1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Kedudukan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti
1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Sebagai Perluasan Alat Bukti
Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE telah mengatur informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan perluasan mengenai alat bukti yang sah. Ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik sejatinya juga telah diakomodir didalam UU lain sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan terkait dengan alat bukti elektronik juga telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Pasal 26A UU Tipikor, Pasal 73 UU Pencucian Uang serta Pasal 29 UU TPPO. Namun pada implementasinya perumusan mengenai alat bukti didalam UU ITE telah menimbulkan multitafsir, hal ini dikarenakan informasi dan/atau dokumen elektronik dapat ditafsirkan sebagai perluasan salah satu jenis alat bukti sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Namun hal tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penambahan jenis alat bukti yang sah diluar jenis-jenis alat bukti yang diatur didalam Pasal 184 KUHAP. Oleh karena itu ketentuan mengenai kedudukan alat bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti perlu dipertegas kembali serta pengaturan mengenai hukum acara dalam rangka penegakan hukum.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara pengujian UU ITE dan UU Tipikor melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang mana seluruh pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan implikasi hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo Pasal 44 huruf b UU ITE dimana informasi dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila dalam pelaksanaannya dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Permasalahan tersebut diatas menunjukkan bahwa Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur mengenai kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah perlu diatur lebih lanjut terkait dengan perluasan dari alat bukti yang sah serta tanpa melanggar hak privasi pada setiap pihak dalam rangka penegakan hukum.
b. Lembaga Sertifikasi Keandalan
Sertifikasi keandalan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU ITE dan Pasal 68 PP 71/2019 dimana salah satu fungsi sertifikat keandalan adalah untuk memberikan jaminan kepada konsumen bahwa transaksi elektronik tersebut aman untuk diakses. Namun hingga saat ini, sertifikasi keandalan belum diterapkan hal ini disebabkan karena Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) selaku lembaga yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat keandalan dan berwenang melaksanakan audit sistem ITE belum juga dibentuk sehingga mengakibatkan sistem ITE rawan akan kebocoran data dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, perlu dibentuknya LSK mengingat LSK memiliki peranan penting dalam menjamin keamanan sistem elektronik bagi e-commerce, perbankan, dan finance technology.
c. Penghapusan Data Pribadi yang Tidak Relevan Melalui Penetapan Pengadilan
Pasal 26 ayat (3) UU ITE merupakan aturan baru yang menjamin hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 terkait kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menghapus data pribadi yang berada di bawah kendali PSE berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam Pasal 15 PP 71/2019, penerapan tata cara penghapusan data pribadi yang tidak relevan dibedakan menjadi 2 (dua) cara yaitu penghapusan (right to erasure) dan pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting). Pasal 26 ayat (3) UU ITE mengatur lingkup yang lebih luas dari penghapusan data pribadi (right to erasure) yaitu setiap informasi dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan dapat dimintakan orang yang bersangkutan untuk dihapus dari daftar mesin pencari (right to delisting) melalui penetapan pengadilan, termasuk rekam jejak di masa lalu namun tidak relevan dengan kejadian saat ini.
Pengecualian untuk mempertahankan data pribadi tetap diperlukan terutama untuk rekam jejak di masa lalu yang berkaitan dengan kejahatan yang meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak korban. Oleh karena itu diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data “tidak relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu yang tidak dapat dimintakan untuk dihapuskan.
d. Larangan Perbuatan Menyebarkan Muatan yang Melanggar Kesusilaan
Pasal 27 ayat (1) UU ITE memiliki delik yang serupa dengan Pasal 281-Pasal 282 KUHP dan Pasal 4 UU Pornografi terkait larangan perbuatan menyebarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Perbedaan utama antara ketiga ketentuan tersebut terletak pada pengaturan subjek hukum, metode penyebaran, media penyebaran, dan jenis-jenis muatan kesusilaan. Implementasi Pasal 27 ayat (1) UU ITE ramai disebut sebagai “pasal karet” karena menimbulkan multitafsir dan kontroversi baik bagi para APH maupun bagi masyarakat.
Atas keadaan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Polri menyepakati SKB UU ITE sebagai solusi tercepat dalam penyamaan persepsi penegakan hukum diantara APH, namun SKB UU ITE belum dapat menyelesaikan masalah utama yang ada pada penormaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Oleh karena diperlukan penjelasan lebih terperinci terkait frasa “melanggar kesusilaan” agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan lain dan menimbulkan multitafsir.
e. Perbedaan Ancaman Pidana Pelaku Perjudian
Pasal 27 ayat (2) UU ITE menitikberatkan pada perbuatan seseorang “mentransmisikan”, “mendistribusikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” konten perjudian. Perbuatan perjudian online yang diatur Pasal 27 ayat (2) UU ITE memiliki persinggungan dengan unsur atau delik perjudian yang diatur dalam Pasal 303 KUHP. Namun ketentuan pidana penjara dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE memberikan ancaman yang lebih rendah dibandingkan dengan Pasal 303 KUHP. Jika dilihat dari sifat judi online yang mudah diakses, tidak membutuhkan kehadiran fisik, adanya konten pornografi dalam situs judi online maka dapat disimpulkan bahwa judi online menimbulkan bahaya moral hazard yang lebih besar dibandingkan judi konvensional. Oleh karena itu, besaran ancaman pidana penjara yang berbeda antara UU ITE dengan KUHP dianggap tidak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dari perjudian online.
f. Norma Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai perbuatan pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam ranah ITE. Pada implementasinya menimbulkan kritik dan kontroversi karena sifat multitafsir rumusan norma penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga berpotensi menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut disebabkan perbedaan penormaan antara Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 310-Pasal 311 KUHP, dimana masalah utama ketentuan Pasal UU ITE ini dikarenakan tidak jelasnya kualifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dari data yang dihimpun lembaga Southeast Asia of Expression Network pada tahun 2020, mayoritas pengaduan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik berasal dari orang-orang dengan status sosial tinggi yang mengadukan orang dengan latar belakang status sosial lebih rendah. Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan SKB UU ITE sebagai pedoman pelaksana yang bertujuan menjembatani permasalahan norma penghinaan dan pencemaran nama baik dengan penegakan hukum di lapangan. Meskipun demikian, dari aspek yuridis pemberlakuan SKB UU ITE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bukan termasuk peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai klasifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana dimuat dalam SKB UU ITE.
g. Delik Pemerasan dan Pengancaman
Ketentuan tindak pidana “pemerasan” dan “pengancaman” dalam Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE pada intinya menggabungkan dua norma KUHP yang berbeda yaitu tindak pidana “pemerasan” Pasal 368 KUHP dan “pengancaman” Pasal 369 KUHP. Implikasi penggabungan tersebut adalah adanya delik biasa dan delik aduan yang termuat dalam satu ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU ITE, yang mengakibatkan multitafsir bagi APH maupun bagi masyarakat. Untuk menanggulangi sifat multitafsir Pasal tersebut, pemerintah mengeluarkan SKB UU ITE yang menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (4) UU ITE mengacu pada Pasal 368 KUHP. Hal ini menjadikan delik aduan tindak pengancaman menjadi tidak diakomodir. Oleh karenanya norma “pemerasan dan pengancaman” UU ITE perlu dilakukan harmonisasi dengan KUHP.
h. Larangan Perbuatan Menyebarkan Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Pasal 28 ayat (2) UU ITE memiliki delik yang serupa dengan Pasal 156-Pasal 157 KUHP terkait larangan menyebarkan ujaran kebencian (hate speech), namun Pasal 28 ayat (2) UU ITE hanya mengkhususkan adanya unsur delik informasi yang disebarkan dalam media elektronik. Perbedaan utama antara kedua ketentuan tersebut terletak pada adanya unsur “individu”, unsur “antargolongan”, ancaman pidana, serta penggunaan kata “menyebarkan” dengan frasa “di muka umum”. Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga termasuk sebagai “pasal karet” yang menimbulkan multitafsir dan kontroversi di tengah masyarakat.
Selain SKB UU ITE, ketentuan penanganan ujaran kebencian (hate speech) bagi internal Kepolisian juga diatur dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015. Namun dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015 terdapat beberapa ketentuan baru yang tidak sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE seperti penambahan objek ujaran kebencian, bentuk-bentuk ujaran kebencian, serta dampak dari ujaran kebencian (hate speech). Sehingga untuk mengatasi hal-hal tersebut yang berpotensi menimbulkan disharmoni secara substansi, multitafsir dalam penegakan hukum oleh APH dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat diperlukan revisi atas Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
i. Permasalahan Pengaturan Delik Pidana Pinjaman Online Ilegal
Bahwa ketentuan Pasal 29 UU ITE mengenai tindakan ancaman kekerasan yang dilakukan dengan sarana elektronik hanya mengatur mengenai hukum formil yang mensyaratkan terpenuhinya unsur delik tanpa melihat maksud dari pelaku dalam melakukan tindak pidana ancaman kekerasan, seperti yang telah tercantum dalam Pasal 335 KUHP. Hal tersebut dapat menimbulkan multitafsir diantara APH maupun masyarakat, terutama apabila dikaitkan dengan kasus pinjaman online ilegal yang dalam hal melakukan tindak pidana ancaman kekerasan tersebut disertakan dengan adanya maksud agar nasabah segera membayar dana yang sudah dipinjam kepadanya. Terkait hal tersebut, perlu dilakukan revisi atau perubahan yaitu dengan penambahan norma maksud dilakukannya tindak pidana ancaman kekerasan seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 335 KUHP.
j. Pemutusan Akses Terhadap Informasi dan/atau Dokumen Elektronik
Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum guna melindungi kepentingan umum serta bertujuan agar mencegah penyalahgunaan informasi dan/atau dokumen elektronik. Ketentuan tersebut kemudian diteruskan dengan terbitnya PP 71/2019 yang secara substansi mengatur mengenai batasan, kategori serta klasifikasi mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik yang mengatur muatan melanggar hukum. Bahwa maksud dan tujuan yang diatur didalam Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE juga sejalan dengan Putusan MK Nomor 81/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya hakim MK mempertimbangkan bahwa ketentuan mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses internet diperlukan, melihat bahwa perkembangan teknologi yang sangat cepat, luas dan masif. Pada implementasinya rumusan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah menimbulkan multitafsir apabila dilaksanakan untuk kepentingan luas karena jenis informasi yang dapat diputus akses hanya mencakup informasi dan/atau dokumen elektronik saja yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, oleh karena itu maka ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses tersebut perlu disertai dengan perluasan jenis informasi guna mengakomodasi perkembangan teknologi.
2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE diatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan ITE. Terkait pelaksanaannya, pengawasan ITE dilakukan oleh Pemerintah yaitu Kominfo yang dibantu oleh Bareskrim Polri yang dilaksanakan melalui pembentukan satuan kerja tersendiri. Untuk menjalankan tugasnya, Kapolri menerbitkan SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. SE tersebut dikeluarkan menanggapi permintaan Presiden agar Polri lebih selektif dalam menangani kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Ketetapan SE ini berlaku untuk setiap kasus yang sedang ditangani maupun kasus yang berpotensi muncul di masa mendatang. SE ini kemudian diperkuat dengan adanya Surat Telegram Kapolri No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Kejahatan Siber (ST No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021).
Namun koordinasi antar Pemerintah yang berwenang terkait pengawasan ITE selama ini belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya transaksi elektronik berupa investasi atau pinjaman online yang tidak berizin atau tidak tersertifikasi namun tetap bisa beroperasi dan masih maraknya kasus tindak pidana penipuan online yang merugikan konsumen seperti arisan online atau pinjaman online. Dalam mengatasi permasalahan dalam implementasi Pasal 40 ayat (2) UU ITE maka diperlukan penguatan dari sisi koordinasi antara instansi terkait dengan Bareskrim Polri untuk melakukan pengawasan dan pencegahan agar kasus penipuan online tidak terjadi lagi.
3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Pemahaman SDM Terkait dengan Pidana Siber
Dalam penanganan tindak pidana siber di Indonesia belum terlaksana secara optimal, faktor yang paling berpengaruh pada lemahnya penegakan hukum adalah sarana dan prasarana penegakan hukum yang belum memadai yang mencakup ketersediaan SDM yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan pendanaan yang mencukupi. Dalam rangka meningkatkan upaya penanganan tindak pidana siber yang semakin meningkat, diharapkan dapat diselenggarakan pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana.
b. Hambatan Pelaksanaan Kewajiban Melindungi Informasi Elektronik
Ketentuan Pasal 16 UU ITE mengatur tentang syarat minimum setiap PSE dalam mengoperasikan sistem elektronik. Dalam memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut selama ini masih ditemukan beberapa hambatan yang terjadi, terutama mengenai sarana dan prasarana yang belum memadai dalam melaksanakan perlindungan informasi elektronik tersebut, sehingga hal-hal ini menyebabkan masih maraknya kasus kebocoran data yang terjadi.
Dalam menyelesaikan hambatan pelaksanaan Pasal 16 UU ITE terkait aspek sarana dan prasarana tersebut, jika dikaitkan dengan tingkat payung hukumnya yaitu dengan membuat legislasi terkait Perlindungan Data Pribadi oleh DPR dan Kementerian yang berwenang. Lalu terkait hal-hal teknis, instansi/kementerian yang berwenang perlu menyediakan teknologi yang mendukung perlindungan data pribadi serta menambah SDM yang bertugas terkait dengan pengawasan dalam keamanan jaringan dan perangkat internet.
4. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Pemahaman dan Edukasi dalam Implementasi UU ITE
Sebagai undang-undang yang mengatur mengenai hal yang berhubungan dengan teknologi, tentunya UU ITE ini tidak luput dari hambatan dalam implementasinya. Secara umum masyarakat sudah mulai berperan aktif dalam melaporkan terjadinya tindak pidana ITE, namun masih terdapat permasalahan terkait masyarakat yang tidak memahami mengenai pengaturan dalam UU ITE. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat ini menjadi faktor terhambatnya pelaksanaan pengawasan dan pencegahan terjadinya tindak pidana ITE. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi secara menyeluruh oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai aturan dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah terkait penyelenggaraan ITE.
b. Peran Serta Masyarakat Terkait Data Pribadi
Ketentuan mengenai penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU ITE. Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut selama ini masih terdapat kendala yang terjadi, yaitu sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami pentingnya melindungi data pribadi sehingga menyebabkan masih banyaknya kasus kebocoran data pribadi yang terjadi selama ini. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan pemberian edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, contohnya dengan mengadakan sosialisasi dan/atau bimbingan teknis terkait perlindungan data pribadi.