Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN 
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Tanggal
2021-10-19
Tim Penyusun
No Author

Lahirnya UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dilatarbelakangi pertimbangan bahwa setiap orang termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah berhak memiliki tempat tinggal yang layak. Namun saat ini masih banyak masyarakat perkotaan yang tinggal dalam kawasan kumuh dalam lingkungan berpenduduk padat. Sehingga penyelenggaraan kawasan perumahan untuk mewujudkan wilayah sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, terpadu dan berkelanjutan masih terhambat. Oleh karena itu perlu ada kebijakan umum pembangunan perumahan sebagaimana yang sudah ditentukan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman yang diarahkan untuk: a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman; b. Ketersediaan dana murah jangka panjang; c. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna; d. Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan e. Mendorong iklim investasi asing.

1. Ditinjau dari segi substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terkait dan permasalahan implementasi yang terjadi saat ini sehingga perlu dilakukan perubahan dan/atau penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Perubahan ketentuan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman antara lain terkait penambahan standar minimal rumah sehat, penambahan definisi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sinkronisasi dan harmonisasi aturan terkait tugas dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penambahan definisi rumah swadaya yang termasuk rumah yang dibangun oleh MBR, perubahan persyaratan komposisi atas hunian berimbang, pembentukan peraturan pemerintah tentang penghunian rumah negara, penambahan pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan rumah, penambahan pengaturan mengenai rumah terlantar, dan penambahan pengaturan sanksi. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat memenuhi asas dalam UU PPP dan tujuan pembentukannya dapat tercapai. 2. Kesimpulan lain ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait perencanaan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan RTRW, belum optimalnya pemberian kemudahan perizinan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, belum optimalnya pencegahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh, pembangunan rumah susun yang tidak sesuai dengan zonasi dan peruntukan, standar konstruksi perumahan yang tidak memenuhi SNI, keterbatasan penyediaan tanah/lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman, potensi tumpang tindih tugas dan fungsi BP3 dengan pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman lainnya, belum terintegrasinya basis data perumahan dan kawasan permukiman, pembangunan PSU yang tidak sesuai perencanaan dan persyaratan teknis, permasalahan pendanaan dan pembiayaan, partisipasi dan pelibatan masyarakat yang belum efektif, serta sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang perumahan dan kawasan permukiman serta program pemerintah kepada masyarakat masih sangat kurang. 3. Permasalahan tersebut berpengaruh pada belum optimalnya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana yang telah diatur dalam UU perumahan dan Kawasan permukiman. Oleh karena itu diberikan rekomendasi untuk revisi UU Perumahan Dan Kawasan Permukiman agar dapat tercapai tujuan pembentukan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagai dasar hukum perlindungan negara terhadap hak masyarakat bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Perlu diberikan penambahan rumusan mengenai standar minimal rumah layak huni dan sehat dalam revisi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan memberikan amanat pengaturan teknis melalui peraturan pelaksana terkait kriteria antara lain luasan minimal, jumlah maksimal penghuni, faktor kelayakan dan kesehatan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara perumahan dengan tetap mempertimbangkan keterjangkauan daya beli masyarakat yang berbeda-beda. b. Perlu diberikan kejelasan rumusan terhadap definisi MBR yang diatur dalam Pasal 1 angka 24 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan penambahan pengertian dalam rumusan revisi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, yaitu mencakup masyarakat berpenghasilan tidak tetap, masyarakat miskin, dan diberikan amanat pengaturan teknis melalui peraturan pelaksana terkait penambahan kriteria utama MBR yang mencakup antara lain jenis pekerjaan, besaran penghasilan atau upah minimum, jumlah anggota keluarga, dan lokasi tinggal. Selanjutnya juga perlu diatur mengenai keberlakuan kriteria yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik/ kondisi upah minimum daerah yang berbeda-beda. c. Perlu sinkronisasi dan harmonisasi aturan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan UU Pemerintahan Daerah terkait pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman di pusat maupun daerah. d. Definisi Rumah Swadaya yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman memerlukan penambahan pengertian dalam rumusannya, yaitu penambahan rumusan termasuk rumah yang dibangun oleh MBR, sehingga selaras dengan pengaturan bantuan kemudahan dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berupa stimulan rumah swadaya bagi MBR. e. Pengaturan konsep dan persyaratan komposisi atas Hunian Berimbang yang diatur dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diselaraskan kembali dengan kemampuan pelaksanaan teknisnya di seluruh daerah yang memiki karakteristik lahan berbeda dan konsep sosial budaya masyarakat perkotaan yang masih mengutamakan strata. f. Perlu segera ditetapkan peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan memberikan pengaturan teknis terkait kriteria penghuni rumah negara, batas waktu penghunian rumah negara, dan mekanisme pengembalian hak kepada negara pada saat pejabat atau pegawai negeri yang menghuni sudah pensiun atau tidak lagi menjalankan kedinasannya, sesuai dengan aturan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. g. Perlu diberikan pengaturan pembatasan kepemilikan rumah dengan menambahkan batas maksimal kepemilikan rumah berdasarkan luas atau jumlah, kriteria pemilikan rumah, dan/atau pemberian disinsentif berupa pajak progresif atas pemilikan rumah kedua dan selanjutnya. h. Perlu diberikan penambahan pengaturan mengenai rumah terlantar dengan memberikan kriteria rumah terlantar, mekanisme penyerahan sebagai asset kepada pemerintah daerah, dan mekanisme pengelolaannya oleh pemerintah daerah sebagai solusi permasalahan backlog hunian di Indonesia. Serta pengendalian penghunian perumahan melalui pendataan terhadap rumah-rumah terlantar termasuk rumah-rumah MBR yang tidak ditempati. i. Perlu diberikan penambahan pengaturan sanksi terhadap setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan perumahan, pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kewenangannya dalam hal pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman, dan pengembang yang tidak memenuhi bahan bangunan sesuai SNI. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN a. Perlu dorongan kepada daerah untuk menerbitkan peraturan daerah RP3KP sehingga perencanaan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di daerah dapat memberikan kepastian hukum terkait pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang sesuai dengan RTRW nasional, RTRW provinsi, dan RTRW kabupaten/kota. b. Perlu adanya peningkatan peran aktif pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal meningkatkan kemutakhiran aplikasi sistem OSS yang sudah berjalan saat ini serta melakukan pengendalian dan pengawasan dalam hal pemenuhan syarat dan standar dalam penerbitan izin, sertifikasi dan/atau lisensi oleh pelaku usaha agar kemudahan perolehan rumah bagi MBR dapat tercapai. c. Perlu adanya sinergitas dan komitmen yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, serta memberikan reward and punishment bagi pemerintah daerah setempat dalam hal mengatasi permukiman kumuh agar dapat memacu pemerintah daerah untuk meningkatkan dan melakukan inovasi dalam penanganan terhadap kawasan kumuh tersebut. d. Perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap penataan zonasi rumah susun dalam hal pembangunan rumah susun umum di daerah yang harus sesuai dengan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, pengendalian dan pengawasan dari pemerintah terhadap pemanfaatan dan kepemilikan rumah susun oleh MBR, konsistensi pelaksanaan pembangunan rumah susun sesuai peruntukkannya, dan pelibatan masyarakat dari awal rencana pembangunan rumah susun. e. Perlu dilakukan peningkatan peran aktif pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap orang atau badan hukum yang akan membangunan suatu perumahan agar dapat memastikan bahan dan standar konstuksi yang mereka gunakan untuk membangun suatu bangunan telah memenuhi persyaratan SNI, penegakan pemberian sanksi kepada para pelanggar, dan melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya menggunakan standar SNI dalam pembangunan perumahan. f. Sebagai solusi dari permasalahan terbatasnya ketersediaan tanah/lahan bagi perumahan dan kawasan permukiman: 1) Perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan konsolidasi tanah agar penataan tanah/lahan di kota-kota besar dapat terwujud dengan baik; dan 2) Peningkatan optimalisasi Bank Tanah guna memberikan kepastian terhadap ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan serta alat pengendalian harga tanah dipasaran. g. Terhadap pembentukan BP3, perlu dilakukan: 1) Pembentukan skema kerja BP3 yang dapat mendorong sektor perumahan khususnya dari sisi pasokan yang saat ini masih terdapat gap atau kondisi tidak seimbang yang cukup besar dengan sisi permintaan (demand) dan membantu pemenuhan sektor perumahan khususnya pada segmen MBR; 2) Pemberian kepastian tidak ada tumpang tindih tugas dan fungsi antara BP3 dengan pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman yang sudah ada; dan 3) Penetapan peraturan menteri yang diamanatkan mengatur ketentuan mengenai mekanisme tata hubungan kerja dan pelaksanaan sebagian tugas dan fungsi BP3 di daerah provinsi oleh unit pelaksana teknis. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Perlu adanya pengintegrasian data melalui Big Data perumahan dan kawasan permukiman sebagai basis data dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. b. Perlu ditetapkan peraturan daerah terkait penyerahan PSU kepada pemerintah daerah, penegakan pemberian sanksi terhadap pelanggaran perencanaan dan pembangunan PSU yang tidak memenuhi standar persyaratan administratif, teknis, dan ekologis, serta pengendalian berupa pengawasan oleh pemerintah daerah dan/atau pemerintah pusat juga perlu ditingkatkan terhadap pembangunan PSU yang dilaksanakan oleh pengembang. 4. ASPEK PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN a. Perlu peningkatan penggunaan sumber dana lain untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman antara lain pemanfaatan creative financing, pemanfaatan KPBU dalam pembangunan perumahan, sumber dana dari BAZNAS, CSR, dana desa, dan dana lain yang pro rakyat. b. Perlu perbaikan dalam hal fleksibilitas regulasi pembiayaan perumahan agar percepatan pengadaan dan perolehan perumahan oleh MBR dapat terwujud secara progresif, antara lain melalui pelibatan masyarakat di setiap tahap perencanaan strategi pembiayaan perumahan, memudahkan peraturan dan prosedur dan memaksimalkan kelonggaran dalam hal peraturan dan birokrasi pada lembaga pembiayaan, serta meningkatkan penggunaan tabungan perumahan masyarakat dan koperasi masyarakat sebagai lembaga pembiayaan yang pro masyarakat. 5. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Perlu dibentuk Forum PKP di daerah sebagai wadah peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta meningkatkan sinergitas antara Forum PKP dan Pokja PKP guna memberikan efektivitas peran serta masyarakat. b. Perlu dilakukan peningkatan sosialisasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai aturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah yang meliputi bantuan atau kemudahan pembiayaan bagi MBR.
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN
Tanggal
2021-08-09
Tim Penyusun
No Author

Dalam kurun waktu hampir 3 (tiga) tahun keberlakuan UU Kekarantinaan Kesehatan yaitu sejak diundangkan 8 Agustus 2018, masih ditemukan beberapa isu terkait materi muatan dan implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, antara lain: a. Adanya ketidaksesuaian definisi karantina dan isolasi yang ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dengan IHR 2005. b. Peraturan pelaksana UU Kekarantinaan Kesehatan yang berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan ditentukan “harus ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan” namun hingga saat ini hanya terdapat Peraturan Pemerintah mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19). c. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang belum memberikan kejelasan dan kepastian hukum. d. Adanya ketidakpastian informasi yang sampai kepada masyarakat dalam rangka penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengakibatkan kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat. e. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan sejak Tahun 2018, terdapat permasalahan dari sisi substansi dan implementasinya, antara lain: 1. Pengaturan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 6, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 29, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 73, dan Pasal 85 huruf o UU Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan perubahan dengan menyesuaikan dengan IHR 2005 maupun mengakomodir masukan dari stakeholder agar pelaksanaan kekarantinaan kesehatan lebih optimal dalam rangka mencapai tujuannya untuk melindungi kesehatan masyarakat. 2. UU Kekarantinaan Kesehatan perlu ditambah dengan adanya pengaturan mengenai sanksi dalam informasi kekarantinaan kesehatan dan mensinkronkan pengaturan tersebut dengan ketentuan dalam UU ITE dan penambahan pengaturan mengenai kewajiban partisipasi masyarakat dalam kekarantinaan kesehatan yang tidak hanya dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan sehingga masyarakat dapat terlibat secara luas dalam kekarantinaan kesehatan sebagai optimalisasi asas keterpaduan yang merupakan salah satu asas pelaksanaan kekarantinaan kesehatan. 3. Pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan juga perlu dilakukan restrukturisasi karena pengaturan yang ada sekarang dinilai belum cukup sistematis dan menggambarkan suatu mekanisme penanganan terpadu yang berpotensi menimbulkan kendala dan kesulitan dalam pencapaian tujuan UU Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan perlu diharmonisasikan dengan pengaturan dalam UU Penanggulangan Bencana dan UU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan serta PP Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dan Permenhub No. 61 Tahun 2015 agar pelaksanaanya dapat berjalan secara optimal dan memberikan kepastian hukum. 4. Komitmen pemangku kepentingan UU Kekarantinaan Kesehatan perlu ditingkatkan agar pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan menjadi efektif dengan melakukan perbaikan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, memperjelas pembagian kewenangan pengawasan pelaksanaan kekaratinaan kesehatan, mengefektifkan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di perbatasan/pintu masuk, meningkatkan jumlah pejabat karantina kesehatan dan meningkatkan pembinaan kompetensi pejabat tersebut, melakukan penguatan perekonomian masyarakat dalam kedaruratan kesehatan masyarakat dan menerbitkan peraturan pelaksana UU Kekarantinaan Kesehatan dengan segera mengingat UU Kekarantinaan Kesehatan sendiri mengatur batas waktu 3 (tiga) tahun sejak diberlakukannya UU Kekarantinaan Kesehatan. 5. Dukungan sarana dan prasarana kekarantinaan kesehatan perlu ditingkatkan dengan pemenuhan sumber daya kekarantinaan kesehatan disekitar masyarakat maupun di perbatasan, baik berupa laboratorium, APD, asrama kesehatan maupun national guidelines bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien penderita gangguan kesehatan akibat penyakit yang ditetapkan sebagai penyebab kedaruratan kesehatan dalam masyarakat. Dukungan fasilitas berbasis teknologi informasi juga sangat diperlukan untuk menjangkau masyarakat luas dan menyajikan informasi kekarantinaan Kesehatan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur dalam suatu sistem informasi pelayanan publik. 6. Dukungan pendanaan diperlukan dalam pelaksanaan kekarantinaan Kesehatan sehingga perlu adanya pengaturan yang menghubungkan pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dengan UU Penanggulangan Bencana sehingga Dana Siap Pakai dalam penanggulangan bencana dapat diakses dalam rangka menangani KKM. Pelaksanaan kekarantinaan kesehatan juga harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan kondisi ekonomi daerah selama terjadinya KKM mengingat bahwa gangguan kesehatan masyarakat berdampak juga pada sektor-sektor ekonomi yang ada di daerah yang merupakan sumber PAD. Selain itu, peran masyarakat dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan perlu diatur dengan jelas. 7. Terkait budaya hukum, dalam kekarantinaan kesehatan, kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara maksimal dibentuk dengan adanya pemahaman terhadap pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan konsistensi penegakan hukum kekarantinaan kesehatan oleh aparat penegak hukum karena hal ini berpengaruh terhadap cara pandangan masyarakat yang berdampak pada kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam melaksanakan peraturan dalam kedaruratan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Kekarantinaan Kesehatan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: 1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Perlu penambahan pengaturan perihal perbedaan definisi dari frasa “mencegah dan menangkal” dalam definisi kekarantinaan kesehatan yang diatur oleh Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan; b. Perlu penambahan perihal aspek sosial dan ekonomi dalam definisi kekarantinaan kesehatan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan; c. Perlu diaturnya perihal indikator-indikator bagi Pemerintah Pusat dalam menetapkan status KKM; d. Perlu penyesuaian definisi karantina dalam Pasal 1 angka 6 UU Kekarantinaan Kesehatan dengan definisi karantina dalam IHR 2005 mengenai karantina yang dilakukan pada orang yang terduga terpapar penyakit menular; e. Perlu penyesuaian definisi isolasi dalam Pasal 1 angka 7 UU Kekarantinaan Kesehatan dengan definisi isolasi dalam IHR 2005 mengenai isolasi terhadap barang yang terkontaminasi dan mengenai pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan; f. Terkait asas Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan perubahan dengan menambahkan asas ketahanan ekonomi dan asas partisipasi masyarakat, serta menselaraskannya dengan ketentuan yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana; g. Diperlukan adanya penambahan pengaturan berupa penjelasan mengenai pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan; h. Terhadap frasa-frasa “... dunia internasional.” pada Pasal 11 ayat (2), frasa “... pihak internasional...” pada Pasal 12, dan frasa “...organisasi internasional.” pada Pasal 13 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan diperlukan ketentuan penjelasan yang mengatur lebih lanjut terkait frasa tersebut; i. Diperlukan penjelasan perihal kedudukan Pejabat Karantina Kesehatan berikut kriteria dan kualifikasi kompetensinya. Selain itu juga diperlukan pengaturan mengenai keterlibatan pejabat-pejabat yang bukan merupakan Pejabat Karantina Kesehatan; j. Diperlukan adanya penambahan materi muatan yang berisi penjelasan perihal maksud dari frasa “tindakan lain menurut hukum” dalam penjelasan Pasal 85 huruf o UU Kekarantinaan Kesehatan; k. Diperlukan penormaan perihal sanksi pelanggaran dalam informasi kekarantinaan kesehatan; l. Diperlukan penormaan perihal kewajiban ikut serta masyarakat dalam kekarantinaan kesehatan; m. Diperlukan restrukturisasi rumusan ketentuan-ketentuan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan berupa penyiapan, pelaksanaan, dan pemulihan dalam kekarantinaan kesehatan; dan n. Berkaitan dengan pengaturan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dengan undang-undang terkait lainnya, perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN a. Diperlukan penguatan koordinasi yang sinergis antar pemangku kepentingan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan; b. Peraturan pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan harus segera diterbitkan; c. Perlu ditambahkan substansi norma yang mengatur mengenai validitas data, keterbukaan data serta sanksi administratif dan/atau pidana bagi pihak-pihak yang mengintervensi atau tidak jujur dalam hal penyampaian data dan informasi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan; d. Perlu adanya penambahan SDM yang berkompeten dalam berbagai macam bidang untuk ditempatkan di daerah perbatasan Negara dan diterbitkannya pengaturan lebih lanjut berupa peraturan pelaksana guna mengatur pembatasan kegiatan di daerah perbatasan yang berlaku dalam berbagai keadaaan; e. Upaya pemenuhan SDM Pejabat Karantina Kesehatan; f. Perlu adanya pengaturan terkait anggaran penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang lebih rigid terkait besaran yang harus dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah; dan g. Segera diterbitkannya peraturan pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan oleh Pemerintah. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Optimalisasi ketersediaan sumber daya dan fasilitas kekarantinaan kesehatan; dan b. Pembuatan pedoman nasional (national guidelines) dalam penanganan pasien oleh rumah sakit di masa KKM. 4. ASPEK PENDANAAN a. Kemudahan dalam penggunaan dana siap pakai dalam penanganan kondisi KKM. b. Kejelasan proporsi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan; dan c. Optimalisasi peran serta masyarakat termasuk pihak swasta dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan. 5. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Perlu dilakukan lebih banyak edukasi dan sosialisasi perihal kekarantinaan kesehatan kepada masyarakat dan optimalisasi peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kekarantinaan kesehatan; dan b. Konsistensi penegakan hukum kekarantinaan kesehatan khususnya dalam kedaruratan kesehatan masyarakat.