persepsi penegakan hukum diantara APH, namun SKB UU ITE belum dapat menyelesaikan masalah utama yang ada pada penormaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Oleh karena diperlukan penjelasan lebih terperinci terkait frasa “melanggar kesusilaan” agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan lain dan menimbulkan multitafsir. e. Perbedaan Ancaman Pidana Pelaku Perjudian Pasal 27 ayat (2) UU ITE menitikberatkan pada perbuatan seseorang “mentransmisikan”, “mendistribusikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” konten perjudian. Perbuatan perjudian online yang diatur Pasal 27 ayat (2) UU ITE memiliki persinggungan dengan unsur atau delik perjudian yang diatur dalam Pasal 303 KUHP. Namun ketentuan pidana penjara dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE memberikan ancaman yang lebih rendah dibandingkan dengan Pasal 303 KUHP. Jika dilihat dari sifat judi online yang mudah diakses, tidak membutuhkan kehadiran fisik, adanya konten pornografi dalam situs judi online maka dapat disimpulkan bahwa judi online menimbulkan bahaya moral hazard yang lebih besar dibandingkan judi konvensional. Oleh karena itu, besaran ancaman pidana penjara yang berbeda antara UU ITE dengan KUHP dianggap tidak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dari perjudian online. f. Norma Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik Ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai perbuatan pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam ranah ITE. Pada implementasinya menimbulkan kritik dan kontroversi karena sifat multitafsir rumusan norma penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga berpotensi menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut disebabkan perbedaan penormaan antara Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 310-Pasal 311 KUHP, dimana masalah utama ketentuan Pasal UU ITE ini dikarenakan tidak jelasnya kualifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama baik. Dari data yang dihimpun lembaga Southeast Asia of Expression Network pada tahun 2020, mayoritas pengaduan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik berasal dari orang-orang dengan status sosial tinggi yang mengadukan orang dengan latar belakang status sosial lebih rendah. Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan SKB UU ITE sebagai pedoman pelaksana yang bertujuan menjembatani permasalahan norma penghinaan dan pencemaran nama baik dengan penegakan hukum di lapangan. Meskipun demikian, dari aspek yuridis pemberlakuan SKB UU ITE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bukan termasuk peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai klasifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana dimuat dalam SKB UU ITE. g. Delik Pemerasan dan Pengancaman Ketentuan tindak pidana “pemerasan” dan “pengancaman” dalam Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE pada intinya menggabungkan dua norma KUHP yang berbeda yaitu tindak pidana “pemerasan” Pasal 368 KUHP dan “pengancaman” Pasal 369 KUHP. Implikasi penggabungan tersebut adalah adanya delik biasa dan delik aduan yang termuat dalam satu ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU ITE, yang mengakibatkan multitafsir bagi APH maupun bagi masyarakat. Untuk menanggulangi sifat multitafsir Pasal tersebut, pemerintah mengeluarkan SKB UU ITE yang menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (4) UU ITE mengacu pada Pasal 368 KUHP. Hal ini menjadikan delik aduan tindak pengancaman menjadi tidak diakomodir. Oleh karenanya norma “pemerasan dan pengancaman” UU ITE perlu dilakukan harmonisasi dengan KUHP. h. Larangan Perbuatan Menyebarkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Pasal 28 ayat (2) UU ITE memiliki delik yang serupa dengan Pasal 156-Pasal 157 KUHP terkait larangan menyebarkan ujaran kebencian (hate speech), namun Pasal 28 ayat (2) UU ITE hanya mengkhususkan adanya unsur delik informasi yang disebarkan dalam media elektronik. Perbedaan utama antara kedua ketentuan tersebut terletak pada adanya unsur “individu”, unsur “antargolongan”, ancaman pidana, serta penggunaan kata “menyebarkan” dengan frasa “di muka umum”. Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga termasuk sebagai “pasal karet” yang menimbulkan multitafsir dan kontroversi di tengah masyarakat. Selain SKB UU ITE, ketentuan penanganan ujaran kebencian (hate speech) bagi internal Kepolisian juga diatur dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015. Namun dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015 terdapat beberapa ketentuan baru yang tidak sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE seperti penambahan objek ujaran kebencian, bentuk-bentuk ujaran kebencian, serta dampak dari ujaran kebencian (hate speech). Sehingga untuk mengatasi hal-hal tersebut yang berpotensi menimbulkan disharmoni secara substansi, multitafsir dalam penegakan hukum oleh APH dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat diperlukan revisi atas Pasal 28 ayat (2) UU ITE. i. Permasalahan Pengaturan Delik Pidana Pinjaman Online Ilegal Bahwa ketentuan Pasal 29 UU ITE mengenai tindakan ancaman kekerasan yang dilakukan dengan sarana elektronik hanya mengatur mengenai hukum formil yang mensyaratkan terpenuhinya unsur delik tanpa melihat maksud dari pelaku dalam melakukan tindak pidana ancaman kekerasan, seperti yang telah tercantum dalam Pasal 335 KUHP. Hal tersebut dapat menimbulkan multitafsir diantara APH maupun masyarakat, terutama apabila dikaitkan dengan kasus pinjaman online ilegal yang dalam hal melakukan tindak pidana ancaman kekerasan tersebut disertakan dengan adanya maksud agar nasabah segera membayar dana yang sudah dipinjam kepadanya. Terkait hal tersebut, perlu dilakukan revisi atau perubahan yaitu dengan penambahan norma maksud dilakukannya tindak pidana ancaman kekerasan seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 335 KUHP. j. Pemutusan Akses Terhadap Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum guna melindungi kepentingan umum serta bertujuan agar mencegah penyalahgunaan informasi dan/atau dokumen elektronik. Ketentuan tersebut kemudian diteruskan dengan terbitnya PP 71/2019 yang secara substansi mengatur mengenai batasan, kategori serta klasifikasi mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik yang mengatur muatan melanggar hukum. Bahwa maksud dan tujuan yang diatur didalam Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE juga sejalan dengan Putusan MK Nomor 81/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya hakim MK mempertimbangkan bahwa ketentuan mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses internet diperlukan, melihat bahwa perkembangan teknologi yang sangat cepat, luas dan masif. Pada implementasinya rumusan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah menimbulkan multitafsir apabila dilaksanakan untuk kepentingan luas karena jenis informasi yang dapat diputus akses hanya mencakup informasi dan/atau dokumen elektronik saja yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, oleh karena itu maka ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses tersebut perlu disertai dengan perluasan jenis informasi guna mengakomodasi perkembangan teknologi. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE diatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan ITE. Terkait pelaksanaannya, pengawasan ITE dilakukan oleh Pemerintah yaitu Kominfo yang dibantu oleh Bareskrim Polri yang dilaksanakan melalui pembentukan satuan kerja tersendiri. Untuk menjalankan tugasnya, Kapolri menerbitkan SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. SE tersebut dikeluarkan menanggapi permintaan Presiden agar Polri lebih selektif dalam menangani kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Ketetapan SE ini berlaku untuk setiap kasus yang sedang ditangani maupun kasus yang berpotensi muncul di masa mendatang. SE ini kemudian diperkuat dengan adanya Surat Telegram Kapolri No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Kejahatan Siber (ST No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021). Namun koordinasi antar Pemerintah yang berwenang terkait pengawasan ITE selama ini belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya transaksi elektronik berupa investasi atau pinjaman online yang tidak berizin atau tidak tersertifikasi namun tetap bisa beroperasi dan masih maraknya kasus tindak pidana penipuan online yang merugikan konsumen seperti arisan online atau pinjaman online. Dalam mengatasi permasalahan dalam implementasi Pasal 40 ayat (2) UU ITE maka diperlukan penguatan dari sisi koordinasi antara instansi terkait dengan Bareskrim Polri untuk melakukan pengawasan dan pencegahan agar kasus penipuan online tidak terjadi lagi. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Pemahaman SDM Terkait dengan Pidana Siber Dalam penanganan tindak pidana siber di Indonesia belum terlaksana secara optimal, faktor yang paling berpengaruh pada lemahnya penegakan hukum adalah sarana dan prasarana penegakan hukum yang belum memadai yang mencakup ketersediaan SDM yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan pendanaan yang mencukupi. Dalam rangka meningkatkan upaya penanganan tindak pidana siber yang semakin meningkat, diharapkan dapat diselenggarakan pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana.   b. Hambatan Pelaksanaan Kewajiban Melindungi Informasi Elektronik Ketentuan Pasal 16 UU ITE mengatur tentang syarat minimum setiap PSE dalam mengoperasikan sistem elektronik. Dalam memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut selama ini masih ditemukan beberapa hambatan yang terjadi, terutama mengenai sarana dan prasarana yang belum memadai dalam melaksanakan perlindungan informasi elektronik tersebut, sehingga hal-hal ini menyebabkan masih maraknya kasus kebocoran data yang terjadi. Dalam menyelesaikan hambatan pelaksanaan Pasal 16 UU ITE terkait aspek sarana dan prasarana tersebut, jika dikaitkan dengan tingkat payung hukumnya yaitu dengan membuat legislasi terkait Perlindungan Data Pribadi oleh DPR dan Kementerian yang berwenang. Lalu terkait hal-hal teknis, instansi/kementerian yang berwenang perlu menyediakan teknologi yang mendukung perlindungan data pribadi serta menambah SDM yang bertugas terkait dengan pengawasan dalam keamanan jaringan dan perangkat internet. 4. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Pemahaman dan Edukasi dalam Implementasi UU ITE Sebagai undang-undang yang mengatur mengenai hal yang berhubungan dengan teknologi, tentunya UU ITE ini tidak luput dari hambatan dalam implementasinya. Secara umum masyarakat sudah mulai berperan aktif dalam melaporkan terjadinya tindak pidana ITE, namun masih terdapat permasalahan terkait masyarakat yang tidak memahami mengenai pengaturan dalam UU ITE. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat ini menjadi faktor terhambatnya pelaksanaan pengawasan dan pencegahan terjadinya tindak pidana ITE. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi secara menyeluruh oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai aturan dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah terkait penyelenggaraan ITE. b. Peran Serta Masyarakat Terkait Data Pribadi Ketentuan mengenai penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU ITE. Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut selama ini masih terdapat kendala yang terjadi, yaitu sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami pentingnya melindungi data pribadi sehingga menyebabkan masih banyaknya kasus kebocoran data pribadi yang terjadi selama ini. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan pemberian edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, contohnya dengan mengadakan sosialisasi dan/atau bimbingan teknis terkait perlindungan data pribadi.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE, perlu diatur lebih rinci terkait dengan kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai perluasan dari alat bukti serta hukum acaranya dalam rangka penegakan hukum. b. Pasal 10 UU ITE, perlu mendorong pembentukan LSK karena memiliki peranan penting dalam menjamin keamanan sistem elektronik bagi e-commerce, perbankan, dan finance technology. Selain itu, perlu mendorong Kominfo dan instansi terkait untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta yang berkompeten dalam memberikan sertifikasi keandalan kepada para pelaku usaha. c. Pasal 26 ayat (3) UU ITE, perlu diberikan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data “tidak relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu yang tidak dapat dimintakan penghapusan. d. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, perlu diberikan kejelasan rumusan frasa “melanggar kesusilaan” agar tidak tumpang tindih atau disharmoni dengan Pasal 281-Pasal 282 KUHP dan Pasal 4 UU Pornografi. e. Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE perlu harmonisasi dengan Pasal 303 KUHP, khususnya pada ketentuan maksimum ancaman pidana penjara. f. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE perlu diberikan kejelasan rumusan mengenai kualifikasi korban, dimana substansi SKB UU ITE yang relevan dapat menjadi acuan dalam revisi UU ITE. g. Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE perlu harmonisasi dengan Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP terkait jenis delik biasa dan jenis delik aduan. h. Pasal 28 ayat (2) UU ITE, perlu dihapuskan unsur “individu” karena sudah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dan perlu diberikan kejelasan rumusan unsur “antargolongan” agar tidak multitafsir, serta perlunya penertiban peraturan teknis seperti SKB UU ITE dan SE Kapolri No. SE/6/X/2015 agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum. i. Pasal 29 UU ITE perlu dilakukan revisi yaitu dengan penambahan norma maksud dilakukannya tindak pidana ancaman kekerasan seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 335 KUHP. j. Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE perlu ditegaskan kewenangan Pemerintah hanya dalam memutus akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum (moderasi konten). k. Perlu mengangkat norma dalam SKB UU ITE menjadi materi perubahan UU ITE. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN Perlu penguatan dari sisi koordinasi antara instansi/kementerian terkait dengan Bareskrim Polri untuk melakukan pengawasan dan pencegahan agar kasus penipuan berbasis online tidak terjadi lagi. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Perlu dilakukan peningkatan upaya penanganan tindak pidana siber dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana. b. Perlu dibuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi oleh DPR dan Pemerintah. c. Perlu peningkatan teknologi yang mendukung perlindungan data pribadi serta menambah SDM yang bertugas terkait dengan pengawasan dalam keamanan jaringan dan perangkat internet. 4. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh oleh DPR, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai aturan dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah terkait penyelenggaraan ITE. b. Perlunya pemberian edukasi kepada masyarakat terkait pemahaman mengenai pentingnya perlindungan data pribadi yang dilaksanakan dengan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, dan bimbingan teknis.
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Tanggal
2021-12-06
Tim Penyusun
No Author

Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi, wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa wilayah dengan potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden telah menyepakati pembentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada bulan Juli tahun 2007 yang kemudian telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Cipta Kerja (UU PWP3K). Terdapat beberapa permasalahan dalam UU PWP3K antara lain: 1. pengaturan mengenai kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); 2. pengintegrasian RZWP3K ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi; 3. pengintegrasian kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 4. pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 5. perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut; 6. pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko terintegrasi secara elektronik (Sistem Online Single Submission (Sistem OSS)) 7. anggaran pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi; dan 8. peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga perlu melakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU PWP3K. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU PWP3K dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU PWP3K dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait integrasi kegiatan, perencanaan RZWP3K dan implikasi dari belum adanya RZWP3K, perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut, reklamasi, kewenangan PPNS, Program Mitra Bahari, kegiatan penelitian, pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, dan koordinasi dalam pengelolaan wilayah konservasi di laut. Terdapat pula kendala terkait kurangnya anggaran pengawasan dari diubahnya ketentuan Pasal 50 UU PWP3K. Kemudian pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dengan menggunakan Sistem OSS belum berjalan optimal demikian juga minimnya SDM untuk kebutuhan penegakan hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, terdapat permasalahan terkait hak yang dimiliki oleh masyarakat salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak masyarakat dalam memperoleh informasi dan kurangnya pemahaman stakeholders terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

1. Aspek Substansi Hukum a. Penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dilakukan secara bertahap dalam proses penyusunan rencana tata ruang dan diperlukan penegasan norma dalam UU PWP3K bahwa penyusunan perencanaan ruang laut mengacu kepada peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. b. Pasal 7 dan Pasal 7A UU PWP3K perlu diharmonisasikan dengan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang darat untuk wilayah pulau-pulau kecil dan penataan ruang laut untuk wilayah pesisir. c. Pengaturan dalam Bab IV UU PWP3K perlu dikuatkan dengan adanya norma yang menegaskan bahwa RZWP3K disusun oleh pemerintah daerah provinsi dengan kewajiban untuk melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota. d. Pasal 30 UU PWP3K perlu dilakukan perbaikan dengan adanya norma yang menyatakan “perubahan status zona inti pada kawasan konservasi untuk kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional berupa penetapan proyek strategis nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.” e. Frasa “masyarakat adat” dalam Pasal 61 UU PWP3K perlu diubah menjadi frasa “masyarakat hukum adat” agar konsisten dengan perubahan frasa “masyarakat adat” dalam pasal-pasal lain yang sudah diubah sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. f. Istilah “kepentingan nasional” dalam Pasal 21 ayat (2) UU PWP3K perlu diberikan definisi atau penjelasan agar memberikan kepastian hukum terutama bagi masyarakat hukum adat. g. Pengaturan Pasal 20 ayat (1) UU PWP3K perlu dilakukan penambahan frasa “dan pemerintah daerah” setelah frasa “Pemerintah Pusat” sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional”. h. Rumusan yang berisi norma mengenai sanksi administrasi, sanksi perdata, dan/atau sanksi pidana yang semula berada dalam Penjelasan Pasal 36 ayat (5) UU PWP3K perlu dipindahkan menjadi materi muatan dalam batang tubuh pasal UU PWP3K. i. Frasa “mengadakan tindakan lain menurut hukum” dalam Pasal 70 ayat (3) huruf i UU PWP3K perlu dijabarkan. Secara konkret, salah satunya dengan menambahkan pengaturan mengenai upaya paksa termasuk sebagai kewenangan PPNS. j. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan dalam 2 (dua) langkah perumusan, yaitu yang pertama, harmonisasi kebijakan formulasi (sistem pengaturan), dan yang kedua, harmonisasi materi atau norma-norma dalam UU PWP3K dengan UU Pemda, dan dalam UU PWP3K dengan UU Penataan Ruang. Harmonisasi materi seyogyanya mempertimbangkan semangat desentralisasi sebagai bagian yang sangat penting dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. k. Perlu mendorong Kementerian KP dan kementerian terkait untuk membantu Presiden merumuskan kedua peraturan presiden yang diamanatkan Pasal 46 dan Pasal 49 UU PWP3K mengingat UU PWP3K merupakan kesepakatan politik bersama antara DPR RI dengan Presiden yang harus dijalankan oleh eksekutif sebagai pelaksana undang-undang. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan a. Perlu adanya komitmen bersama yang menegaskan pembagian kewenangan mengenai penataan ruang darat oleh Kementerian ATR/BPN dan penataan ruang laut oleh Kementerian KP, serta kewenangan terkait pengelolaan wilayah konservasi di laut antara Kementerian KP dan Kementerian LHK. Selain itu diperlukan optimalisasi Program Mitra Bahari sebagai sebuah forum yang salah satu kegiatannya mengadakan pertemuan rutin seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. b. Perlu dilakukan percepatan penyusunan dokumen final RZWP3K oleh pemerintah daerah provinsi yang belum menetapkan peraturan daerah mengenai RZWP3K untuk kemudian menjadi materi teknis muatan pesisir dalam RTRW provinsi. c. Perlu adanya itikad baik dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk mempertimbangkan usulan, tanggapan, dan perbaikan dari masyarakat terhadap dokumen RZWP3K, terutama terkait dengan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah kelola masyarakat hukum adat. Selain itu diperlukan komitmen dari stakeholders untuk menjadikan RZWP3K sebagai pedoman dan acuan dalam kegiatan pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. d. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam implementasi perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dan juga harmonisasi dalam menyusun kebijakan terkait kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan, salah satunya kegiatan produksi garam skala mikro. e. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pelaksanaan reklamasi, terutama dalam hal mekanisme teknis pelaksanaan reklamasi dan penyusunan dokumen final RZWP3K untuk diintegrasikan ke dalam RTRW provinsi bagi daerah-daerah yang belum memiliki peraturan daerah tentang RZWP3K. f. Perlunya perbaikan sistem birokrasi untuk mengoptimalisasi koordinasi dalam pelaksanaan kewenangan PPNS sehingga ke depannya proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dalam rangka pengawasan dan pengendalian di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan cepat dan efektif. g. Perlu dilakukannya penguatan koordinasi dan sinergi di antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan/atau dunia usaha untuk upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga Program Mitra Bahari ini dapat berjalan secara efektif. h. Perlu adanya sosialisasi dari Pemerintah Pusat kepada aparatur pemerintah daerah di tingkat kecamatan dan desa mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan penelitian oleh orang asing di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. i. Diperlukan adanya petunjuk teknis mekanisme dalam prosedur keterlibatan pemerintah daerah kabupaten/kota, untuk memperjelas kewenangan masing-masing dan menghindari adanya tumpang tindih kewenangan dalam melakukan pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. j. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pengelolaan wilayah konservasi, guna memperjelas peran masing-masing dalam mekanisme teknis pelaksanaan di lapangan untuk pengelolaan wilayah konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Aspek Pendanaan Pemerintah provinsi hendaknya mengalokasikan anggaran yang lebih memadai untuk kegiatan pengawasan yang termasuk di dalamnya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) sehingga pelaksanaan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi lebih efektif. 4. Aspek Sarana dan Prasarana a. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat terkait Sistem OSS agar pemahaman menjadi lebih baik, memperluas pengadaan sarana dan prasarana Sistem OSS untuk menjangkau masyarakat yang kesulitan mengakses di beberapa wilayah, serta penyempurnaan dan pengembangan Sistem OSS. b. Perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM untuk kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kuantitas dilakukan dengan mengoptimalkan jumlah SDM PPNS, Polsus, dan SDM di UPT untuk mengoptimalkan fungsi UPT di daerah masing-masing. Kemudian kualitas dilakukan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan berupa pembekalan dan pembinaan untuk meningkatkan produktivitas. 5. Aspek Budaya Hukum a. Perlu adanya pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah khususnya menyediakan dan menyebarluaskan informasi terhadap masyarakat untuk mudah dijangkau, serta melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 UU PWP3K. b. Perlu pemberian bimbingan teknis kepada stakeholders mengenai ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian diperlukannya sosialisasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada masyarakat mengenai perencanaan, pemanfaatan, dan peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Pokmaswas. Kemudian bagi PPNS dan Polsus diberikan pendidikan dan pelatihan sehingga memiliki kesamaan pemahaman mengenai pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya terhadap pemerintah daerah dan stakeholders lainnya diperlukan sosialisasi yang lebih masif dan intensif sehingga tidak terdapat lagi pemahaman bahwa kewenangan perencanaan RZWP3K tersentralisasi di Pemerintah Pusat.