Kajian APBN
Perancangan Undang-Undang
Pemantauan Undang-Undang
Penelitian
Akuntabilitas APBN

Produk Badan Keahlian,
Semua Dalam Satu Tempat

Temukan berbagai publikasi dokumen dari Badan Keahlian DPR RI mengenai Laporan Kerja, APBN, Rancangan UU, Jurnal dan lainnya.

Perancangan Undang-Undang

Tantangan Penguatan Keamanan Siber dalam Menjaga Stabilitas Keamanan
Tantangan Penguatan Keamanan Siber dalam Menjaga Stabilitas Keamanan
Tanggal
2021-09-07
Penulis
1843 1815

Saat ini Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) menjadi bagian tak terpisahkan dari segala aspek kehidupan masyarakat, baik dalam aspek kehidupan. Pertumbuhan TIK di Indonesia berkembang cukup pesat, terutama terkait penggunaan internet. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2019-kuartal 1/2020, bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa, atau sebesar 73,7% hingga kuartal II 2020. Namun peningkatan penggunaan internet juga meningkatkan ancaman keamanan siber. Peningkatan lalu lintas internet telah menarik pelaku-pelaku kriminal siber dan berakibat pada banyaknya kasus serangan siber di Indonesia. BSSN mencatat serangan siber tahun 2020 angka mencapai angka 495,3 juta atau meningkat 41 persen dari tahun sebelumnya 2019 yang sebesar 290,3 juta. Bareskrim juga menyampaikan adanya peningkatan laporan kejahatan siber. Dimana Pada tahun 2019 terdapat 4.586 laporan polisi diajukan melalui Patrolisiber meningkat dari tahun sebelumnya 4.360 laporan pada 2018 (Patrolisiber, 2020). Sejalan dengan hal tersebut keamanan siber menjadi isu prioritas di Indonesia. Untuk itu tulisan ini akan membahas bagaimana kondisi keamanan siber di Indonesia, maupun tantangan dalam penguatan keamanan siber itu sendiri. Dalam upaya meminimalisir dan mengatasi ancaman siber diperlukan penguatan keamanan siber, dimana tingkat urgensi keamanan siber berbanding lurus dengan tingkat ketergantungan pemanfaatan di ruang siber. Pengamanan ruang siber di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain minimnya dukungan anggaran, rendahnya kesadaran masyarakat akan keamanan siber, belum adanya regulasi dan kebijakan bagi keamanan siber, minimnya kompetensi SDM, terbatasnya pengembangan teknologi keamanan siber domestik, serta belum adanya regulasi yang mengatur tentang penanganan tindak pidana siber. Guna meningkatkan keamanan siber di Indonesia, maka perlu adanya: Pertama, Dukungan melalui peningkatan anggaran dibutuhkan dalam upaya penguatan keamanan siber dan penanganan tindak pidana siber. Kedua, edukasi keamanan siber sejak dini guna membangun kesadaran keamanan dari pengguna internet atau ruang siber. Ketiga, percepatan pengaturan regulasi sehubungan dengan keamanan siber. Keempat, perlunya dukungan dari Universitas dalam melahirkan SDM yang unggul dan berkompetensi khususnya dalam bidang siber. Kelima, perlu adanya insentif bagi start up dalam bidang keamanan siber sebagai upaya mendorong lahirnya perangkat teknologi dalam negeri. Keenam, sinergitas antar Kepolisian dan Kominfo perlu ditingkatkan guna menangani tindak pidana siber yang terus mengalami peningkatan.
Tantangan Transformasi Subsidi Energi
Tantangan Transformasi Subsidi Energi
Tanggal
2021-09-01
Penulis
1842 2045

Pelaksanaan reformasi subsidi energi berdasarkan permasalahan saat ini, diantaranya analisis data Susenas 2019 yang mengindikasikan subsidi non-targeted menimbulkan kebocoran manfaat karena kedua bentuk subsidi tersebut banyak dinikmati oleh masyarakat mampu (inclusion error). Berdasarkan evaluasi terhadap outcome subsidi energi menunjukkan bahwa subsidi energi saat ini tidak tepat sasaran sehingga belum efektif berkontribusi dalam menurunkan kemiskinan dan ketimpangan. Karena faktor yang memengaruhi alokasi subsdi energi di Indonesia berupa faktor yang volatile-nya cukup tinggi dan di luar kendali pemerintah, diantaranya harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP), nilai tukar Rupiah, dan harga komoditi batubara. Selain itu, sejak tahun 2016, Pemerintah belum melakukan adjustment terhadap harga sehingga meningkatkan kewajiban kompensasi apabila harga keekonomian naik. Transformasi subsidi energi tahun 2022 akan menggunakan sistem basis orang yang termasuk ke dalam 40 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan terbawah. Data tersebut akan terintegrasi dengan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang juga digunakan sebagai basis data program perlinsos. Adapun upaya retargeting sasaran penerima manfaat yang nantinya akan diberikan berdasarkan status sosio-ekonomi dan status pekerjaan masyarakat. Status sosio- ekonomi dimana masyarakat dengan tingkat kesejahteraan terendah dengan batasan pendapatan tersebut. Sedangkan berdasarkan status pekerjaan, subsidi energi, khususnya bahan bakar gas (Liquefied Petrloeum Gas/LPG) tabung 3 Kg ditargetkan untuk usaha mikro, petani kecil, dan nelayan kecil namun hanya yang tergolong dalam status sosio-ekonomi. Selain melalui retargeting, jenis transaksi untuk penyalurannya, khususnya untuk pembelian LPG akan dilakukan dengan skema nontunai dengan beberapa pilihan alternatif instrumen seperti kartu, biometric dan e-voucher. Tantangan yang dihadapi Pemerintah dalam transformasi energi, diantaranya: validitas data penerima subsidi baik untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG 3 Kg, dan listrik; volatilitas parameter subsidi seperti ICP dan nilai tukar sangat rentan berpengaruh pada harga keekonomian jenis subsidi BBM serta LPG; mekanisme penyesuaian harga jual yang belum diberlakukan; rencana distribusi subsidi LPG akan menerapkan skema tertutup; dan meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap distribusi subsidi. Rekomendasi untuk menghadapi tantangan yang dihadapi, antara lain: memastikan DTKS yang yang telah diverifikasi pemerintah kabupaten/kota berkualitas baik; menerapkan skema tariff adjustment pada pelanggan nonsubsidi untuk mengurangi beban kompensasi yang dibayarkan pemerintah; mendorong pelaksanaan mekanisme penyesuaian harga jual dengan sistem harga keekonomian untuk subsidi JBM dan JBKP; memiliki perencanaan yang matang terhadap skema baru; dan penggunaan teknologi dan koordinasi antara pusat dan daerah dalam mengawasi pendistribusian subsidi.
Penyerapan Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)
Penyerapan Anggaran Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)
Tanggal
2021-09-01
Penulis
103 2020

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 dan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, sebagai dasar perubahan postur APBN Tahun Anggaran 2020, yang diperlukan sebagai respon atas kondisi extraordinary pada tahun 2020. Program Penanganan Pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) diarahkan untuk penanganan kesehatan, penyelamatan ekonomi dan stabilitasi sektor keuangan. PC-PEN mencakup enam klaster yaitu klaster kesehatan, klaster perlindungan sosial, klaster dukungan usaha mikro kecil dan menengah, klaster pembiayaan korporasi, klaster sektoral kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah serta sektor insentif usaha. Program PC-PEN berlanjut di tahun 2021 dan memiliki peran yang sangat penting dalam memulihkan dan menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah adanya pandemi COVID-19 yang sedang melanda Indonesia dan dunia. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, program PC-PEN terealisasi sebesar 83 persen atau sebesar Rp575,8 triliun dari alokasinya yang sebesar Rp695,2 triliun. Data realisasi per 25 Juni 2021 menunjukkan realisasi program PC-PEN mencapai 34 persen atau sebesar Rp237,5 triliun dari alokasinya yang sebesar Rp699,4 triliun, dengan rincian realisasi klaster kesehatan sebesar 26,3 persen, klaster perlindungan sosial sebesar 44,08 persen, klaster program prioritas K/L dan Pemda sebesar 31,1 persen, klaster dukungan UMKM dan korporasi sebesar 26,3 persen, dan klaster insentif usaha sebesar 63,5 persen. Untuk mengoptimalkan penyerapan program PC PEN di tahun 2021, pemerintah perlu membenahi temuan-temuan terkait program PC-PEN dalam LKPP tahun 2020. Di samping itu, pemerintah juga harus meningkatkan dan memperkuat pelaksanaan 3T yaitu testing, tracing dan treatment terutama di daerah dengan tingkat penularan kasusnya tinggi, yang serapannya masih rendah per 25 Juni 2021, yaitu sebesar 4,7 persen. Pada akhirnya pembenahan atas Data Terpadu Kesejahteraan Sosial juga menjadi prioritas utama untuk mengatasi exclusion dan inclusion error yang masih terjadi dalam pelaksanaan program perlindungan sosial agar upaya pemulihan ekonomi nasional dapat dilaksanakan tepat sasaran.